28 C
Banda Aceh
spot_img

TERKINI

11 Februari 1899 : Teuku Umar Syahid di Suak Ujong Kala

Pada 11 Februari 1899, Teuku Umar dan pasukannya mencoba mencoba turun ke Meulaboh untuk menyerang sebuah pusat pertahanan Belanda. Dalam pertempuran di Suak Ujong Kala Meulaboh, Teuku Umar Syahid.

Sesuai dengan pesannya kepada pasukannya, Teuku Umar dimakamkan di tempat yang tidak diketahui Belanda, yakni di Mon Tulang Pucok Meuhon Kendik Meulaboh. Semasa hidupnya ia pernah dikecam karena membelot dari perjuangan rakyat Aceh dengan membantu Belanda. Ternyata apa yang dilakukannya hanyalah praktik tipu-tipu yang dikenal dengan tipu Aceh.

Padahal saat perang Aceh dengan Belanda meletus pada tahun 1873 Teuku Umar baru berusia 19 tahun. Karena usianya yang masih muda itu pula ia tidak diikutsertakan dalam perang, meski ia seorang ketua kelompok pemuda di daerah Daya, Meulaboh. Meskipun demikian ia selalu terlibat memberikan latihan-latihan perang kepada pemuda-pemuda kampung calon prajurit.

Baca Juga: Pasukan Meriam Aceh Gempur Sekutu di Medan Area

Selain itu ia juga sibuk menghubungi para pemimpin rakyat lainnya untuk diajak berunding mempersiapkan siasat perang melawan Belanda. Dalam pertemuan itu, ia mengatakan harus ada satu orang saja yang akan dijadikan pemimpin para gerilayawan yang akan menentukan waktu dan tempat perang yang akan digelar. Perundingan bersama pemimpin gerilyawan itu kemudian sepakat untuk mengangkat Nanta Setia sebagai pimpinan tinggi dalam perjauangan melawan Belanda.

Pada tahun 1878, salah seorang panglima pemimpin gerilyawan Aceh, Tgk Ibrahim Lam Nga, suaminya Cut Nyak Dhien gugur dalam sebuah pertempuran dengan pasukan Belanda. Berita itu tersebar ke seluruh pelosok Aceh. Sejak saat itulah Teuku Umar menaruh perhatian  khusus kepada Cut Nyak Dhien yang gigih melanjutkan perjuangan menentang Belanda, meski suaminya telah tewas.

Ketegasan dan ketabahan Cut Nyak Dhien dalam perang melawan Belanda membuat hati Teuku Umar kepicut. Ia pun melamar Cut Nyak Dhien untuk menjadi istrinya. Awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tapi Teuku Umar tidak menyerah ia akhirnya mampu meluluhkan hati Cut Nyak Dhien untuk menikah dengannya.

Baca Juga: Kapendam Bukit Barisan Tantang Abdullah Syafii

Perkawinan Teuku Umar dengan Cut Nyak Dhien kemudian melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Cut Gambang. Ia lahir disebuah tempat pengungsian yang jauh dari kampung halamannya, karena pada saat itu Teuku Umar sedang memimpin pertempuran melawan Belanda.

Dalam perjalanan perjuangannya, Teuku Umar kemudian memutuskan untuk menyerah kepada Belanda. Sikapnya itu dikecam oleh para pejuang Aceh. Namun ternyata Teuku Umar punya maksud lain. Tak lama kemudian ia membelot dan kembali memimpin perang. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada akhir Maret 1896.

Kejadian itu menjadi pukulan telak bagi Belanda. Teuku Umar pun menjadi target nomor wahit untuk dibunuh. Pasukan marsose yang sebelumnya ditempatkan pada benteng-benteng terpusat pun dikerahkan ke rimba-rimba Aceh untuk mencari gerilyawan Teuku Umar. Karena itu pula marsose kemudian menjadi sangat beringas dan liar. Bukan hanya para gerilyawan Aceh yang menjadi sasaran, masyarakat biasa pun kerap menjadi korban karena menolak memberitahu keberadaan Teuku Umar.

Baca Juga: Kabinet Perang Aceh Membentuk Lembaga Wali Nanggroe

Keberingasan Belanda itu dipicu karena Belanda pernah sangat percaya pada Teuku Umar. Malah kepadanya pemerintah kolonial tersebut memberi gelar Johan Pahlawan dalam suatu upacara resmi di Kutaraja (Banda Aceh) pada 30 September 1893.

Belanda juga melengkapi pasukan Teuku Umar dengan senjata lengkap dengan peluru serta beberapa fasilitas kepada Teuku Umar diantaranya 380 senapan kokang moderen, 800 senapan jenis lama, 250.000 butir peluru, 500 kilogram mesiu, 120.000 sumbu mesiu, dan lima ton timah untuk mengisi sendiri persediaan mesiu. Ia juga diberikan candu dan uang sebanyak 18.000 ringgit Spanyol. Selain itu Belanda juga membangun sebuah rumah besar untuk keluarga Teuku Umar.

Senjata-senjata itu pula yang kemudian dibawanya lari ketika ia kembali menentang Belanda. Aksi tipu-tipu gaya Teuku Umar itu menjadi pukulan telak bagi Belanda. Semua orang pun tercengang menyadari menyerahnya Teuku Umar kepada Belanda dulu tak lebih dari siasat tipu Aceh.

Baca Juga: PDRI Minta Pasukan Aceh Perangi Sekutu di Front Medan Area

Perang terus berkecamuk, pasukan marsose di bawah pimpinan Jendral van Huetz didatangkan langsung dari Batavia (Jakarta) untuk menyerang kelompok Teuku Umar. Kepada Van Huetz gubernur militer Hindia Belanda memerintahkan untuk menangkap Teuku Umar hidup atau mati.

Pada tahun 1899, Belanda melalui seorang cuak (mata-mata) berhasil mengetahui keberadaan Teuku Umar dan pasukannya. Ia pun dihadang saat pulang dari Pidie menuju Meulaboh, Aceh Barat melalui pegunungan. Pasukan Belanda yang sudah siaga menembaknya dalam perang terbuka ketika kelompok Teuku Umar sampai pada sebuah pantai. Dua peluru bersarang di tubuh Teuku Umar.

Pahlawan nasional kelahiran 1854 itu pun roboh. Ia segera dibawa lari oleh Pang Laot, salah seorang panglima perang dalam kelompok gerilyawan Teuku Umar. Dalam keadaan kritis Teuku Umar berkata kepada Pang Laot dan pasukannya. “Beungoh singoh geutanyoe tajep kupi bak keude Meulaboh atawa ulon akan syahid—besok pagi kita minum kopi di Kedai Meulaboh atau saya akan syahid-red.”

Baca Juga: Residen Aceh Bentuk Komisi Pengawas Harta Rampasan Perang

Ternyata janji minum kopi bareng itu tidak terwujud, Teuku Umar tewas. Meski sudah meninggal, jenazah Teuku Umar disembunyikan oleh pasukannya. Mula-mula dibawa ke daerah Calang, kemudian ke Batu Putih hingga ke daerah Arongan. Baru setelah Belanda tidak lagi mengejar, jenazah Teuku Umar dimakamkan di Desa Meugoe Rayeuk, Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat.[]

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS