Pada 18 November 1945, Tentara Kemanan Rakyat (TKR) di Bireuen menuntut kepada Komando Tetara Jepang untuk menyerahkan senjata senjata kepada rakyat Aceh. Permintaan itu awalnya ditolak pihak Jepang, tapi setelah diancam, laskar perjuangan rakyat Aceh akan menyerbu ke tangsi militer tersebut, Jepang mengalah.
Setelah melalui serangkaian perundingan akhirnya disetujui Jepang menyerahkan 320 pucuk senjata beserta amunisinya untuk laskar perjuangan rakyat Aceh di Bireuen. Pada hari yang sama, Residen Aceh Teuku Nyak Arief menghadiri rapat umum masyarakat Indrapuri, Aceh Besar.
Ia berpidato di hadapat massa, mengutuk keras tindakan-tindakan Belanda yang hendak masuk kembali ke Aceh untuk tujuan penjajahan. Ia meminta rakyat Indrapuri untuk bersatu menghadapi kemungkinan masuknya kembali Belanda bersama Sekutu ke Aceh.
Baca Juga: Poh An Tui dan Sentimen Anti Tionghoa di Aceh
Ternyata rakyat Bireuen tidak puas hanya dengan 320 pucuk senjata saja, dua hari kemudian, 20 November 1945, terjadi kegaduhan di tangsi militer Jepang di Gampong Juli dan Geulanggang Labu. Dengan bebeal 320 pucuk Senjata yang diserahkan Jepang dua hari sebelumnya, rakyat Bireuen menyerang markas militer Jepang, untuk merebut senjata yang lebih banyak.
Penyerangan tangsi militer Jepang di Juli dipimpin oleh Keuchik Ibrahim, bersama Thaib Bulan, Yusuf Ahmad bersama beberapa kawannya. Perang terjadi selama 3 hari, baru reda setelah kedua pihak melakukan negoisasi gencatan senjata.
Militer Jepang sangat terpukul karena diserang dengan senjata yang mereka serahkan sendiri kepada pejuang Aceh. Akhirnya untuk menghindari banyaknya jatuh korban, Jepang menyerahkan 6 tank (kenderaan tempur lapis baja), 3 pucuk meriam pantai, 3 pucuk meriam mesin Juki, 2 truk, dan 72 pucuk karaben beserat 7 gudang amunisi. Hal yang sama juga terjadi di Rantau Kuala Simpang, pejuang di bagian Timur Aceh berhasil menyakinkan Jepang untuk menyerahkan senjata tanpa perlawanan.
Baca Juga: Sejarah Sekolah Kepolisian Aceh
Pada 22 November 1945, giliran masyarakat Geulanggang Labu asrama angkatan udara Jepang di daerah tersebut. Penyerangan dipimpin oleh Utoh Husen, AR Hamidi bersama beberapa pimpinan Tentara Kemanan Rakyat (TKR) Bireuen. Negoisasi untuk menyerahkan senjata ditolak pihak Jepang, karena itu Jepang diserang dari berbagai penjuru.
Setelah perang terjadi selama 3 jam, Komandan Jepang di Pankalan Udara Geulanggang Labu mengangkat bendera putih, menawarkan perundingan. Hasil perundingan tersebut, Jepang menyerahkan 60 pucuk senjata. Penyerahan yang tidak memuaskan pejuang Aceh tersebut membuat suasana tidak terkendali.
Para pejuang Aceh tidak bergerak dari pangkalan, mereka tetap melakukan pengepungan. Khawatir terjadi perang yang lebih besar, pasukan Jepang kemudian meninggalkan pangkalan Geulanggang Labu pindah ke markas mereka di Lhokseumawe.[]