27.7 C
Banda Aceh
spot_img

TERKINI

Wali Nanggroe Terima Kunjungan Hamid Awaluddin, Bahas Penambahan Batalyon TNI di Aceh

Aceh Besar  | Acehinfo – Wali Nanggroe Aceh, Paduka Yang Mulia Tgk. Malik Mahmud Al-Haytar, menerima kunjungan silaturahmi dari Hamid Awaluddin, mantan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, yang juga merupakan tokoh penting dalam proses perdamaian Aceh, pada Senin, 5 Mei 2025. Pertemuan tersebut berlangsung di Meuligoe Wali Nanggroe, Aceh Besar, dihadiri oleh sejumlah tokoh penting lainnya, di antaranya Staf Khusus Wali Nanggroe DR. M. Raviq, Teuku Kamaruzaman (Ampon Man), DR. Rustam Effendi, Sekretaris Jenderal Partai Aceh Aiyub Abbas, Ketua Komisi I DPRA Tgk. Muharuddin, dan anggota DPR Aceh Azhari M. Nur Haji Maop.

Salah satu topik utama yang dibahas dalam pertemuan tersebut adalah rencana penambahan empat batalyon TNI di Aceh. Menanggapi isu ini, Hamid Awaluddin menyampaikan pandangannya, dengan menekankan pentingnya penjelasan dari pemerintah pusat terkait urgensi dan relevansi kebijakan tersebut.

“Saya baru mengetahui rencana ini, dan saya ingin mengajukan dua pertanyaan penting: apa urgensinya dan relevansinya?” ujar Hamid.

Ia menambahkan, jika pemerintah dapat memberikan penjelasan yang jelas mengenai kedua pertanyaan tersebut kepada masyarakat Aceh, maka penilaian terhadap kebijakan ini bisa lebih objektif. Namun, tanpa penjelasan yang rasional, wajar jika masyarakat merasa resah dan mempertanyakan langkah ini.

“Ini hanya komentar saya, karena saya belum mempelajarinya secara mendalam,” lanjut Hamid setelah pertemuan.

Diketahui, Pemerintah Pusat berencana menambah empat batalyon TNI di Aceh. Sebelumnya, Wali Nanggroe telah menyatakan bahwa rencana tersebut bertentangan dengan perjanjian damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (RI-GAM), yang tertuang dalam MoU Helsinki yang ditandatangani di Finlandia pada 2005.

“Selama proses perdamaian ini, masyarakat Aceh merasa semakin aman dan merasa bahwa pemerintah berkomitmen pada perjanjian damai MoU Helsinki 2005. Bahkan, eks kombatan GAM telah bersama-sama menjaga keamanan Aceh sejak 2005 hingga kini,” ungkap Wali Nanggroe.

Wali Nanggroe juga menyoroti situasi geopolitik dunia saat ini, menyatakan bahwa hubungan Indonesia dengan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN, termasuk India, Sri Lanka, Bangladesh, dan Australia, berlangsung dengan baik. Menurutnya, alasan untuk penambahan pasukan TNI di Aceh tidak relevan.

“Jika ada ancaman dari luar, rakyat Aceh dapat diandalkan untuk mempertahankan daerah ini. Sejarah Aceh telah membuktikan kemampuan untuk melawan Portugis lebih dari 100 tahun, Belanda selama 70 tahun, dan Jepang selama 3,5 tahun,” jelas Wali Nanggroe.

Menurutnya, yang terpenting adalah komitmen bersama terhadap kesepakatan yang telah dibuat, yang menjadi landasan untuk membangun masa depan Aceh yang lebih baik.

Ketua Komisi I DPRA, Tgk. Muharuddin, turut mengomentari rencana tersebut, dengan fokus pada hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, serta dampaknya terhadap masyarakat Aceh. Ia menegaskan bahwa pembangunan empat batalyon TNI tanpa koordinasi yang memadai dengan Pemerintah Aceh dapat merusak rasa saling percaya yang selama ini menjadi fondasi dari implementasi MoU Helsinki.

“Aceh memiliki kewenangan khusus sebagai daerah istimewa. Jika penempatan pasukan besar dilakukan tanpa komunikasi yang tepat, hal ini bisa mengabaikan kekhususan tersebut dan memicu ketegangan politik,” ujar Tgk. Muharuddin.

Ia juga mengingatkan potensi trauma kolektif dan polarisasi sosial yang dapat timbul akibat kebijakan tersebut. Kehadiran militer dalam jumlah besar tanpa pendekatan partisipatif dan sosialisasi yang cukup dapat menimbulkan rasa tidak aman dan memperburuk sentimen anti-pusat yang sebelumnya sudah mereda. []

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS