26.4 C
Banda Aceh
spot_img

TERKINI

Adnan NS: Sejarah Pers Aceh Pers Berdarah-darah

BANDA ACEH | ACEH INFO – Sejarah pers di Aceh merupakan per berdarah-darah. Hal itu disampaikan mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh, Adnan Nyak Sarong dalam seminar Peran Pers Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Aceh yang dilaksanakan MSI Cabang Banda Aceh bersama Balai Pelestarian Kebudaya (BPK) Wilayah I, Sabtu, 3 Agustus 2024 di Banda Aceh.

Mantan senator Aceh ini mengungkapkan para jurnalis di Aceh pada masa perjuangan kemerdekaan merupakan jurnalis gerilya, ada kalanya mereka mengangkat senjata terlibat langsung dalam perang, ada kalanya juga menjadi propagandis yang menyuarakan berita-berita perjuangan.

Ia mencontohkan seperti para juru jurnalis yang sebelumnya merupakan juru penerang pemerintah Jepang di Atjeh Syu Hodka (Jawatan Penerangan Aceh) yang kemudian bekerja di koran Atjeh Sinbun yang dikontrol Jepang, kemudian menjadi jurnalis perjuang kemerdekaan yang mendirikan surat kabar Semangat Merdeka.

“Jadi sejarah pers Aceh ini beda dengan sejarah pers daerah lainnya di Indonesia. Bila di luar Aceh pers adalah pers komersil, di kita Aceh per adalah pers perjuangan yang berdarah-darah,” jelasnya.

Baca Juga: MSI Wacanakan Pembangunan Museum Pers di Banda Aceh

Adnan NS mengungkapkan, berita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia baru diketahui oleh sebagian kecil orang di Aceh pada Pada 21 Agustus 1945. Hari itu para redaktur surat kabar Atjeh Sinbun menggelar rapat rahasia tentang berita kemerdekaan Republik Indonesia. Jepang menutup habis sumber informasi kekalahannya dari sekutu.

Surat kabar Atjeh Sinbun merupakan satu-satunya surak kabar di Aceh pada masa pendudukan Jepang, yang memiliki relasi kerja dengan kantor berita Jepang, Domei Tusinsya. Dari kantor berita Jepang itu pula redaksi Atjeh Sinbun mengetahui bahwa perang timur raya sudah berakhir dengan kekalahan Jepang.

Anggota redaksi Atjeh Sinbun, Teuku Alibasjah Talsja (TA Talsja) mengambil bulletin Domei di kantornya, ketika itu Ghazali Yunus (Redaktur Domei) berbisik padanya bahwa perang Asia Timur Raya sudah berakhir beberapa hari lalu. Ia berpesan agar berita tersebut secara rahasia disampaikan kepada Pemimpin Redaksi Atjeh Sinbun, Ali Hasjmy dan kawan-kawannya.

“Pada hari-hari selanjutnya, pemuda-pemuda anggota redaksi Atjeh Sinbun dan Domei menyiarkan berita tersebut secara rahasia dari mulut ke mulut. Dengan sangat hati-hati mereka juga menyebarkan pamflet-pamflet yang ditulis  dengan huruf-huruf besar tentang kekalahan Jepang tersebut. Mereka menyerukan pemuda-pemuda Aceh membentuk organisasi menentang kedatangan kembali Belanda ke Aceh,” ungkap Andan NS.

Baca Juga: Bank Aceh Setor Rp213 Miliar Dividen ke Pemerintah Aceh

Menariknya, para jurnalis di Atjeh Sinbun kemudian juga menjalankan propaganda “Tipu Aceh” dengan cara membuat kawat palsu atas nama Gubernur Maluku Latoeharhary. Bekas tentara Belanda dari Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL) diminta memihak pejuang Aceh dan menolak Sekutu/NICA.

“Siasat itu dirancang oleh para pemuda yang bekerja di surat kabar Atjeh Sinbun. Mereka adalah Azhari Aziz, Ghazali Yunus, Ramli dan T Alibasjah Talsya. Karena para bekas tentara KNIL di Aceh itu umumnya merupakan para pemuda asal Ambon, Jawa, dan Manado, para pemuda di Atjeh Sinbun tersebut membuat sebuah kawat palsu atas nama Gubernur Maluku Latoeharhary. Isi kawat palsu tersebut meminta kepada bekas pasukan KNIL itu untuk bersatu dengan rakyat Aceh dalam perjuangan kemerdekaan,” tambah Adnan NS.

Adnan NS menambahkan, para pemuda Aceh yang tergabung dalam Ikatan Pemuda Indonesia (IPI), terutama yang bekerja di Atjeh Sinbun, menerbitkan surat kabar Semangat Merdeka pada 18 Oktober 1945. Surat kabar ini terbit Selasa, Kamis, dan Sabtu dengan semboyan “Surat Kabar Pembimbing Semangat dan Penjunjung Republik Indonesia.” Baru pada 1 Desember 1945 surat kabar Semangat Merdeka tebit setiap hari.

Baca Juga: Indeks Literasi dan Inklusi Keuangan Perempuan Lebih Tinggi dari Pria

Pada 4 Januari 1947, Tentara Divisi Gajah I di Banda Aceh menerbitkan buletin “Pahlawan” yang berisi berita-berita pertempuran, untuk menggelorakan semangat perlawanan rakyat Aceh. Buletin Pahlawan juga diterbitkan untuk membangkitkan semangat perjuangan rakyat Aceh dalam melawan upaya-upaya Belanda yang ingin masuk kembali ke Aceh.

Selain itu kata Adnan NS, peran Radio Rimba Raya juga sangat besar dalam membantah propaganda Belanda. Panglima Tentara Belanda di Indonesia Letnan Jenderal Spoor di radio-radio siaran Belanda menyatakan bahwa genjatan senjata di Sumatera telah dilakukan pada hari itu pukul 12.00 siang.

Propaganda radio Belanda ini juga dibantah oleh para penyiar Radio Rimba Raya yang melakukan siaran di kaki gunung Burni Telong, Bener Meriah, Aceh. Panglima Tentara Teritorial Sumatera Kolonel Hidajat memerintahkan para pejuang dari Aceh yang sudah mengepung Medan dari arah barat untuk terus melakukan perlawanan.

Baca Juga: 70 Persen UMKM Masih Membutuhkan Akses ke Sektor Keuangan

Agresi Belanda kedua ke Indonesia berhasil menguasai seluruh wilayah republik, kecuali Aceh. Para pemimpin Republik Indonesia juga ditawan Belanda. Karena itu Belanda mengklaim bahwa Indonesia tidak ada lagi.

Tapi klaim tersebut dibantah oleh para pejuang di Aceh. Dalam siara Radio Rimba Raya ada satu kalimat yang selalu diulang-ulang saat siaran. “Republik Indonesia masih ada, karena pemimpin republik masih ada, tentara republik masih ada, wilayah republik masih ada, dan di sini adalah Aceh.” Radio perjuangan menyampaikan siaran dalam empat bahasa, Indonesia, Inggris, Belanda, dan bahasa Arab.

“Berita Radio Rimba Raya ini kemudian direlay oleh All India Radio sehingga berita perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Aceh diketahui dunia internasional dan klaim Belanda terbantahkan,” pungkasnya.[]

 

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS