BANDA ACEH I ACEH INFO – Kerusakan hutan di Aceh kini semakin parah. Kondisi itu ditandai dengan seringnya terjadi banjir dan tanah longsor di sejumlah daerah di tanah rencong.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh Muhammad Shalihin, dalam siaran persnya, kepada wartawan Selasa (21/12/2021) menyebutkan, laju kerusakan hutan di Aceh semakin parah.
Hal ini dapat dilihat dengan semakin seringnya bencana hidrologi seperti banjir dan tanah longsor. Kondisi tersebut merupakan hal klasik yang hanya ditangani tanpa solusi yang pasti.
Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota hingga saat ini belum fokus pada pencegahan, tapi sibuk pada penanganan sementara.
“Bencana hidrologi yang terjadi setiap tahun, baik itu banjir dan tanah longsor sebagai bukti kerusakan hutan semakin parah terjadi di Aceh. Baik itu karena alih fungsi hutan, illegal logging, perambahan serta pertambangan liar. Serta pembangunan yang tidak ramah lingkungan,” sebut Shalihin.
Kerusakan hutan di kawasan hulu sungai yang merupakan daerah tangkapan air juga telah berdampak mudahnya terjadi banjir maupun longsor. Bencana hidrologi ini merugikan pemerintah maupun masyarakat akibat kehilangan tempat tinggal, kehilangan pekerjaan karena lahan produksi rusak karena bencana.
Ia mencontohkan hal terbaru yaitu meluapnya Krueng Inong di Gampong Lhok Guci, Kecamatan Pante Ceureumen, Kabupaten Aceh Barat Senin (20/12/2021) malam.
Luapan tersebut mengakibatkan jembatan gantung penghubung Gampong Cot Manggie, Kecamatan Panton Reu, putus. Meluapnya krueng tersebut menjadi salah satu contoh kiriman banjir di hulu telah berdampak buruk bagi warga yang tinggal di hilir.
“Jadi yang terdampak itu tidak hanya di hulu, tetapi hilir juga sangat berdampak karena banjir akibat laju kerusakan hutan di Aceh. Sejumlah sungai meluap, karena alih fungsi hutan yang tidak diselesaikan oleh pemerintah,” kata Muhammad Shalihin.
Shalihin menyebutkan, solusi mengurangi bencana hidrologi di Aceh butuh komitmen Pemerintah Aceh, yaitu menghentikan penebangan hutan, pembukaan lahan, dan juga pertambangan ilegal yang membuat kerusakan hutan semakin parah.
Menurutnya, bencana hidrologi yang terjadi di Aceh tidak bisa ditangani hanya oleh satu konstitusi, yaitu Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA). Tetapi harus terintegrasi dan dilakukan secara bersama-sama, karena persoalan yang dihadapi saat ini cukup kompleks.
Melakukan revisi Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), menjadi solusi jangka panjang agar bencana hidrologi bisa diatasi secara bersama-sama. Karena dalam tata ruang tersebut, semua pihak terlibat berkontribusi untuk mencegah terjadinya bencana hidrologi di Aceh.
Dengan adanya revisi Qanun RTRW, Aceh memiliki acuan dalam pemanfaatan ruang, pengembangan wilayah, serta bisa mewujudkan keseimbangan pembangunan di kabupaten/kota.
Oleh sebab itu, WALHI Aceh mendesak Pemerintah Aceh untuk segera merevisi Qanun RTRW Aceh 2013-2033. Revisi dianggap penting selain untuk melindungi hutan, Kawasan Ekosistem Leuser dan juga pemanfaatan lainnya dari dampak pembangunan.
Berdasarkan kajian WALHI Aceh, subtansi dari Qanun RTRW Aceh masih bermasalah. Sehingga terjadinya beragam persoalan lingkungan hidup di Aceh. Ini tidak terlepas dari ketidaksempurnaan tata ruang.
“Misalnya krisis ruang budi daya terutama wilayah kelola masyarakat di kabupaten/kota yang diapit oleh kawasan hutan dan konservasi,” jelasnya.
Selain itu revisi Qanun RTRW perlu peninjauan peruntukan kawasan hutan yang di dalamnya ada fasilitas umum, sosial, pemukiman warga, pertokoan dan sejumlah persoalan lainnya.
“Semangat revisi RTRW ini adalah mengedepan prinsip berkeadilan dan pembangunan berkelanjutan,” tegasnya.
EDITOR : FERIZAL HASAN