Masa mudanya dikenal sebagai Darma Wangsa Tun Pangkat. Dihukum oleh sultan Aceh yang tak lain adalah pamannya. Kelak ia menggantikan sang paman menjadi raja Aceh, dikenal sebagai Sultan Iskandar Muda.
Pada Juni 1606Â tentara Portugis di bawah pimpinan Martin Alfonso menyerang kota Bandar Aceh Darussalam, pada masa pemeritahan Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607), putera Sultan al Mukammil. Sultan ini mempunyai seorang kemenakan laki-laki yang bernama Darma Wangsa Tun Pangkat. Ketika Portugis menyerang kota Bandar Aceh si kemenakan ini berada dalam tahanan yang dihukum oleh pamannya karena sesuatu kesalahan.
Sejarawan NJ Ryan dalam buku Sejarah Semenajung Tanah Melayu, yang diterbitkan di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun 1966 mengungapkan, ketika mendengar adanya penyerangan yang dilakukan Portugis. Ia memohon kepada pamannya agar dia dibebaskan dan diperkenankan ikut berperang melawan orang-orang Portugis. Permohonan ini dikabulkan dan selanjutnya Darma Wangsa Tun Pangkat bersama dengan tentara Aceh lainnya melakukan perlawanan terhadap Portugis.
Baca Juga:Riwayat Tarik Ulur Perang Aceh dengan Portugis
Tentara Aceh ini berhasil mengusir kembali orang-orang Portugis dari wilayah kota Bandar Aceh Darussalam. Darma Wangsa Tun Pangkat yang telah berjasa karena keikutsertaannya dalam pertempuran-pertempuran melawan pihak Portugis itu, menjadi terkenal dan menarik perhatian orang-orang di kalangan Istana. Darma Wangsa Tun Pangkat inilah yang dikenal sebagai Sultan Iskandar Muda.
Di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh tetap melakukan perlawanan dengan menyerang kedudukan Portugis di Malaka. Dan juga melakukan penaklukan-penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan Melayu di sekitarnya. Penaklukan-penaklukan ini dilakukan dengan maksud untuk memudahkan penyerangan yang akan dilakukan Aceh secara besar-besaran terhadap Malaka dan Portugis.
Baca Juga: Awal Mula Perang Aceh dengan Portugis
Pada tahun 1615 Aceh akan melakukan suatu serangan terhadap Portugis di Malaka. Namun karena sebelumnya Aceh terlebih dahulu telah menyerang Johor dengan armada yang disiapkan untuk menyerang Malaka, maka berita penyerangan ini telah diketahui oleh Portugis, sehingga Aceh membatalkan maksudnya itu. Meskipun demikian, ketika armada Aceh ini dalam perjalanan pulang sempat juga terlibat dalam pertempuran dengan kapal-kapal Portugis di dekat kota Malaka.
Penyerangan terhadap Portugis di Malaka baru dilakukan kembali oleh Aceh pada tahun 1629. Penyerangan ini merupakan yang terbesar. Karena untuk ini Aceh telah menggunakan sebuah armada yang telah lama dipersiapkan di kota Bandar Aceh Darussalam, sehingga merupakan sebuah armada yang cukup besar menurut ukuran waktu itu. Tidak kurang dari 250 buah perahu layar dan 47 kapal berukuran besar dengan sekitar 20.000 personal tenaga telah digunakan oleh Aceh dalam penyerangan tersebut. Namun dalam penyerangan kali inipun Aceh mengalami kegagalan, sehingga menjadikan penyerangan ini yang terakhir yang dilakukan Aceh terhadap Portugis.[]