26.7 C
Banda Aceh
spot_img

TERKINI

POPULER

Dukung Revisi Qanun, ARD Gelar Diskusi Bahas Peran dan Fungsi Kelembagaan Wali Nanggroe Dalam Kekhususan Aceh

spot_img

BANDA ACEH | ACEH INFO – Lembaga Aceh Resource & Development (ARD) menggelar Focus Group Discussion (FGD) di Hotel Kyriad Simpang Lima Banda Aceh, Sabtu, 15 Oktober 2022. Diskusi yang berlangsung sejak pukul 09.30 WIB hingga 12.30 WIB ini membahas mengenai fungsi serta peran dari Lembaga Wali Nanggroe dalam kekhususan Aceh.

Diskusi yang dimoderatori oleh Koordinator AJI Sumatera, Adi Warsidi selaku moderator dengan Tuha Peut Lembaga Wali Nanggroe, Prof Syahrizal Abbas, mantan anggota Juru Runding MoU Helsinki, Munawar Liza Zainal, Juru Bicara Partai Aceh, Nurzahri serta aktivis adat dan pegiat Adat-Reusam Aceh, Taufik Abda sebagai pembicara.

Selain mengundang sejumlah lembaga akademisi, kelompok masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, birokrat, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan awak media, diskusi tersebut dapat diakses oleh masyarakat luas secara streaming melalui akun YouTube Aceh Resource Development.

Dalam diskusi tersebut, Munawar membahas mengenai MoU Helsinki yang merupakan dasar dibentuknya Lembaga Wali Nanggroe serta Undang- Undang Pemerintahan Aceh. Menurutnya Qanun Aceh bukanlah Peraturan Daerah, karena qanun yang sebenarnya dipergunakan dalam MoU Helsinki adalah saduran dari Qanun Meukuta Alam Al- Asyi yang digunakan pada zaman Sultan Iskandar Muda.

“Jadi qanun itulah yang diaktifkan kembali dan disesuaikan dengan kebutuhan hukum Aceh terkini. Jadi mestinya untuk perda itu jangan dipakai nama qanun, mestinya dipakai nama-nama lain yang sesuai dengan adat aceh ini,” jelasnya.

Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Munawar, Nurzahri mengungkapkan bahwa terdapat benturan antara Qanun Aceh dengan berbagai regulasi yang ada di Indonesia.

“Bukan hanya dengan regulasi tapi juga dengan psikologis yaitu orang- orang yang menjabat dan berwawenang dalam mengurusi itu. Sehingga harapan dalam melahirkan lembaga yang khusus dan istimewa itu menjadi tantangan yang cukup berat,” paparnya.

Ia juga menyebutkan bahwa Lembaga Wali Nanggroe merupakan bagian dari pemerintahan apabila merujuk pada MoU Helsinki, namun pada realitanya saat ini Lembaga Wali Nanggroe disebut tidak memiliki yurisdiksi dalam pemerintahan karena ketidakjelasan posisinya pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 dan hanya dianggap sebagai lembaga pemersatu adat.

Melanjutkan dengan materi yang sebelumnya disampaikan Nurzahri, Taufik menjelaskan bahwa apabila mengacu kepada tata urutan atau tata pengelompokan dalam penulisan norma hukum di Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2001, Lembaga Wali Nanggroe bisa menjadi kepemimpinan yang melengkapi eksekutif dan legislatif.

“Letaknya berada di antara Bab 6 tentang Lembaga Legislatif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Bab 8 lembaga eksekutif, dia (Lembaga Wali Nanggroe-red) ada di Bab 7,” ujarnya.

Sejajar dengan topik yang diangkat dalam diskusi ini. Syahrizal membahas mengenai upaya yang perlu dilakukan dalam mengoptimalkan peran dan fungsi dari Lembaga Wali Nanggroe sesuai dengan yang telah diamanahkan oleh MoU Helsinki, UUPA dan Qanun.

“Jadi kalau kita mau meningkatkan peran dan fungsi Lembaga Wali Nanggroe, maka mau tidak mau regulasi yang mendasari selama ini harus diubah,” jelasnya.

Ia juga menyebutkan bahwa anggaran yang disediakan untuk melaksanakan kegiatan kelembagaan Wali Nanggroe kurang memadai.“Yang banyak adalah supporting untuk kegiatan kesekretariatan,” ungkapnya.

“Berikut adalah alasan mengapa kelembagaan Tuha Peut Wali Nnaggroe memberikan support dan konsen agar dilakukan revisi terhadap qanun Wali Nanggroe. Itu adalah dasarnya, karena tidak mungkin kita mendorong kuatnya peran dan fungsi Wali Nanggroe dan memberi tugas secara politik kepada Wali Nanggroe, kalau regulasinya tidak dibenarkan,” kata Syahrizal.[]

PEWARTA: CUT KHAYLA ZAHRA

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

MINGGU INI