WASHINGTON, D.C.| ACEHINFO-Exxon Mobil diwajibkan membayar denda sebesar US$288.900,78 atau Rp4 miliar untuk mengganti biaya hukum lawannya dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Aceh.
Pengadilan AS memerintahkan raksasa minyak itu untuk membayar biaya itu kepada pengacara penggugat setelah deposisi yang gagal.
Putusan Hakim Distrik AS Royce Lamberth itu dikeluarkan pada Kamis pekan lalu itu. Ini merupakan lanjutan atas tegurannya kepada mantan penasihat ExxonMobil Alex Oh dan mantan firma hukumnya, Paul, Weiss, Rifkind, Wharton & Garrison.
Mereka dinyatakan bersalah atas pelanggaran litigasi setelah Oh menghina pengacara lawan dengan kata-kata kasar selama deposisi. Dosen di Columbia Law School di New York putusan itu jarangan terjadi dan mencerminkan sikap frustasi seorang hakim atas sikap pengacara yang melampaui batas.
“Sanksi adalah masalah yang sangat besar,” kata Michel Paradis, seorang pengacara hak asasi manusia dan Dosen di Columbia Law School di New York seperti yang dikutip Al Jazeera, Rabu (20/4).
Pada tahun 2020, Mark Snell, penasihat umum regional Asia Pasifik ExxonMobil, dinilai mengeluarkan berbagai komentar yang tidak relevan di persidangan dan berusaha mengelak tuduhan terhadap kliennya. sikap inilah yang kemudian membuat hakim berang dan menjatuhkan putusan itu.
Kasus ini diajukan ke Pengadilan Distrik untuk Distrik Columbia pada tahun 2001 setelah adanya tuduhan ExxonMobil berada di balik pembunuhan warga sipil di Aceh di sekitar pabrik raksasa minyak asal Amerika Serikat itu, di Lhoksukon, Aceh selama kurun waktu akhir 1990-an dan awal 2000-an.
Pelanggaran HAM itu disebut dilakukan oleh TNI yang dibayar oleh ExxonMobil, yang telah melakukan penyiksaan, penyerangan seksual, Pemerkosaan dan juga pembunuhan terhadap warga di sekitar pabrik minyak itu.
Mobil Oil Indonesia, sebutan resmi perusahaan tersebut, bersama Exxon Mobil telah memulai operasi ladang gas Arun pada tahun 1968. Perusahaan ini menghasilkan pendapatan tahunan lebih dari $1 miliar pada akhir 1990. Mereka dinilai mengkontrak militer Indonesia untuk menjaga fasilitasnya di Aceh dengan biaya $500.000 per bulan.
Ke-11 penggugat dalam kasus tersebut, beberapa di antaranya diwakili oleh keluarga korban, menuduh tentara yang dikontrak ExxonMobil melakukan tindakan sewenang-wenang dengan alasan memburu Gerakan Aceh Merdeka (GAM). ExxonMobil berkali-kali membantah tuduhan itu.
Andreas Harsono, seorang peneliti di Human Rights Watch Indonesia, mengatakan bahwa putusan pengadilan terbaru harus mendorong Exxon Mobil untuk berhenti bertele-tele dan terlibat dengan substansi kasus.
“Pasukan keamanan Indonesia menggunakan dana perusahaan Exxon untuk operasi militer yang dirancang untuk menghancurkan perbedaan pendapat di Aceh dan untuk meningkatkan kapasitas untuk terlibat dalam taktik represif terhadap militan Aceh,” kata Andreas Harsono, kepada Al Jazeera.
Upaya pengusutan pelanggaran HAM di Aceh termasuk tuduhan mengenai keterlibatan ExxonMobil dalam konflik Aceh hingga kini belum terselesaikan. Pemerintah Indonesia juga belum mengambil langkah maju untuk menyelesaikan berbagai persoalan pelanggaran HAM di Aceh. []