LANGSA | ACEH INFO – Direktur Forum Peduli Rakyat Miskin (FPRM) Nasruddin, mengatakan, menjelang Pilkada 2024, para calon kepala daerah mengumbar janji manis kepada masyarakat. Tidak jarang juga sebagian dari mereka menjanjikan akan memberikan sejumlah uang atau bingkisan sembako.
Secara sadar mereka telah melakukan politik uang, sebuah praktik koruptif yang akan menuntun ke berbagai jenis korupsi lainnya.
Politik uang (money politic) adalah sebuah upaya mempengaruhi pilihan pemilih (voters) atau penyelenggara pemilu dengan imbalan materi atau yang lainnya. Dari pemahaman tersebut, politik uang adalah salah satu bentuk suap.
Praktik ini akhirnya memunculkan para pemimpin yang hanya peduli kepentingan pribadi dan golongan, bukan masyarakat yang memilihnya. Dia merasa berkewajiban mencari keuntungan dari jabatannya, salah satunya untuk mengembalikan modal yang keluar dalam kampanye.
“Akhirnya setelah menjabat, dia akan melakukan berbagai kecurangan, menerima suap atau gratifikasi atau korupsi lainnya dengan berbagai macam bentuk. Tidak heran jika politik uang disebut sebagai “mother of corruption” atau induknya korupsi,” kata Nasruddin, kepada acehinfo.id, Kamis, 19 September 2024.
Lanjut Nasruddin, politik uang telah menyebabkan politik berbiaya mahal. Selain untuk jual beli suara (vote buying), para kandidat juga harus membayar mahar politik kepada partai dengan nominal fantastis.
Tentu saja, itu bukan hanya dari uangnya pribadi, melainkan donasi dari berbagai pihak yang mengharapkan timbal balik jika akhirnya dia terpilih. Perilaku ini biasa disebut investive corruption, atau investasi untuk korupsi.
Salah satu jenis vote buying yang banyak terjadi dikenal dengan nama ‘serangan fajar’. Menggunakan istilah dari sejarah revolusi Indonesia, serangan fajar adalah pemberian uang kepada pemilih di suatu daerah sebelum pencoblosan dilakukan. Serangan fajar kadang dilakukan pada subuh sebelum pencoblosan, atau bahkan beberapa hari sebelumnya.
Nasruddin mengatakan bahwa pembelian suara adalah praktik yang dilakukan secara sistematis, melibatkan daftar pemilih yang rumit, dan dilakukan dengan tujuan memperoleh target suara yang besar. Disebut sistematis karena terjadi mobilisasi tim yang masif untuk melakukan pendataan dan menyebarkan ribuan amplop uang, serta bergerilya untuk memastikan penerimanya benar-benar mencoblos pemberi amplop.
Nasruddin menambahkan tidak hanya dari sisi masyarakat, dari sisi politisi pun serangan fajar telah membangun sebuah tradisi demokrasi yang buruk. Politisi menganggap votes buying adalah sesuatu yang lumrah, mesti dilakukan untuk bisa mengalahkan rivalnya pada pemilihan.
“Terjadi prisoner’s dilemma diantara kandidat. Mereka khawatir pesaingnya akan melakukan serangan fajar, sehingga dia melakukan hal yang sama,” ujarnya.
Mempengaruhi pilihan dengan politik uang pada akhirnya akan berdampak buruk bagi masyarakat sendiri. Praktik ini akan menghasilkan pemimpin yang tidak tepat untuk memimpin. Kebijakan dan keputusan yang mereka ambil kurang representatif dan akuntabel. Kepentingan rakyat berada di urutan sekian, setelah kepentingan dirinya, donatur atau partai politik.
“Akhirnya figur yang terpilih memiliki karakter yang pragmatis, bukan yang berkompeten atau kuat. Mereka memilih menang dengan cara apa pun, ini bukan sosok pemimpin yang ideal,” kata Nasruddin.
Figur yang terpilih karena korupsi politik ini juga akan mendorong korupsi di sektor-sektor yang lain. Hal ini terjadi karena figur tersebut mengumpulkan uang “balik modal” yang dikeluarkannya selama kampanye.
Korupsi tersebut bisa berdampak di internal instansi yang dipimpin maupun kepada masyarakat. Di internal, korupsi bisa terjadi dalam bentuk jual beli jabatan atau pada pengadaan barang dan jasa. Sedangkan dampaknya kepada masyarakat, akan terlahir regulasi yang tidak memihak mereka, pungutan liar, hingga pemotongan anggaran untuk pembangunan infrastruktur maupun kesejahteraan rakyat.
“Kerugiannya kepada masyarakat, pasti akan muncul pungutan liar, karena dia harus mencari sumber dana lain. Dia juga akan memotong anggaran, sehingga kualitas pembangun berkurang. Dalam hal ini, masyarakat mengalami kerugian langsung dan tidak langsung,” kata Nasruddin lagi.
Telah dipahami, bahwa berbagai jenis korupsi adalah turunan dari politik uang. Maka dari itu, memberantas korupsi di Indonesia tidak akan tuntas jika politik uang sebagai induknya korupsi tidak dapat diatasi. Pendidikan antikorupsi menjadi penting agar masyarakat dapat menolak serangan fajar. Dengan penolakan tersebut, harapannya rantai korupsi yang membelenggu negeri ini bisa putus.
“Jika Panwaslu dan aparat penegak hukum lainnya bisa memotong mata rantai korupsi politik, maka nyaris sekitar 66-70 persen korupsi bisa dicegah atau dikurangi secara signifikan,” tegas Nasruddin.
Masyarakat mesti menyadari bahwa mereka telah mempertaruhkan nasib selama lima tahun dengan menjual suaranya dengan harga yang sangat murah. Misalkan menerima amplop berisi Rp300 ribu untuk memilih orang yang tidak berintegritas. Berarti suara rakyat selama lima tahun hanya dihargai Rp 60.000 per tahunnya.
“Masyarakat harus sadar jika mereka terima uang/sembako untuk memilih kandidat maka mereka tidak bisa menuntut jika jalan mereka tidak diperbaiki, sekolah tidak dibangun, akses kesehatan buruk, stunting, dan seluruh kebutuhan dasarnya tidak dipenuhi oleh para pemimpin yang hanya bermodal uang,” ujar Nasruddin
“Dalam konteks Pilkada serentak 2024 ini kami berpesan kepada masyarakat, pilihlah calon kepala daerah yang berintegritas. Masyarakat harus cerdas memilih, jangan terbuai dengan uang atau sembako dan menggadaikan suara mereka. Pilih yang berintegritas, bukan isi tas,” pungkas Nasruddin.[]