LANGSA | ACEH INFO – Forum Peduli Rakyat Miskin (FPRM) Aceh meminta Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) untuk melakukan pengawasan obat-obatan yang dijual bebas di apotek-apotek diseluruh Aceh.
Permintaan itu disampaikan Ketua FPRM Aceh, Nasrudin, kepada acehinfo.id, Selasa, 18 Oktober 2022.
Nasrudin menduga ada obat dosis tinggi yang dijual bebas di apotek tanpa melalui resep dokter dan obat keras yang tidak boleh diedarkan secara umum harus dengan resep/petunjuk dokter seperti obat Parkinson (untuk penyakit saraf) dan kandungan obat pabrikan mengandung Triheksifenidil yang bersifat menenangkan.
“Jangankan menjual obat dosisi tinggi tanpa melalui resep dokter, untuk penyimpanan obat tertentu harus memenuhi prosuderal yang telah ditetapkan oleh Kemenkes,” ujarnya.
Lanjutnya, berdasarkan hasil temuannya ada apotek yang melanggar kefarmasian yakni izinya sudah mati, tidak punya tenaga kefarmasian dan penyimpanan obat tidak baik. Selain itu, ada juga yang menjual obat tanpa izin edar serta pemusnahan obat kedaluwarsa atau menjual obat keras tanpa resep dokter.
Oleh karenanya, FPRM mendesak Dinas Kesehatan Aceh dan BPOM Aceh agar segera melakukan pengawasan secara berkala terhadap apotek-apotek diseluruh Aceh, agar masyarakat tidak menjadi korban.
Nasruddin menjelaskan, dalam Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Apotek. Dimana, dalam Pasal 8 menyebutkan bahwa apotek wajib mengirimkan laporan pelayanan kefarmasian secara berjenjang kepada Dinas Kesehatan kabupaten/kota, Dinas Kesehatan Provinsi,dan Kementerian Kesehatan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lalu, pada Pasal 9 Huruf E dimana pengaturan tata cara pemusnahan obat kedaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan bentuk sediaan.
“Pemusnahan Obat kadaluwarsa atau rusak yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh apoteker dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan kabupaten/kota,” ungkapnya.
Sambunh Nasrudin lagi, dalam Pasal 10 juga mengatur pemusnahan obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktek atau surat izin kerja.
“Kami melihat masih lemahnya pengawasan pihak terkait ini menjadi sangat ironi mengingat Indonesia memiliki sangat banyak aturan kefarmasian. Bahkan, menurut Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia, Noffendri Roestam, banyak negara mengagumi kelengkapan aturan kefarmasian di Indonesia. Kondisi itu membuat penjualan obat disarana farmasi resmi banyak masalah. Regulasi lengkap, tinggal implementasinya saja,” pungkasnya.[]