BANDA ACEH | ACEH INFO – Penduduk desa mengatakan mereka mengalami siksaan oleh tentara ExxonMobil yang mengamankan pabrik gas di Aceh Utara itu. Penyiksaan tersebut dilakukan di dalam atau di sekitar pabrik gas yang akrab disebut PT Arun.
Pengakuan itu merupakan satu bagian yang dituang dalam dokumen gugatan ke pengadilan terhadap ExxonMobil Corporation, di dalam kasus John Doe V.
“Dia dibawa oleh tentara,” kata Jane Doe V, salah satu dari 11 penggugat dalam kasus tersebut mengatakan tentang suaminya yang hilang pada Januari 2001 silam. “Kemudian tangannya dipotong dan mereka mengambil matanya,” ungkap Jane Doe V seperti dikutip dari asia.nikkei.com, Selasa, 4 Januari 2022.
Gugatan itu mulanya diajukan di Pengadilan Distrik di Columbia, AS pada Juni 2001. Penggugat menuduh ExxonMobil bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM), termasuk pelecehan seksual, penyetruman, hingga kematian tak wajar yang dilakukan oleh anggota militer Indonesia.
Dalam laporan gugatan tertulis bahwa ExxonMobil menyewa anggota militer untuk menjaga pabrik di Aceh pada 1990-an, yang dengan kata lain mereka terikat kontrak dengan perusahaan tersebut ketika pelanggaran HAM terjadi.
ExxonMobil mencoba untuk menolak klaim penggugat sebanyak sembilan kali. Hal itu membuat proses hukum berjalan lambat.
Saat ini, pengacara penggugat berharap proses pengadilan terkait gugatan kepada ExxonMobil akan segera diproses setelah menunggu lebih dari 20 tahun.
Agnieszka Fryszman, penasihat dalam kasus ini mengatakan bahwa tim hukum penggugat telah mengajukan lebih dari 300 halaman temuan faktual, 400 pameran, dan lima laporan ahli. Pada November 2021, tim mengajukan mosi untuk menetapkan tanggal persidangan. Ia memproyeksi persidangan akan dilakukan pada musim semi ini.
“Kasus ini mengangkat isu penting. Kami yakin dengan bukti yang kami hadirkan dan berharap untuk membuktikan klaim di pengadilan,” ucap Fryszman.
Dalam dokumen pengadilan, ExxonMobil mengatakan tak tahu soal pelanggaran HAM dan tak dapat dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran yang mungkin terjadi. Sebagai informasi, Aceh adalah salah satu provinsi yang paling kaya dengan sumber daya alam (SDA) khususnya cadangan minyak dan gas (migas).
Pada 1971, Mobil Oil Indonesia menemukan bahwa daerah di sekitar Lhoksukon kaya dengan gas alam. Kemudian, pabrik di Lapangan Arun yang merupakan bagian dari Kawasan Industri Lhokseumawe yang lebih luas menghasilkan lebih dari US$1 miliar per tahun.
Pada 1999, Exxon membeli Mobil Oil dan membentuk ExxonMobil Corporation di Indonesia. Perusahaan itu yang mengelola Lapangan Arun hingga 2001.
“Kasus kami dimulai sebagai upaya penting untuk meminta pertanggungjawaban salah satu perusahaan terbesar dan paling kuat di dunia atas pelanggaran HAM yang mendasar,” kata pengacara HAM Terry Collingsworth.
Ketika ExxonMobil datang ke Aceh, daerah ini sedang terlibat dalam perang saudara berdarah yang telah berkecamuk selama beberapa dekade. Seperti diketahui, Aceh merupakan sebuah kawasan berdaulat hingga Belanda mengeluarkan ultimatum perang pada 26 Maret 1873. Perang kemudian meletus selama puluhan tahun, hingga Sultan Aceh Alaiddin Muhammad Daud Syah ditangkap pada 10 Januari 1903. Sultan ini belakangan meninggal di pengasingan, tepatnya di Batavia (nama Jakarta pemberian Belanda-red) pada 6 Februari 1939. Sebelumnya Sultan Aceh sempat diasingkan ke Ambon.
Sejak itu, Aceh yang kehilangan sultan terus menggelorakan perlawanan semesta. Kaum ulama turun tangan hingga akhirnya Belanda kalah perang dengan Jepang. Selanjutnya, Aceh yang kecewa dengan pendudukan Jepang kembali melawan hingga Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Keikutsertaan Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kemudian dikhianati oleh pemimpin bangsa. Sebagai daerah modal yang mendukung Indonesia tetap berdiri, Aceh tidak diberikan kesempatan untuk menjalankan pemerintahan sendiri secara syariat. Setelah pemberontakan pertama terjadi di masa Cumbok, perang kembali terjadi di Aceh di bawah payung Darul Islam (DI)/Tentara Islam Indonesia (TII). Setelah sempat aman beberapa saat, Aceh kembali terlibat konflik dengan Indonesia setelah beroperasinya pabrik minyak dan gas bumi di kawasan Aceh Utara. Hasan Muhammad di Tiro merupakan salah satu tokoh Aceh yang belakangan menuntut keadilan, yang kemudian mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka, pada tahun 1976.
Kemudian, Aceh resmi dinyatakan sebagai daerah operasi militer khusus pada 1989. Pada akhir 1990 dan awal 2000, kekerasan sering terjadi di Aceh dan menyebabkan ExxonMobil menyewa tentara Indonesia untuk melindungi pabrik dan stafnya dari serangan.
Saat itulah penggugat menuduh bahwa tentara di bawah kontrak ExxonMobil menggerebek dan menyiksa penduduk desa yang mereka tuduh sebagai separatis. Hal ini membuat ExxonMobil dinilai harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang terjadi.
Oberdorfer, yang awalnya memimpin kasus ini, meninggal pada 2013, seperti halnya empat dari 11 penggugat asli.
Penggugat yang tersisa mengatakan kepada Nikkei bahwa tekanan untuk menggantungkan kasus ini selama lebih dari dua dekade telah memakan korban, tetapi mereka siap untuk suara mereka didengar.
“Kami berharap mereka dapat menjadwalkan persidangan sehingga kami dapat menyelesaikan ini dengan cepat,” kata salah satu penggugat, yang bersedia berbicara asalkan menjadi narasumber anonim.
“Kami perlu mengetahui putusannya. Kami ingin semuanya jelas, tetapi kami tidak takut. Kami menghadapi siksaan ini dan kami mengalaminya. Kamilah yang dipukul dan dipukuli.”
Penggugat mengatakan bahwa, ketika dia dibawa oleh tentara, dia kehilangan semua harapan bahwa dia akan dibebaskan atau hidup untuk menceritakan kisahnya di pengadilan.
“Saya hanya terus berbicara kepada Allah di dalam hati saya,” katanya. “Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya tidak bisa melawan. Ada begitu banyak tentara dan mereka semua memiliki senjata.”
Penggugat lain, yang mengatakan kepada Nikkei bahwa dia masih trauma dengan penculikan dan penyiksaan di tangan “Tentara Exxon.” Dia juga mengatakan bahwa penghilangan paksa marak terjadi di daerah itu pada awal 2000-an.
“Orang-orang dikubur di kuburan tak bertanda dan sampai sekarang masih belum ditemukan,” katanya.
“Begitu banyak orang meninggal tetapi kasus ini masih hidup. Kami masih hidup dan kami siap untuk diadili.”
Juru Bicara ExxonMobil Todd Spitler mengatakan pihaknya telah berusaha melawan klaim yang tak berdasar selama bertahun-tahun. Saat menjalankan bisnis di Indonesia, manajemen bekerja dari generasi ke generasi untuk meningkatkan kualitas hidup di Aceh lewat penyerapan tenaga kerja lokal hingga penyediaan layanan kesehatan. “Perusahaan mengutuk keras pelanggaran HAM dalam bentuk apapun,” tutup Spitler.[]