28.5 C
Banda Aceh
spot_img
spot_img

TERKINI

Ketika Arisna Tertegun di Lorong Doa Museum Tsunami

Arisna punya banyak kenangan ketika Aceh dihumbalang gelombang mahadahsyat 26 Desember 2004 lalu. Di Museum Tsunami ia tertegun mengenang semua itu.

Percikan air bersambut dengan suara kenangan di lorong kelam, teriakan sahutan gumuruh air ombak hingga kalimat “Lailahaillah” sayup terdengar di sepanjang perjalanan hingga akhirnya secercah cahaya di ujung sana terlewati, seperti ini kelamnya keadaan saat tsunami belasan tahun lalu terjadi.

Seorang gadis tampak gemetar kakinya melangkah pelan menuju corong raksasa atau yang disebut sumur do’a, sorot matanya sibuk melihat ratusan ribu nama ia meneteskan air mata memegang satu nama ia terduduk menatap langit di puncak corong ada tulisan berlafaz Allah, di bawahnya ribuan nama hamba yang belasan tahun lalu berpulang.

Gadis berkerudung hitam beranjak pergi memasuki bioskop mini tempat dokumenter tsunami diputar, ia kembali meneteskan air mata, saat semua orang sudah pergi ia masih saja duduk merenung kemudian bangkit untuk berjalan kembali. Langkahnya kembali terhenti pada bangkai-bangkai peninggalan tsunami, tangannya memegang matanya memejam, saat yang lain sibuk berswafoto, ia tampak tenggelam dengan kenangan kelam itu. “Hari ini ulang tahun Ibu, dia sudah pergi saat tsunami Aceh dulu bersama adik paling kecil,” gadis itu membuka obrolan.

Dia Arisna (23) merupakan perempuan kelahiran Aceh Besar yang saat ini menempuh pendidikan strata satu di Universitas Negeri. Bahasa Acehnya kental, ia menjadi salah satu korban Tsunami belasan tahun silam dan menyimpan begitu banyak kenangan akan kejadian pilu yang menimpa Aceh.

“Pagi minggu seusai sarapan, bencana itu hadir mengambil separuh hidup saya, namun kini apapun yang terjadi Aceh sudah bangkit, begitupun dengan saya. Saya dan semua orang yang tertimpa musibah,” ujar perempuan penuh semangat ini.

Bencana di Aceh kerap terjadi namun bencana yang paling diingat adalah tsunami, ia tidak pernah lekang dalam ingatan masyarakat hingga pada akhirnya museum besar ini didirikan. Bagaimana Aceh bangkit.

“Lihatlah sumur do’a itu, lihat pula ratusan ribu hamba Allah yang meninggal dunia. Lihat pula bagaimana Aceh saat ini telah bangkit dari keterpurukan,” ia berkata dengan kaki tetap menjajal seluruh isi meseum.

Aceh telah pulih dari bencana meski setelahnya ada bencana yang datang pula silih berganti, gempa bumi, banjir, musibah kebakaran yang kerap terjadi hingga akhirnya Aceh juga diuji dengan bencana pandemi. Arisna dengan sejuta kenangannya menjadi pemudi yang terus hidup bertahan ditengah bencana menyaksikan segala hal bagaimana cara orang-orang Aceh bertahan akan bencana.

“Hidup terus berjalan, pada akhirnya semua orang sedang menjalani ujiannya masing-masing. Saya percaya diluar sana tidak dapat dipungkiri kita bisa menjadi hebat dan kuat menghadapi setiap tantangan,” katanya.

Pandemi covid 19 yang menjadi permasalahan dunia terjadi pula di Aceh, memasuki tahun ketiga seluruh situs sejarah hingga wisata telah dibuka, meski sebagian masyarakat masih menggunakan masker namun jarak antar sesame sudah tidak sejarang dulu.

Dari kacamatanya Arisna melihat bagaimana pandemi dan bangkai tsunami begitu berkesinambungan. Dari peninggalan tsunami ia belajar bagaimana caranya bertahan ditengah bencana pandemi.

“Orang Aceh dapat belajar dari bangunan luas ini, dari isi dibangunan ini dimana dulunya kita tertimpa akan musibah yang mustahil sulit buat dipercaya namun kuasa Allah itu nyata. Begitu pula dengan pandemi bila musibah tsunami saja keadaan bisa kembalikan apalagi pandemi. Dari museum ini kita belajar kekuatan untuk bertahan,” sambungnya.

Pandemi covid menghabiskan nyawa banyak orang-orang disekitar layaknya seperti tsunami belasan tahun silam. Namun dari bongkahan bangkai peninggalan tsunami solah kita diajarkan untuk menerima apa yang terjadi tanpa membenci keadaan. Layaknya roda yang terus berputar begitupun dengan setiap ujian yang terjadi.

Pandemi juga mengambil banyak dari masyarakat nyawa hingga harta benda namun demikian lihatlah bagaimana penerimaan masyarakat untuk hidup berdampingan dengan pandemi dan bagaimana kreativitas dapat diasah dalam dua tahun kebelakang saat pandemi terjadi.

Arisna selama pandemi telah kehilangan orang tersayang, sang kekasih meninggal dunia. Dokter yang merawat membacakan waktu berpulang, hal tersebut justru membuat Ariska kembali kehilangan separuh jiwanya, namun ia lagi-lagi kembali diingatkan oleh secercah harapan akan ada balasan baik dari setiap penerimaan ujian.

“Setahun silam, saya menyaksikan orang tua beliau menandatangani berkas dengan gemetar, Ibunya histeris begitupun keluarganya yang lain, saya sudah tak sadarkan diri. Kenyataan pahit lagi-lagi harus diterima padahal kami sudah merancang banyak hal. Kembali lagi terkadang Tuhan tau yang terbaik bagi hamba-Nya,” Ariska menitihkan air mata, tangannya melempar puluhan butir pakan ikan ke kolam yang berada di museum tsunami.

Sepoian angin sejuk di sekitar kolam ikan memainkan kerudung, meskipun kenangan pahit lagi-lagi harus diceritakan namun selama hidup pasti ada kebahagiaan. Dari bangkai peninggalan tsunami yang memberi contoh pengalaman bagaimana Aceh akhirnya bangkit kembali begitupun dengan bencana pandemic covid 19 tentang bagaimana masyarakat kembali harus menata keadaan dari dampak-dampak pandemic yang terjadi.[]

PEWARTA    : HELENA

EDITOT         : ISKANDAR NORMAN

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS