BANDA ACEH | ACEH INFO – Korban pelanggaran HAM di Aceh, menolak rencana Kementerian Dalam Negeri untuk membubarkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, sebagaimana tercantum dalam dokumen hasil fasilitasi Rancangan Qanun Aceh tentang KKR.
KKR Aceh bukan hanya sekadar institusi, melainkan inti dari proses rekonsiliasi dan perdamaian di wilayah tersebut yang lahir dari perjanjian damai Helsinki dan Undang-undang Pemerintahan Aceh Nomor: 11 Tahun 2006.
Peninjauan yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri mengacu pada dasar hukum nasional yang sudah dicabut terkait Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional tidak tepat sasaran. Karena konstruksi hukum pembentukan KKR Aceh melalui Qanun Nomor: 17 Tahun 2013 merupakan amanahUndang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
“Jadi sangat disayangkan saat Kementerian Dalam Negeri melalui Ditjen Otda tidak paham tentang produk hukum setingkat undang-undang yang ada di Republik ini,” ujar Manager Program Katahati Institute, Muhammad Fahry, Jumat, 15 November 2024.
Senada dengan hal itu, para korban dan pegiat HAM menegaskan bahwa keberadaan KKR Aceh yang independen adalah bentuk penghormatan terhadap keistimewaan Aceh, sekaligus upaya untuk menghadirkan kebenaran dan keadilan bagi korban.
Salah seorang korban pelanggaran HAM berat Simpang KKA, Nyak Murtala, menerangkan KKR adalah ‘jantung’ dari upaya penyelesaian pelanggaran HAM di Aceh.
Pembubaran lembaga ini tidak hanya akan memupus harapan para korban, tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat pada prosespenegakan HAM dan perdamaian yang telah dibangun sejak perjanjian Helsinki.
“KKR adalah roh perjuangan korban untuk mendapatkan keadilan. Jika ini dicabut, maka akan menimbulkan masalah besar ke depannya,” tegasnya.
Tolak Campur Tangan dan Dorong Peran Aktif Pemerintah Daerah
Masyarakat Aceh mengharapkan agar pemerintah daerah dan para pejabat di parlemen turut mendukung keberlanjutan KKR ini, dan tidak terpengaruh oleh wacana pembubaran yang diajukan oleh Kementerian Dalam Negeri.
Tugas menangani isu HAM adalah ranah dari Kementerian Hukumdan HAM, bukan Kementerian Dalam Negeri, sebagaimana disampaikan oleh para aktivis HAM.
“Disini terlihat tidak adanya fungsi koordinasi kelembagaan setingkat menteri dalam perumusankebijakan jika tidak ingin disebut tidak paham konteks kebangsaan sebagaimana dicanangkanPresiden terpilih, Prabowo Subianto yang menyebutkan bahwa kolaborasi sebagai jalan perdamaian,” tambah Fahry.
KKR memiliki tugas tidak hanya untuk mengungkap kebenaran, tetapi juga untuk memastikan kesejahteraan korban, terutama mereka yang lanjut usia dan anak-anak korban, dengan memastikanakses terhadap pendidikan dan kesehatan.
Banyak korban masih membutuhkan dukungan, terutamamereka yang kehidupan dan kesejahteraannya masih rentan.
“Ini merupakan kerangka menujurekonsiliasi melalui reparasi, baik reparasi mendesak maupun menyeluruh yang menjadi tupoksiKKRA dalam memberikan rekomendasi untuk ditindaklanjuti setelah proses pengungkapankebenaran,” lanjut Fahry.
Sejauh ini, upaya pemulihan bagi korban konflik di Aceh dinilai masih belum menyeluruh. Dalam beberapa kasus, seperti kasus Smsimpang KKA, hanya sebagian kecil dari korban yang menerimapemulihan.
Perwakilan korban menegaskan bahwa seluruh korban berhak mendapatkan pemulihan,bukan hanya sepuluh orang seperti yang telah direkomendasikan oleh Komnas HAM.
Para korban dan masyarakat Aceh mendesak agar rancangan pencabutan KKR Aceh segera dibatalkan, dan justru didorong untuk diperkuat. KKR Aceh sebagai bentuk perlindungan hak-hakkorban dan elemen penting bagi perdamaian yang berkelanjutan di Aceh.
Editor: Izal Syafrizal