26.9 C
Banda Aceh
spot_img
spot_img

TERKINI

POPULER

Mengenal Kode Unik Para Koruptor

JAKARTA | ACEH INFO – Novel Baswedan tergelak ketika ditanya soal kode yang dipakai koruptor saat bertransaksi. Mantan penyidik senior KPK yang kini bertugas di Polri itu berkali-kali menemukan kata unik, lucu, hingga aneh sebagai pengganti sebutan jumlah uang.

“Hahaha… Iya, ada apel Malang, apel Washington. Itu untuk bicara warna mata uang. Kalau istilah-istilah lain sebenarnya banyak, aku agak lupa, hahaha…,” ujar Novel ketika dihubungi merdeka.com, pertengahan pekan lalu.

Istilah apel Malang dan apel Washington terungkap dalam persidangan kasus suap pembangunan wisma atlet, saat terdakwa Mindo Rosalina Manulang yang menyeret anggota DPR M Nazaruddin yang juga Bendahara Umum Partai Demokrat pada 2011 silam.

Rosalina menjelaskan arti istilah-istilah yang muncul dalam pembicaraannya dengan anggota Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat, Angelina Sondakh. Apel Malang berarti uang rupiah, sedangkan apel Washington mengacu pada mata uang dolar Amerika Serikat.

Bertugas di KPK sepanjang 2007-2021, Novel mengaku menemukan kode unik pengganti uang dalam hampir setiap kasus yang ditangani. Koruptor menggunakan kode itu sebagai upaya menyamarkan pembicaraan saat berkomunikasi via telepon. Berharap jika ketahuan, mereka bisa mengelak dan berdalih tidak sedang membicarakan uang.

“Maka dibuatlah kode-kode itu. Ada yang kemudian menggunakan istilah ember, istilah meter, istilah apel. Jadi pola-pola kode itu akan selalu begitu,” ujarnya.

“Dan kalau pun nanti terungkap, tertangkap, dia akan mengelak ‘oh ini sumbangan masjid kok’. Atau mungkin kalau dia pakai istilah ember untuk mengganti miliar ‘oh ini maksud saya ember’. Jadi (mengelak) bicara air, bukan bicara uang,” imbuh Novel.

Kode unik itu, lanjut Novel, biasanya terungkap dari percakapan pelaku korupsi yang disadap. Beberapa kata tertentu selalu diulang saat para pelaku berkomunikasi. Salah satu yang diingat Novel adalah permintaan mobil dengan spare part-nya untuk segera dikirim. Tim yang mengintai tidak menemukan pengiriman mobil.

“Oh ternyata fisik mobil enggak pernah ada. Kalau spare part-nya berarti itu uang tambahannya. Kalau mobil, (sebutan) uang utamanya,” ujar Novel.

Penciptaan dan Jenis-Jenis Kode

Kolega Novel, mantan penyidik KPK Yudi Purnomo Harahap yang kini menjadi ASN Polri, mengungkapkan, kode unik muncul dari percakapan koruptor dengan orang kepercayaan mereka. Kode tidak melulu mengacu pada jumlah uang.

“Ada kode untuk panggilan orang. Misalnya pejabat ini dipanggil siapa, pengusaha ini dipanggil apa kodenya. Kemudian kode terkait dengan tempat pertemuan di mana. Kemudian kode untuk bertemu itu apa. Macam-macam,” kata Yudi dalam perbincangan melalui telepon.

Penciptaan kode, kata Yudi, selain untuk menyembunyikan kejahatan agar tidak diketahui oleh orang lain juga bertujuan agar pembicaraan itu diketahui di antara mereka yang terlibat dalam kasus korupsi.

Yudi mencontohkan, jumlah uang sering menggunakan kode ton untuk miliar, kuintal untuk ratusan juta, kilogram untuk puluhan juta. Kode juga dipakai untuk menyebut jenis mata uang, apakah rupiah, dolar Singapura, atau dolar Amerika. Kode juga digunakan sebagai pengganti bentuk suap selain uang, seperti mobil atau barang berharga lainnya.

Dari berbagai kasus yang pernah ditangani saat di KPK, Yudi menyebut, penciptaan kode ini berdasarkan kesepakatan di antara para pelaku saat sedang berkomunikasi. “Ada juga yang spontanitas,” tukasnya.

Tak jarang, kode yang dipilih disesuaikan dengan situasi saat itu. Sehingga ketika mereka berbicara soal uang suap, orang yang mendengar mengira mereka sedang membicarakan kejadian atau peristiwa saat itu.

“Acara keagamaan kah, atau apa. Atau misalnya ada peristiwa apa lah. Walaupun kita sering melihat kode ini menyerempet tentang keagamaan misalnya, itu kan karena momentum itu apa. Padahal apa yang mereka lakukan adalah sebuah kejahatan. Itu hanya sebagai kamuflase saja,” ujarnya.

Saat pengungkapan, penyidik KPK harus pandai memaknai konteks kode yang dipakai. Yudi menceritakan, misalnya dalam sebuah percakapan yang disadap, pelaku menelepon seorang pengusaha dan bilang, “minta 3 ton dong”.

“Enggak mungkin itu 3 ton beras, misalnya. Jadi penyidik punya insting. Jadi dari kita, ketika misalnya kode-kode itu tentu kita punya insting memang setiap daerah itu berbeda. Setiap instansi itu berbeda kode-kodenya. Dan mereka sesuka mereka memberikannya (nama kode),” paparnya.

Kode Istilah Keagamaan

Saat KPK mengungkap kode ‘sumbangan masjid’ dalam operasi tangkap tangan (OTT) Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman mengaku tidak heran mendengarnya.

Penggunaan istilah agama menurutnya sudah berlangsung sejak lama. Selain untuk menyamarkan transaksi suap menyuap, Zaenur menyebut, kode sumbangan masjid dalam kasus Rahmat Effendi untuk menutupi perbuatan pelaku seolah-olah tindakan yang legal karena berupa permintaan sumbangan masjid.

“Padahal itu merupakan suap atau gratifikasi. Jadi ini hanya soal usaha untuk menutup jejak dari perbuatan saja,” tegasnya.

Zaenur juga menilai, kode-kode itu juga dipakai untuk memperhalus negosiasi di antara para pihak sehingga tidak terkesan vulgar dalam menyebut jumlah uang yang dibahas. “Itu dipersepsikan oleh para pelaku lebih sopan, lebih memudahkan negosiasi karena tidak vulgar menyebut jumlah rupiah-nya.”

Lebih jauh, Zaenur menyoroti berulangnya kepala daerah yang tersandung korupsi dan ditangkap KPK. Selain suap menyuap, praktik jual beli jabatan kerap menjadi modus kepala daerah untuk mengumpulkan pundi-pundi agar balik modal.

Efek domino muncul dalam dalam praktik jual beli jabatan. Dia mencontohkan, seorang wali kota meminta uang kepada para calon pejabat seperti kepala dinas. Untuk menyiapkan setoran itu, para calon pejabat yang berambisi melakukan segala cara, termasuk korupsi.

“Dan itu pasti akan terus ke bawah, ke bawah, dan ke bawah lagi,” ujarnya.

Dalam birokrasi, lanjut Zaenur, korupsi memunculkan efek domino kerusakan sistem. Suatu perilaku korupsi akan mengakibatkan perilaku-perilaku yang lain. Ketiadaan keteladanan, ketiadaan pengawasan, tuntutan untuk menyetor kepada atasan, keinginan untuk hidup kaya bisa menjadi faktor penyebabnya.

Zaenur mengakui, hukuman terhadap para koruptor saat ini belum menimbulkan efek jera. Selama ini vonis kepada pelaku korupsi relatif rendah dan negara juga kesulitan untuk mengembalikan nilai kerugian yang terjadi. Pukat UGM mendorong RUU Perampasan Aset segera disahkan oleh DPR. Melalui aturan ini, koruptor tidak hanya dihukum badan, tapi juga dimiskinkan.

“Jadi kenapa kepala daerah ditangkap KPK, kok masih korupsi terjadi? Ya itu karena (penindakan) tidak menimbulkan efek jera. Yang ditakutkan koruptor itu kan hidup miskin. Ancaman hukumannya juga harus pemiskinan, karena pidana badan saja itu belum cukup. Jadi efek jera itu belum hadir, belum efektif,” pungkasnya.[]

Sumber: Merdeka.com

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

TERKINI