Oleh: Tgk. Umar Rafsanjani
Hari ini, kita menyaksikan kondisi politik di Aceh yang semakin memprihatinkan, banyak pihak yang tampaknya lebih mementingkan diri sendiri daripada prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya menjadi landasan pemerintahan.
Alih-alih berkompetisi dengan sehat, mereka ingin menang tanpa harus bertanding, seolah-olah tidak ada lawan yang nyata.
Di Aceh, fenomena politik gaya ini mulai muncul, di mana penguasa lokal bersama teman-teman dekatnya yang berada di posisi strategis mulai mempertontonkan sandiwara itu.
Bukan karena kemampuan atau kompetensi, melainkan untuk menjaga kekuasaan mereka sendiri. Ini menjadikan rakyat terpinggirkan dan menghancurkan kesempatan bagi pemimpin baru yang sebenarnya mampu dan berintegritas.
Politik seperti ini mirip dengan permainan anak-anak yang hanya ingin menang tanpa lawan. Para pemimpin ini mengendalikan jalannya pemerintahan, mengabaikan suara rakyat, dan berusaha menyingkirkan setiap potensi kritik.
Akibatnya, demokrasi kita tergantikan oleh oligarki yang mendukung kepentingan segelintir orang, bukan kesejahteraan umum.
Kondisi ini berbahaya bagi kita semua. Ketika satu kelompok terus-menerus berkuasa tanpa ada lawan, aspirasi masyarakat diabaikan.
Kebijakan yang diambil lebih berpihak pada kepentingan golongan tertentu, yang hanya akan memperdalam ketidakadilan dan mengancam stabilitas sosial.
Aceh, dengan sejarah panjang perjuangan melawan penindasan, seharusnya belajar dari masa lalu. Kita harus menolak politik dinasti yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Kini saatnya kita berjuang untuk mengembalikan demokrasi sejati, di mana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan bersaing secara adil. Kita butuh pemimpin yang mendengar suara rakyat dan bekerja untuk kemajuan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi atau keluarga.
Dengan bersama-sama berjuang, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih baik untuk Aceh dan Indonesia, di mana demokrasi yang terbuka dan jujur menjadi kenyataan, bukan sekadar impian.[]