BANDA ACEH | ACEH INFO – Salah seorang praktisi hukum, Zaini Djalil menilai KIP Aceh melanggar Pasal 24E Qanun Nomor: 7 Tahun 2024, karena menetapkan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Bustami Hamzah-HM Fadhil Rahmi, tidak memenuhi syarat.
“Selaku praktisi hukum saya sangat kecewa dengan sikap Komisioner KIP Aceh sekarang,” tegas Zaini Djalil, Minggu, 22 September 2024.
Zaini menegaskan, sebagai Ketua Tim Pansus pembentukan dan pemilihan anggota KIP pertama di Aceh menjelaskan sejarah kenapa nomenkaltur KIP Aceh berbeda dengan induknya KPU RI. Karena semangat perubahan dan kekhususan Aceh pasca lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor: 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus.
Dimana, bagi daerah Istinewa Aceh bahwa KIP sesuai dengan akronimnya Komisi Independen Pemilihan harus memiliki independensi, integritas dan profesionalisme yang tinggi sebegai penyelenggara pemilu khusus di Aceh.
Namun semangat perubahan tersebut sekarang semakin tergerus dengan kepentingan politik praktis dalam setiap tindakan, perbuatan dan keputusan KIP Aceh, hal ini sangat disayangkan dan sangat memalukan.
Zaini memaparkan, bahwa Aceh memilki kekhususan dalam tatanan hukum nasional memang harus sama-sama kita hargai dan taati sebagai orang Aceh.
Apabila merujuk kepada Qanun Nomor: 12 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubenur dan Wakil Gubernur Buptai dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota pada Pasal 24 e dengan jelas menyatakan pasangan calon bersedia menjalankan butir-butir MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh serta peraturan pelaksanaannya yang dibuktikan dengan surat pernyataan yang ditanda tangani di depan lembaga DPRA/DPRK.
Syarat untuk penandatangan pernyataan tersebut merupakan kewenangan KIP Aceh untuk memfasilitasi pasangan calon agar dapat melakukan penandatanganan pernyataan sebagaimana bunyi Pasal 24 e tersebut kepada Lembaga DPRA.
Sudah menjadi tugas dan tanggung jawab KIP Aceh sebagai penyelenggara pemilu untuk melaksnakan penandatanganan pernyataan pasangan calon gubernur dan wakil gubenrur di depan lembaga DPRA.
Jangan karena akibat ketidakmampuan KIP Aceh membangun komunikasi untuk menjalanakan tugas dan fungsi sebagai penyelanggara Pilkada guna melaksanakan penandatangan pernyataan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dihadapan DPRA.
Sehingga merugikan pasangan salah satu calon dengan keputusan KIP Aceh menyatakan pasangan calon tersebut tidak memenuhi syarat adalah tindakaan tidak berdasar hukum dan hal demikian dapat merusak tatanan hukum penyelenggaran pemilu yang dilakukan KIP Aceh.
Lanjutnya, apalagi sudah dua kali pasangan calon tersebut menyurati KIP Aceh perihal penandatanganan pernyataan isi Pasal 24 e Qanun 12 Tahun 2016 Tentang Tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota didepan lembaga DPRA hanya untuk memenuhi hasrat politik DPRA, yang sebenarnya tidak memiliki dasar hukum lagi.
Sebab, kata Zaini, isi Pasal 24 e Qanun Nomor: 7 Tahun 2024 Tentang Perubahan atas Qanun Nomor 12 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota telah diubah.
Keputusan KIP Aceh yang menetapkan salah satu pasangan calon dinyatakan TMS sangat bertentangan dengan Qanun Nomor: 7 Tahun 2024 Tentang Perubahan atas Qanun Nomor 12 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubenur dan Wakil Gubernur Buptai dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Selain itu, terkesan KIP Aceh berpura-pura tidak paham hukum hanya demi kepentingan politik praktis, sehingga mencoreng keindependensian KIP Aceh sebagai penyelenggara Pemilu dan tentu hal tersebut tidak dibenarkan secara hukum.
Apabila kita mencermati dan merujuk kepada Qanun Nomor: 7 Tahun 2024 Tentang Perubahan atas Qanun Nomor 12 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubenur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota pada Pasal 24 e sudah sangat jelas isi pasalnya menyatakan pasangan calon bersedia menjalankan seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku nasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat istimewa dan khusus berlaku untuk Aceh, dibuktikan dengan surat pernyataan yang telah ditanda tangani bermaterai cukup.
Apabila merujuk dan mengacu pada bunyi Pasal 24 e yang telah diubah dengan Qanun No 7 Tahun 2024 Tentang Perubahan atas Qanun Nomor 12 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubenur dan Wakil Gubernur Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota sangat jelas dan nyata.
Pasal 24 e tersebut telah mereduksi kewenangan DPRA terhadap lolos atau tidak lolos layak atau tidak layak pasangan calon dinyatakan menjadi calon gubernur dan wakil gubernur karena dalam Pasal 24 e perubahan tersebut menyatakan pasangan calon cukup hanya membuktikan surat pernyataan pasangan calon bersedia menjalankan peraturan perundang-undangan yang berlaku nasional dan khusus di Aceh dalam bentuk pernyataan bermaterai cukup.
Keputusan KIP Aceh tanggal 21 September 2024 terhadap TMS salah satu pasangan calon adalah cacat hukum dan unprosedural dan tidak memilki kepastian hukum.
KIP Aceh apabila merujuk kapada Qanun Pemilihan Gubenur dan Wakil Gubernur Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota sudah seharusnya KIP Aceh menerapkan dan menggunakan isi pasal 24 e qanun terbaru yaitu Nomor: 7 Tahun 2024 bukan menggunakan isi pasal 24 e qanun lama Nomor: 12 Tahun 2016.
“Sehingga atas tindakan KIP Aceh tersebut sudah seharusnya dikategorikan sebagai pelanggaran berat terhadap hukum dalam proses penyelenggaraan Pemilu,” ujarnya.
Lanjutnya, KIP Aceh telah memberikan edukasi hukum yang sangat tidak baik bagi masyarakat terhadap proses demokrasi yang di Aceh dan telah gagal dan salah dalam memahami aturan hukum dalam proses penetapan pasangan calon. Karena aturan yang semestinya digunakan KIP Aceh adalah isi pasal 24 e dalam Qanun terbaru Nomor: 7 Tahun 2024 yang disahkan tanggal 5 Juli 2024 sehingga berlaku untuk tahapan dan jadwal Pilkada tahun 2024 yang dimulai pada bulan Agustus 2024.
KIP Aceh yang telah menggunakan isi Pasal 24 e Qanun Nomor: 12 tahun 2016 yang jelas-jelas sudah dinyatakan tidak berlaku lagi secara hukum karena sudah diubah adalah perbuatan melawan hukum dan produk hukum keputusan KIP Aceh terhadap salah satu pasangan calon dinyatakan TMS adalah cacat hukum.
Kemudian, KIP Aceh telah melakukan tindakan perbuatan melawan hukum dengan berlindung kepada lembaga DPRA yang seolah-olah DPRA lah sebagai salah satu lembaga yang sah dan resmi, serta memiliki kekuasaan super power untuk menentukan lolos atau tidak lolos dan layak atau tidak layak pasangan calon dinyatakan memenuhi syarat sebagai pasangan calon peserta Pilkada.[]
Editor: Izal Syafrizal