28.2 C
Banda Aceh
spot_img
spot_img

TERKINI

POPULER

Radio Rimba Raya Reimagine

Opini

Oleh: M. Nasir Djamil (Anggota DPR RI asal Aceh) 

JAKARTA I ACEH INFO – Radio Republik Indonesia (RRI) pada 11 September 1945 lahir yang kini berusia 77 tahun. Memanfaatkan momentum 11 September dimana diperingati sebagai Hari Radio Nasional ini hendaknya merupakan bentuk refleksi, interpretasi hingga pembayangan kembali (reimagine) akan sejarah pentingnya hadirnya radio. Dari ujung Barat Pulau Sumatera, disana telah tersimpan kisah heroik dunia penyiaran dari Tanah Aceh: Radio Perjuangan Rimba Raya.

Radio Rimba Raya (RRR) pernah dijadikan penyelamat Indonesia, dan satu-satunya radio yang menyuarakan keberadaan Indonesia, setelah RRI Yogjakarta jatuh ke tangan Belanda.

Beberapa tahun setelah Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tepat pada 21 Juni 1947 terjadilah perang gerilya oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) di daratan Pulau Sumatera terhadap Belanda. Kemerdekaan Indonesia pasca proklamasi diceritakan adalah tahun-tahun berat nan genting dalam upaya pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Agresi Militer Belanda 19 Desember 1947 menebar teror dan hoax tentang bubarnya Indonesia kepada seluruh pelosok dunia dan memutus akses komunikasi Indonesia kepada dunia internasional dengan menghancurkan Radio Republik Indonesia (RRI) di Yogyakarta. Saat itu Yogyakarta merupakan Ibukota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia telah dikuasai penuh pihak musuh.

RRR yang garang menangkis serangan propaganda pihak musuh yang mencoba melemahkan semangat mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Mengabarkan pada dunia bahwa Indonesia masih ada dan merdeka.

Sayup lantang dari Daratan Tinggi Gayo, radio RRR memancarkan siarannya dengan menggunakan Bahasa Indonesia, Inggris dan Urdu. Siaran tersebut dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina bahkan Eropa dan Australia. Oleh karena itu, belahan dunia masih mengakui akan kemerdekaan Indonesia.

Nama-Nama di Balik Radio Rimba Raya 

Setidaknya ada dua nama tokoh sentral dalam rentetan sejarah RRR mulai dari lahir hingga berkembangnya RRR, yaitu Nip Xarim dan Kolonel Husein Yusuf.

Nip Xarim disebutkan adalah orang yang membeli perangkat peralatan siar, kala itu ia menjabat sebagai Wakil Pemerintah Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo yang berkedudukan di Pangkalan Brandan dan saat bersamaan Gubernur Militer Aceh dijabat oleh Daud Beureueh.

Nip Xarim membeli perangkat radio itu Bersama Dr. Sofyan sebelum Serangan Militer I 1947 dan paralatan yang di beli di Malaya tersebut lalu disimpan di Pangkalan Brandan, hal ini diperkuat oleh sejarawan UGM Mukhtar Ibrahim. Juga senada dengan keterangan yang ditulis oleh Drs. Muhammad TWH yang berjudul “Peranan Radio Rimba Raya di Masa Kemerdekaan di Sumatera Utara.” Tetapi Ali Hasyim dan TA Talsya menyebut John Lie yang membeli peralatan tersebut. John Lie, seorang perwira tinggi di TNI AL dari etnis Tionghoa yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia.

Terlepas dari siapa yang membeli peralatan siar yang masih memiliki perbedaan menurut pendapat para ahli, kemudian perangkat RRR dibawa ke Kota Juang Bireuen. Setibanya di Bireuen Nip Xarim menyerahkan pemancar radio kepada Kolonel Husein Yusuf.

Husein Yusuf merupakan seorang wartawan dan pejabat militer dari Aceh. Selama Masa Revolusi Nasional, Husein Yusuf menjadi pemimpin Radio Rimba Raya. Ia dilahirkan pada tahun 1912 di Blang Blahdeh.

Dituliskan dalam Otobiografi Sjamaun Gaharu, Husein Yusuf pernah bekerja sebagai wartawan di salah satu surat kabar di Medan, Pewarta Deli. Selama bekerja Husein sering menulis berita-berita yang berkaitan dengan keadaan Aceh dan himbauan kepada rakyat Aceh untuk mementingkan pendidikan. Berita-berita yang dia liput sering menentang kebijakan pemerintah kolonial Belanda.

Tepat pada 1 Desember 1945, Husein Yusuf diangkat menjadi Ajudan Staf Umum Divisi V Tentara Republik Indonesia. Selang beberapa waktu, terjadi perombakan dalam Divisi V dan pada tanggal 12 Maret 1946, Husein Yusuf menjabat sebagai Komandan Divisi V Komandemen Sumatra yang sebelumnya dijabat oleh Sjamaun Gahara.

Selama menjabat sebagai Komandan Divisi V, Husein Yusuf memindahkan markasnya dari Banda Aceh ke Bireuen dikarenakan Bireuen dikelilingi oleh bukit-bukit yang cocok untuk perang gerillya sehingga letaknya aman apabila Belanda ingin melancarkan agresinya.

Husein Yusuf juga memerintahkan untuk memperbaiki kapal-kapal Belanda yang telah rusak dan mendirikan Sekolah Komando Militer Akademi di Bireuen untuk mendidik calon perwira dan kader-kader Tentara Republik Indonesia. Salah satu kebijakan yang terkenalnya adalah Radio Rimba Raya berperan besar dalam kemerdekaan Indonesia dan membuat Belanda bertekuk lutut.

Pada tahun 1950-an, Husein terlibat dalam Pemberontakan Darul Islam dan menjadi orang kepercayaan Daud Beureueh. Husein juga menjadi pendiri surat kabar Aceh Pos. Pada tanggal 8 Januari 1978, Husein menghembuskan nafas terakhirnya dan dimakamkan di Geulumpang Payong. Dua puluh tahun kemudian, istrinya Umi Salamah meninggal dunia dan dimakamkan disamping makan suaminya.

Riwayatnya Dulu dan Kini

Saat serangan Militer Belanda II (19 Desember 1945) terjadi Daud Beureueh memerintahkan alat pemancar dipindahkan ke tempat yang lain. Disepakatilah Aceh Tengah menjadi tujuan pemindahan karena dianggap daerah tersebut bebas dari bahaya dan wilayahnya berhutan-hutan dan bergunung tinggi hingga sukar dideteksi oleh musuh. Awalnya pemancar tersebut dipasang di Krueng Simpo (20 KM dari Kota Bireuen) namun masih memiliki kendala teknis penyiaran seperti mesin listrik, kabel dan lainnya.

Setelah melalui perjuangan berat dalam membangun RRR pada Desember 1948 mengudara. Para pahlawan penyiaran dari Aceh mengumandangkan pesan kepada pejuang-pejuang kemerdekaan yang lain untuk terus mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Tgk. A. K Jakobi dalam buku “Aceh Daerah Modal” menyebutkan, Radio Rimba Raya didirikan sebagai persiapan di bidang komunikasi massa untuk menunjang program perang gerilya rakyat dalam jangka panjang. Keberadaan radio itu disebut untuk menghadapi kolonial Belanda yang kembali ingin menjajah.

Abah Iswadi pemerhati sejarah Aceh yang juga dosen IAIA Samalanga mengatakan bahwa Radio Rimba Raya yang pemancarnya ada di Bener Meriah, Aceh dengan siaran shortwave atau gelombang pendeknya tak berhenti menyuarakan bahwa Indonesia masih ada ketika Agresi Militer Belanda II. Ia menambahkan bahwa siaran RRR disiarkan ke seluruh dunia pada 23 Agustus hingga 2 November 1949.

Siaran RRR inilah yang menjadi dasar digelarnya pertemuan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda yang akhirnya menyatakan bahwa Indonesia sepenuhnya berdaulat.

Peran luhur RRR terhadap keberlangsungan Republik Indonesia sayangnya tidak teregistrasi dengan baik di Museum Tentara Nasional Indonesia Tingkatan Darat Yogyakarta padahal disana disimpan perangkat tua radio RRR dengan No 60.607.318. Hanya tertulis “Pemancar hasil seludupan dari Malaya, dipergunakan oleh Pemerintah RI di Sumatera/Aceh 1948”. Sama sekali tidak ada keterangan lain mengenai RRR di museum itu.

Kepingan sejarah RRR tidak hanya menjadi kisah singgah dan terlewatkan begitu saja. Perlu upaya dari berbagai pihak untuk mengenang kembali perjuangan dan pengorbanan para pahlawan yang mungkin belum tertulis namanya di hati rakyat yang menikmati indahnya kemerdekaan hari ini.

Bentuk penghormatan yang selayaknya perlu diupayakan oleh Pemerintah Indonesia untuk diberikan kepada para penyiar saat itu, beberapa nama diantaranya adalah W Schutz, Raden Sarsono, Abdullah Arief, M Syah Asyik, Syarifuddin, Ramli Melayu, Syarifuddin Taib, Syamsudin Rauf dan Agus Sam.

Sangat diharapkan adanya inisiatif untuk mencari pihak keluarga para pahlawan penyiaran tersebut yang masih hidup saat ini untuk dimunculkan kembali dalam narasi-narasi kisah kepahlawanan yang bisa dijadikan panutan oleh anak negeri. Memahat nama mereka (para pahlawan) di pusara dan buku-buku sejarah.

Disana, ada tugu yang menjulang tinggi di Kampung Rimba Raya, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh. Melalui tempat ini membawa kita membayangkan kembali (reimagine) akan para kesatria yang tidak sempat memetik buah kemerdekaan yang telah mereka tanam.

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

TERKINI