BANDA ACEH | ACEH INFO – Di etalase kaca itu berjejer tumpukan manuskrip yang sudah dipasangi couver agar tidak rusak. Ada yang masih utuh, ada pula yang cuma sisa beberapa lembaran. Ada juga beberapa senjata tajam dan benda-benda peninggalan sejarah dan budaya masa lalu Aceh lainnya di sana.
Beberapa etalase lainnya juga terlihat di sana. Di dalamnya terdapat kumpulan mushaf Alquran berusia tua. Total etalase kaca itu ada empat. Ukurannya beragam. Namun ada juga etalase kaca yang dibuat memanjang ke atas sekira 2,5-3 meter yang dipajang di bagian dalam sebuah rumah berlantai dua, di kawasan Ie Masen Kaye Adang, Banda Aceh.
Rumah itulah milik Tarmizi A Hamid, seorang kolektor manuskrip Aceh yang akrab disapa Cek Midi.
Umurnya tak lagi muda, tetapi juga tak setua manuskrip yang banyak tersusun di lemari kaca rumahnya tersebut. Cek Midi yang asli putra Pidie itu lahir pada hari Kamis, 31 Desember 1966.
Pegawai Badan Pengembangan Teknologi Pertanian (BPTP) ini sudah sejak tahun 1990-an gemar mengoleksi manuskrip. Konflik yang mendera Aceh tidak menyurutkan tekadnya untuk berburu kitab-kitab bertulis tangan yang usianya sudah beberapa abad itu.
“Saya mengenal manuskrip dari beberapa kitab tua peninggalan abusyik (kakek) saya. Dari situ kemudian tertarik untuk mengkajinya lebih dalam,” kisah Cek Midi, Minggu, 15 Januari 2022.
Sekitar 400-an lebih manuskrip kuno Aceh kini menjadi koleksi Cek Midi. Dari ratusan naskah kuno itu, beberapa diantaranya terdapat mushaf Alquran, kitab tasawuf, kitab tauhid, dan juga kitab hukum Islam. Ada juga manuskrip yang isinya membahas ilmu falak hingga ilmu pengobatan.
Kain putih, kapur barus, lada hitam, lada putih dan juga cengkih merupakan teman Cek Midi dalam menjaga manuskrip-manuskrip itu. Semua bahan-bahan tersebut diramu sedemikian rupa untuk mencegah kertas-kertas manuskrip dimakan kutu atau lapuk dimakan usia.
Selain merawat naskah-naskah tua tersebut, Cek Midi juga pernah mengalihaksarakan beberapa naskah koleksinya dari Arab-Jawi. Ada juga 23 manuskrip yang telah didigitalisasi sebagai bentuk asuransi jika sewaktu-wakut kitab tersebut hilang atau rusak.

Beberapa kitab yang telah rampung dialihaksarakan adalah Nazam Aceh: Syair Perempuan Tasawuf Aceh karangan Pocut di Beutong. Selain itu ada juga Hujjah Baliqha ala Jama Mukhashamah karya Jalaluddin bin Syekh Jamaluddin Ibnu Al Qadhi.
Sesekali pria yang juga aktif di Majelis Adat Aceh (MAA) tersebut membuka kitab-kitab tua miliknya, terutama ketika momen gempa. Kitab yang dibuka pun berkaitan dengan Tafsir Gempa yang ditulis oleh cendikiawan masa lalu berdasarkan pengalaman hidup dan perhitungan ilmu bumi pada masa itu.
Pada suatu waktu, Cek Midi pernah nyaris kehilangan seluruh koleksi manuskripnya ketika tsunami melanda Aceh. Maklum saja, rumah yang ditempatinya masa itu ikut terkena dampak pasang air laut usai gempa menghumbalang Aceh pada 26 Desember 2004 silam.
“Untung saja sebagian koleksi sudah saya bawa ke Brunei Darussalam untuk diikutsertakan dalam pameran masa itu,” ungkap Cek Midi. “Ini yang membuat manuskrip-manuskrip saya selamat dari musibah tsunami. Padahal harta benda lain habis semua,” kisah Cek Midi.

Cek Midi tidak patah arang. Usai tsunami menerjang, dia kembali mengumpulkan naskah-naskah kuno yang pernah dititipnya di beberapa tempat. Salah satunya di rumah orang tua Cek Midi di kawasan Pidie. Selain itu, Cek Midi juga membeli beberapa manuskrip yang disimpan oleh orang-orang tua di Aceh—yang tidak memahami isi kitab dan arti penting manuskrip tersebut. Ada beberapa manuskrip yang bahkan ditukarnya dengan beras, Alquran cetakan terbaru, atau padi. Perburuan Cek Midi juga tidak terbatas di Aceh saja, dia bahkan pernah mencari beberapa manuskrip hingga ke pelosok Sumatera Utara dan Riau.
Kegigihannya mengumpulkan manuskrip kuno belakangan terbentur biaya perawatan. Namun, suami Nurul Husna ini bersyukur lantaran Jepang, yang pernah menjajah Indonesia, pernah membantunya melakukan restorasi manuskrip kuno usai tsunami 2004 lalu. Selebihnya naskah-naskah itu dirawatnya dengan dana swadaya bersumber dari penghasilannya sebagai aparatur sipil negara.
Cek Midi pernah hampir menyerah untuk mempertahankan koleksi manuskrip miliknya yang disebut-sebut menyimpan harta kekayaan intelektual leluhur Aceh di masa silam. Apalagi di beberapa kesempatan, beberapa pihak dari Jerman, Malaysia dan Inggris pernah memburu manuskrip koleksi Cek Midi. Koleksi yang paling menyita perhatian mereka adalah yang berkaitan dengan tasawuf dan berisi tentang kerajaan Aceh.
Akan tetapi, godaan-godaan untuk menjual manuskrip-manuskrip tersebut pupus begitu saja. Hal ini dikarenakan Cek Midi telah mendedikasikan koleksi miliknya tersebut untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

Puluhan tahun merawat dan menjaga naskah-naskah kuno itu, Cek Midi kini masih kebingungan mencari dana untuk memperluas bangunan tempat manuskrip-manuskrip itu disimpan. Ruangan yang selama ini dipakai untuk memajang hasil pemikiran cendikiawan masa lalu itu terasa kian sempit, apalagi jika sewaktu-waktu ada rombongan tamu yang datang.
“Secara pribadi, saya sangat ingin museum tersebut dapat menjadi lahan edukasi bagi generasi muda,” ujar Cek Midi.
Rumah Cek Midi di kawasan Ie Masen Kaye Adang memang telah beberapa kali menjadi obyek penelitian para mahasiswa. Tak hanya itu, beberapa tokoh yang memiliki minat terhadap manuskrip juga pernah datang menyambangi kediamannya. Para peneliti dari luar negeri juga beberapa kali datang ke sana.
Selain manuskrip, Cek Midi juga memiliki ragam senjata tajam yang pernah digunakan para pejuang, masa perang melawan Belanda. Diantara senjata tajam itu adalah rencong dan juga pedang. “Beberapa tokoh bahkan pernah datang untuk membuat kajian di rumah saya terkait senjata tajam koleksi saya, yang merupakan senjata asli dan pernah dipergunakan di masa peperangan melawan Belanda,” katanya.
Dia juga berniat menambah koleksi ragam batu nisan terbengkalai di museum pribadinya. Rencananya batu nisan tersebut akan dipajang di halaman rumah Cek Midi. Namun sebelum rencana itu dilakukan, pria berkacamata tersebut hendak membangun pagar tembok sebagai pengaman.
“Selama ini uang yang saya pakai untuk merawat manuskrip dan benda-benda bersejarah itu berasal dari gaji sebagai ASN. Seharusnya gaji tersebut diberikan untuk keluarga, tetapi sudah dipakai untuk kebutuhan museum manuskrip,” kata Cek Midi.
Cek Midi mengaku nyaman dengan adanya manuskrip-manuskrip tersebut di rumahnya. Meskipun sewaktu-waktu, dia berharap memiliki uang untuk membeli gedung lain untuk menempatkan koleksi manuskrip miliknya. “Ruangan tengah rumah mulai penuh dengan barang-barang kuno sehingga ruang untuk keluarga terasa semakin sempit, dan tempat bermain anak-anak menyusut,” ungkap Cek Midi.

Namun, banyak pertimbangan sebelum dia memindahkan barang-barang itu ke tempat lain. Hal ini dikarenakan ketiadaan sumber daya untuk mempekerjakan orang guna menjaga dan merawat manuskrip-manuskrip itu. Selain itu, kata dia, jika dipindahkan ke tempat lain pun dia harus mempekerjakan tenaga ahli atau kurator yang mengerti tentang manuskrip.
“Beruntung saya pernah dibantu alat-alat untuk merawat manuskrip oleh Jepang, maka dengan barang-barang itulah selama ini saya membersihkan koleksi manuskrip di rumah,” ujarnya.
Meskipun demikian, keluarga Cek Midi memberikan dukungan terhadap kegemaran pria tersebut mengoleksi manuskrip-manuskrip dan menyimpannya di rumah. “Mereka mendukung,” tegas Cek Midi.
Cek Midi mengaku selama dirinya mengabdikan hidup untuk merawat manuskrip, sudah beberapa universitas, diskusi ilmiah, seminar yang mengundangnya menjadi narasumber atau pembicara. Dia juga sudah beberapa kali ke Brunei Darussalam, Malaysia, dan beberapa negara lain dari hasil merawat manuskrip. “Mereka mengundang saya karena mereka tertarik dengan manuskrip Aceh,” kata Cek Midi.
Namun dia kecewa karena manuskrip justru tidak mendapat tempat di hati orang Aceh sendiri. Menurutnya pemerintah juga kerap tidak mau ambil pusing untuk sekadar membantu menjaga khasanah budaya indatu Aceh tersebut.
“Khasanah yang ada di museum saya adalah milik Aceh dan itu harus mendapat perhatian dari orang Aceh itu sendiri,” pungkas Cek Midi.[]
PENULIS: BOY NASHRUDDIN AGUS