28.9 C
Banda Aceh
spot_img

TERKINI

Untuk Apa Menulis Berita?

Di era milenial ini, ketika informasi begitu cepat beredar, kadang kita perlu bertanya lagi; untuk apa menulis berita? Tujuan menulis berita seolah telah terdegradasi. Sejatinya berita ditulis untuk memberikan informasi yang akurat kepada khalayak, kini muncul fenomena menulis berita untuk sekedar memperoleh clickbait  dengan judul bombastis, dan malah dengan sumber anonim.

Untuk menjawab pertanyaan pada judul di atas, mari kita lihat pendapat dari Mitchell Stephens dalam bukunya History of News: From the Drum to Satellite, diterbitkan di New York oleh  Viking Press pada tahun 1988. Pendapat Mitchell Stephens ini juga dikutip oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstielt dan dijelaskan dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme.

Mitchell Stephens sebagai sejarawan yang juga mempelajari fungsi berita dalam kehidupan manusia sepanjang sejarah. Menurutnya, manusia membutuhkan berita karena naluri dasar, yakni naluri kesadaran, yang perlu mengetahui apa yang terjadi dan mempelajari kejadian-kejadian tersebut, hingga mereka memiliki pengetahuan, rasa aman, bisa merencanakan dan mengatur hidup mereka.

Pengetahuan informasi melalui berita, kemudian saling tukar informasi antar sesama, dapat membentuk suatu komunitas dan membuat ikatan antar masyarakat, karena berita merupakan bagian dari komunikasi yang membuat masyarakat terus memperoleh informasi yang benar.

Akhirnya lahirnya para penguasa yang menyediakan informasi untuk dikomersilkan, maka munculnya industri media massa. Karena besarnya pengaruh berita dari media massa dalam masyarakat, para penguasa kemudian juga merasa berkepentingan untuk mengontrolnya, apa lagi penguasa tiran dan diktator.

Tapi, sebaliknya berita media massa pula yang kadang kala dalam sejarahnya bisa menumbangkan sebuah kekuasaan. Mungkin dari sana kemudian muncul istilah pena lebih tajam dari pedang.

Pertanyaan selanjutnya adalah untuk apa jurnalisme itu? Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita lihat pendapat Bil Kovach dan Tom Rosentiel dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme, keduanya menjelaskan bahwa jurnalisme hadir untuk membangun masyarakat, jurnalisme ada untuk memenuhi hak-hak warga negara.

Tujuan utama jurnalisme adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan masyarakat, agar mereka mendapat informasi yang seutuhnya terhadap sesuatu hal, peristiwa, kebijakan politik dan sebagainya, sehingga masyarakat mempunyai basis informasi yang sama, yang dengan itu mereka kemudian menjadi bisa menentukan sikap. Ini yang kemudian dikenal sebagai teori keterkaitan publik.

Selanjutnya lihat juga pendapat Jack Fuller seorang novelis, pengacara dan presiden Tribune Publisihing penerbit media Chicago Tribune yang pendapatnya juga dikutip Bil Kovach dan Tom Rosential, ia mengungkapkan bahwa tujuan utama jurnalisme adalah menyampaikan kebenaran sehingga orang-orang akan mempunyai informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat.

Jurnalisme juga memiliki kewajiban sosial dan moral yang lebih luas, dengan pengaruhnya yang besar terhadap opini publik, jurnalisme juga dianggap sebagai ujung tombak demokrasi dan kedaulatan. Makanya jurnalisme (pers) dianggap sebagai salah satu pilar demokrasi.

Posisi dan Keberpihakan Jurnalis

Bagaimana jurnalis memposisikan diri dan berpihak merupakan pertanyaan lain yang menarik untuk kita bahas. Untuk menjawab pertanyaan itu, saya kutip pendapat pendiri, pemimpin umum, dan pemimpin redaksi harian Kompas, Jacob Oetama dalam tulisannya “Menunjang Keterbukaan” yang terbit di harian Kompas, Jakarta, 7 Januari 1978.

Pendapat Jacob Oetama ini saya ambil dalam buku Pers Ideal Untuk Masa Demokrasi yang ditulis oleh mantan Ketua Dewan Pers, Atmakusumah dan diterbitkan oleh Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) bekerja sama dengan Djarum Foundation dan Bank Mandiri di Jakarta pada Oktober 2018.

Jacob Oetama menulis, jurnalis tidak boleh berpuas diri, kalau sudah dihinggapi rasa puas, dia bukan lagi jurnalis. Paling banter hanya berfungsi sebagai juru informasi. Juru penerang. Jurnalis lebih dari sekedar juru penerang. Keadaan yang ada memang harus diterima, tetapi sebagai bekal realitas yang harus diperjuangan terus, diluaskan terus.

Kemudian pendapat pendiri dan pemimpin redaksi majalah  Tempo, Goenawan Muhammad yang menegaskan bahwa jurnalis dituntut untuk bekerja bukan untuk dirinya sendiri. Ia diasumsikan bekerja untuk kepentingan publik yang lebih luas, bahkan berperan dalam perubahan-perubahan di masyarakat.

Lalu jangan lupakan pendapat  pendiri pemimpin umum, dan pemimpin redaksi harian Indonesia Raya, Mochtar Lubis dalam Etos Pers Indonesia yang dikutip kembali oleh Atmakusumah selaku penyunting Mochtar Lubis Wartawan Jihad, diterbitkan  Kompas di Jakarta pada tahun 1992.

Menurut Mochtar Lubis, wartawan dan pers Indonesia memikul tugas dan tanggung jawab berat bagi keselamatan, kesejahteraan dan kemajuan manusia dan masyarakat Indonesia. Dan dalam dunia yang tambah mengecil ini, tanggung jawab demikian juga untuk seluruh umat manusia.

Apa itu saja cukup? Tentu saja tidak. Seseorang harus punya alasan yang jelas untuk menjadi jurnalis. Setidaknya ada empat alasan seorang menjadi jurnalis menurut Peter Henshall dan David Ingram dalam buku The News Manual-A training book for journalist, diterbitkan oleh Proman Pers dengan sponsor UNESCO.

Menurut keduanya, seseorang ingin menjadi jurnalis, pertama karena berhasrat untuk menulis, kemudian karena ingin dikenal melalui tulisannya, akan tetapi ia menyarankan agar ingin terkenal itu tidak menjadi faktor utama untuk menjadi jurnalis.

Alasan lainnya adalah karena ingin memengaruhi masyarakat, dalam hal ini kedua penulis tersebut menyarakan agar dalam hal ini sebaiknya jurnalis lebih sebagai “pelayan” masyarakat untuk menyalurkan informasi dan menafsirkan peristiwa. Jurnalisme bukan untuk tujuan demi kepentingan jurnalis itu sendiri (selfish ends), melainkan untuk memperbaiki kehidupan orang lain.

Alasan keempat adalah, karena ingin memperluas pengetahuan. Keingintahuan merupakan sifat vital setiap jurnalis; kebanyakan jurnalis mengetahui serba sedikit tentang banyak hal dari pada mengetahui banyak tentang satu hal.

Kemudian soal keberpihakan jurnalis. Idependensi jurnalis dan media bukan berarti  tidak boleh berpihak. Jurnalis dan media juga harus punya sikap. J William dan Russell N Braind dalam Magazine Editing and Production, terbitan Wm C Brown Publisher, Amerika Serikat, 1990 menegaskan, wartawan/media boleh berpihak, keberpihakannya dibenarkan dalam menentang hal-hal yang merugikan kepentingan umum, serta sebaliknya, bersikap tidak memihak terhadap perbuatan yang merugikan kepentingan umum.

Media dengan jurnalisnya bertanggung jawab kepada masyarakat luas yang mereka layani, ada tanggung jawab sosial dari jurnalis untuk menyampaikan kebenaran kepada publik. Jadi, jurnalis bisa berpihak kepada mereka yang mendukung perikemanusiaan.

Jurnalis tidak perlu memberikan keberimbangan atau berita yang sama porsinya kepada mereka yang melakukan perbuatan tak berperikemanusiaan. Jurnalis tidak boleh memberi dorongan kepada pendukung perbuatan tak berperikemanusiaan untuk menyuarakan pembelaannya. Jadi keberpihakan media dan jurnalisnya itu jelas dibenarkan selama keberpihakan itu kepada kemanusiaan, dan tidak berpihak kepada hal-hal yang merugikan kepentingan umum.

Meski demikian, dari berita-berita lainnya, jurnalis wajib menerapkan prinsip cover both side demi keberimbangan berita dan menghindari terjadinya penghakiman oleh media (trail by the press). Berita yang berimbang merupakan berita atau laporan yang disajikan secara objektif, termasuk tidak memihak kepentingan kelompok tertentu. Sifat berimbang ini perlu dijaga agar berita tidak menyesatkan pembaca.

Untuk memperoleh keberimbangan berita, seorang jurnalis dituntut melakukan verifikasi, karena pada prinsipnya setiap berita harus melalui verifikasi, terutama berita yang dapat merugikan pihak lain. Verifikasi diperlukan untuk memenuhi akurasi dan keberimbangan (cover both side).

Tapi prinsip cover both side ini juga memiliki pengecualian, seperti pada berita-berita yang mengandung kepentingan publik dan yang bersifat mendesak, tapi sumber utama dalam berita pengecualian ini haruslah sumber yang kredibel, berkompeten, dan disebut identitasnya secara jelas (bukan sumber anonim), serta subjek berita yang hendak dikonfirmasi untuk keberimbangan berita tidak diketahui keberadaannya dan atau tidak dapat diwawancarai.

Tapi dalam kasus pengecualian seperti itu, jurnalis atau media yang memuat atau menyiarkan berita itu harus memberi penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut. Dewan Pers menegasan bahwa penjelasan itu harus dimuat pada bagian  akhir dari berita tersebut di dalam kurung dengan menggunakan huruf miring.

Setelah verifikasi lanjutan dilakukan, hasil verifikasi harus dicantumkan pada berita terbaru (update) dengan menyertakan tautan berita sebelumnya yang belum terverifikasi, sehingga prinsip cover both side itu akhirnya juga terpenuhi. Demikian, semoga bermanfaat.[]

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS