25.7 C
Banda Aceh
spot_img

TERKINI

Upaya Hukum Mengembalikan Empat Pulau di Singkil

Oleh: Bahrul Ulum, S.H., M.H.   

Publik di Aceh dihebohkan dengan dicatutnya empat pulau di wilayah Aceh Singgkil menjadi wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara. Keempat pulau tersebut adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek.

Status administratif  tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025.

Ini merupakan fenomena aneh, mengapa baru di tahun kepemimpinan Muzakir Manaf isu ini kembali muncul, seakan-akan pemerintah sebelumnya tidak pernah berbuat dan sayangnya publik menilai lepasnya pulau tersebut berada pada masa kepemimpinan  Mualem dan  Dek  Fadh.

Padahal  permasalahan   keempat pulau ini sudah  terjadi  sejak  tahun 2022, pada saat itu Gubernur  Nova Iriansyah mengajukan protes lahirnya Kepmendagri  Nomor   050-145 tahun 2022, pada masa beliau juga   telah ditandatangani Berita Acara Bersama  antara  Aceh, Sumut dengan Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI, di Hotel Acacia, Jakarta Pusat, Senin, 20 Juni 2022.

Protes terhadap masuknya empat pulau tersebut ke wilayah Sumut juga pernah dilakukan oleh Penjabat Gubernur Ahmad Marzuki di tahun 2023 dengan mengajukan keberatan terhadap  Keputusan Menteri Dalam Negeri 100.1.1-6117 Tahun 2022 tentang Pemberian dan Pemutrakhiran Kode Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau yang ditetap pada tanggal 9 November 2022.

Bukan malah melakukan perubahan,  namun Pemerintah Pusat kembali menebitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang isinya juga sama yang menetapkan keempat pulau tersebut masuk wilayah administratif   Sumut.

Penulis menilai bahwa dalam bingkai ketata negaraan dan hubungan pemerintahan, Pemerintah Aceh sebagai bagian dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menyelenggarakan urusan pemerintahan  memiliki kewenangan yang telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan, begitu juga dengan Pemerintah Pusat yang memiliki kewenangan sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan.

Tindakan Pemerintah Aceh  dalam melayangkan   keberatan kepada Pemerintah Pusat bukan tanpa sebab, alasan yang utama bahwa secara historis dan sosiologis  serta hasil dari survei bersama di tahun 2022 pulau tersebut masuk di dalam wilayah Aceh di  Kabupaten Aceh Singkil, namun upaya  yang maksimal dan terukur di dalam etika  pemerintahan  ya hanya sebatas menyurati dan permohonan fasilitasi serta agar dilakukan perubahan terhadap  keputusan Menteri  Dalam Negeri tersebut dilakukan perubahan.

Kekosongan Hukum

UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tidak mengatur secara khusus bagaimana jika terjadi sengketa perebutan wilayah pulau antar  pemerintahan daerah, Pemerintah Pusat hanya mengatur tentang penyelesaian Batas Daerah sebagaimana diatur di dalam Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah dan sejauh ini penyelesaian permasalahan hubungan pusat dan daerah dilakukan dengan kebijakan fasilitasi, harmonisasi regulasi, penguatan desentralisasi, dan penyelarasan kebijakan fiscal serta memastikan peraturan daerah tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.

Namun sayangnya, terhadap kasus-kasus seperti keempat pulau tersebut peraturan perundang-undangan  belum mengaturnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ardi Eko Wijoyo, dkk, pada STIA LAN Jakarta dalam jurnalnya dengan judul Strategi Penyelesaian Sengketa Pulau Antara Kabupaten  Aceh Singkil Pemerintah Aceh dengan Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara (https://doi.org/10.35817/publicuho.v7i2.452), menyatakan belum  terdapat suatu pedoman/mekanisme yang ditetapkan dengan hukum  untuk penyelesaian  permasalahan  pulau  dan  data  penamaan  rupabumi  (gazeter)  tahun  2020 yang dijadikan pedoman bagi Kepemendagri Nomor 050-145 tahun 2022 bukan merupakan produk  hukum   namun  hanya  berupa  buku  dan  tidak  sesuai  dengan  Peraturan  Kepala  Badan Informasi  Geospasial  Nomor  51  tahun  2021  tentang  Nama  Rupabumi  tahun  2021  yang menyatakan  bahwa  4  (empat)  pulau  yang  bersengketa tersebut  dimasukkan  ke  dalam wilayah Indonesia tanpa menyebutkan masuk ke dalam kabupaten atau provinsi tertentu.

Hal inilah yang memicu  permasalahan, sehingga  saling klaim terjadi, padahal jika  Pemerintah pusat arif dan bijak melihat perselisihan yang berlangsung sudah sejak lama dengan melihat aspek historis dan sosiologis keberadaan pulau tersebut,  Pemerintah Pusat tidak perlu buru-buru menerbitkan Keputusan yang menetapkan keempat pulau tersebut masuk di dalam wilayah Sumut.

Pola Penyelesaian

Pola penyelesaaian  sengketa tidak terlepas dari proses penyelesaian sengketa secara mediasi maupun  penyelesian dengan  mengajukan upaya hukum pada pengadilan. Namun sebenarnya Mendagri dapat menyelesaikan permasalahan tersebut sesuai dengan Pasal 21 Permendagri  No. 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah  yang menyatakan

Dalam hal terjadi perselisihan penegasan batas daerah antar daerah kabupaten/kota dalam satu provinsi atau antar daerah provinsi, diselesaikan sesuai dengan tahapan dan tata cara penyelesaian perselisihan batas daerah antara pemerintah dan pemerintah daerah”.

Walaupun ketentuan ini tidak mengatur secara khusus mengenai  perselisihan terhadap pulau, namun esensi permasalahan juga mengenai batas wilayah Aceh yang  telah menjadi wilayah Sumut. Setidaknya Pemerintah dapat  menyelesaikan polemik  keempat pulau tersebut dengan membuka kembali ruang dialog bagi para pihak serta memeriksa bukti-bukti historis dan sosiologis  dari kedua  pemerintahan daerah.

Pemerintah Pusat pun seyogyanya harus memahami kedudukan dari  Pemerintah Aceh  yang memiliki kewenangan khusus sebagaimana diatur di dalam  UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 8 ayat 3 yang menyatakan “Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur” Artinya bahwa dalam menerbitkan Permendagri tersebut, harus adanya konsultasi terlebih dahulu dan pertimbangan Gubernur Aceh.

Pemerintah selaku pihak yang berwenang dalam menerbitkan Kepmendagri  Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025 dapat melakukan perubahan dengan  mencabut keputusan tersebut, hal ini didasarkan pada  Pasal 68 ayat (1) huruf b UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Hanya Warga Negara yang Dapat Menggugat 

Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025 adalah Keputusan Tata Usaha Negara, dalam hal ini berlaku asas Presumtio Iustae Causa, artinya bahwa Keputusan pejabat TUN wajib dianggap benar sebelum dicabut dan dibatalkan oleh Pengadilkan.

Selanjutnya Pasal 53 ayat (1) UU No.9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menyatakan “Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, tentu Pemerintah Aceh maupun Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil adalah bukan selaku orang atau subjek hukum perdata. Kedudukan Gubernur adalah juga selaku wakil Pemerintah pusat di daerah, dengan demikian sudah tentu upaya-upaya dalam mengajukan gugatan atas nama Pemerintah Aceh tidak dapat dilakukan, namun bagi warga negara yang merasa dirugikan atas terbitnya  Kepmendagri tersebut dapat saja mengajukan keberatan dan gugatan. Hal ini lumrah dilakukan dalam kerangka negara hukum yang mana bahwa salah satu pilar negara hukum  adanya Peradilan  Tata Usaha Negara.

Penulis yakin dan percaya bahwa pemerintah, dalam hal ini Mendagri dapat menyelesaikan permasalahan keempat pulau tersebut dengan pola-pola mediasi, bukan selaku wasit tetapi  bertindak secara  netral  selaku mediator yang dengan  arif dan bijak dalam membuat keputusan.

Di sisi yang lain, Pemerintah Aceh bersama-sama dengan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil serta stakeholder terkait harus tetap terus melakukan upaya-upaya diplomasi sampai ke  Presiden agar keempat pulau tersebut kembali masuk menjadi wilayah administrasi Pemerintah Aceh. Semoga.[]

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS