BANDA ACEH| ACEH INFO-Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dinilai tidak transparan dan tertutup untuk menunjukkan data penerima manfaat Jaminan Kesehatan Aceh (JKA). Akibatnya Pemerintah Aceh selaku pembayar premi asuransi kesehatan itu dirugikan.
“Data tersebut kesannya sangat tertutup di kuasai oleh BPJS dan pihak BPJS juga susah di akses oleh publik. kita hanya tau jumlah jiwa tapi siapa pasien dan alamatnya yang terima layanan JKA sangat tertutup,” kata Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, Kepada AcehInfo.
“Ini menjadi persoalan penting yang harus segera terselesaikan baik secara administrasi maupun penegakan hukum,” sebutnya.
Pemerintah Aceh sebagai pembayar premi JKA, juga dinilai abai karena tidak serius mencari tahu lebih detil mengenai kepada siapa saja premi asuransi kesehatan itu diberikan.
“Secara tranparansi, Pemerintah Aceh sampai saat ini tidak memiliki data berupa, nama dan alamat yang pernah mendapatkan layanan JKA. Anehnya lagi sejak 2010 pemerintah tidak pernah serius ingin tahu,” kata Alfian.
Seharusnya kata Alfian, persoalan transparansi data penguna layanan JKA harus diketahui oleh Pemerintah Aceh sebagai pembayar premi JKA kepada BPJS Kesehatan. “Ada fase yang menurut kami perlu di bongkar secara serius, fase verifikasi data, fase kontrak, fase layanan dan fase akuntabilitas dan transparansi,” sebutnya.
Alfian mencontohkan, pada 2016 rekonsiliasi dengan BPJS Kesehatan, hanya tercatat 2.066.979 jiwa masyarakat sebagai peserta JKRA. Artinya ada 460.061 jiwa data Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang fiktif. Namun Pemerintah Aceh tetap membayar ke BPJS.
Pemerintah Aceh bahkan saat itu mengalami kerugian mencapai 63,4 miliar dari total Rp 506 miliar anggaran JKRA. “Parahnya lagi sampai saat ini, kasus itu belum ada kepastian hukumnya,” sebutnya.
Karena itu dia meminta aparat penegak hukum untuk mengusut pengelolaan premi JKA oleh BPJS Kesehatan. Sebab ditengarai ada pihak-pihak yang menerima komitmen fee dari fase kontrak antara Pemerintah Aceh, dengan lembaga khusus yang menyelenggarakan jaminan kesehatan itu.
“Kami mendengar ada indikasi terjadi komitmen fee, siapa yang terima selama ini? Aparat penegah hukum perlu memastikan apa benar atau tidak hal terjadi. Sehingga tidak menjadi liar, dari dulu sampai sekarang,” tambanya.[]