BANDA ACEH | ACEH INFO – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh mengapresiasi pihak kepolisian yang terus menerus melakukan penegakan hukum terhadap aktivitas pertambangan emas ilegal di Aceh. Meskipun sejauh ini upaya tersebut dinilai belum memberikan efek jera terhadap pelaku, bahkan kegiatan ilegal tersebut justru masih terjadi secara massif di beberapa daerah seperti Pidie, Aceh Tengah, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Aceh Selatan.
“Di beberapa kasus penegakan hukum, justru terjadi perlawanan dari kelompok penambang seperti menghadang penyitaan alat berat dan aksi penolakan sebagaimana yang terjadi di Pidie. Artinya, upaya penegakan hukum belum menjadi solusi dalam menertibkan kegiatan pertambangan emas ilegal di Aceh yang telah berdampak serius terhadap lingkungan hidup dan menjadi faktor penyebab bencana ekologis,” kata Direktur Eksekutif Daerah WALHI Aceh, Ahmad Shalihin, Senin, 31 Januari 2022.
Terkait pertambangan, menurutnya, negara dengan tegas telah mengatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara (minerba), kemudian diubah dengan undang-undang nomor 3 tahun 2020, “dan terjadi revisi kembali melalui undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.”
Merujuk ke undang-undang Minerba, maka pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian atau pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
Sementara mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. “Jadi komoditas emas masuk dalam ketegori mineral,” katanya lagi.
Undang-undang Minerba juga mengatur tentang Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dengan luas wilayah dan investasi terbatas. Untuk mendapatkan IPR, lokasi yang dimohonkan harus berada dalam Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR)—yang merupakan bagian dari Wilayah Pertambangan (WP) dan ditetapkan dalam tata ruang Nasional. Sederhananya, kata Ahmad Shalihin, masyarakat bisa memohonkan IPR pada wilayah yang telah ditetapkan sebagai WPR, yang merupakan bagian dari WP dan merupakan bagian dari Tata Ruang Nasional.
“Sebaliknya, jika areal yang dimohonkan mendapatkan IPR tidak berada dalam WPR, maka izin pertambangan rakyat tidak dapat diberikan. Kewenangan menetapkan WP berada di pemerintah pusat setelah ditentukan oleh pemerintah daerah provinsi sesuai dengan kewenangannya dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik,” katanya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, disebutkan Pemerintah Pusat berwenang menetapkan wilayah pertambangan sebagai bagian dari rencana tata ruang wilayah nasional, yang terdiri atas wilayah usaha pertambangan, wilayah pertambangan rakyat dan wilayah pencadangan negara serta wilayah usaha pertambangan khusus.
Namun jika merujuk kepada undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 156 disebutkan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota mengelola sumber daya alam di Aceh, baik di darat maupun di laut wilayah Aceh sesuai dengan kewenangannya. Hal itu meliputi bidang pertambangan yang terdiri atas pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan, dan kelautan yang dilaksanakan dengan menerapkan prinsip transparansi dan pembangunan berkelanjutan.
Wilayah dalam WP yang dapat ditentukan sebagai WPR harus memenuhi kriteria; mempunyai cadangan Mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai; mempunyai cadangan primer Mineral logam dengan kedalaman maksimal 100 (seratus) meter; endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba; luas maksimal WPR adalah 100 (seratus) hektare; menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang; dan/atau memenuhi kriteria pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan Usaha Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
IPR di berikan oleh Menteri kepada: orang perseorangan yang merupakan penduduk setempat; atau koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat. Untuk memperoleh IPR, pemohon harus menyampaikan permohonan kepada Menteri. Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat diberikan kepada: orang perseorangan paling luas 5 (lima) hektare; atau koperasi paling luas 10 (sepuluh) hektare. IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun.
“Jadi untuk perbaikan tata kelola pertambangan emas ilegal di Aceh, langkah utama yang harus dilakukan adalah pemerintah Aceh mengusulkan penetapan WPR kepada pemerintah pusat. Karena sepengetahuan WALHI Aceh, di provinsi Aceh belum terdapat WPR sehingga sampai hari ini rakyat tidak bisa mengurus IPR,” katanya.[]