Oleh: Tuanku Warul Waliddin*
Pemerintah Aceh telah menerima kucuran dana otonomi khusus (Otsus) lebih dari Rp103 triliun. Lalu bagaimana dengan kemajuan pendidikan di Aceh, apa kabar pendidikan Aceh setelah dana Otsus berakhir?
Pertanyaan seperti itu menyeruak dalam ruang-ruang diskusi, di tengah melimpahnya dana, kualitas pendidikan di Aceh belum meningkat signifikan dibangdingkan dengan daerah lain. Dana besar tidak selalu dibarengi dengan perencanaan dan pengawasan yang baik. Kontingensi politik yang juga kadang menyebabkan ketidaksesuaian antara kebijakan pusat dan dearah juga ikut mempengaruhi. Hal ini diperparah lagi dengan inefesiensi anggaran. Sudah saatnya Aceh melepaskan ketergantungan pada dana Otsus dan menciptakan sistem pendidikan berkelanjutan.
Membuka tulisan ini, menarik untuk kita cermati apa yang dikemukakan peneliti terkemuka psikologi industri dan organisasi di abad ke-20, Fred Edwar Fiedler dalam bentuk teori kontingensi. Teori ini dikenal sebagai Kontingensi Fiedler, sering juga disebut Teori Kepemimpinan Fiedler.
Fiedler mengemukakan bahwa tidak ada satu cara terbaik untuk mengelola organisasi atau membuat keputusan—pendekatan yang paling efektif sangat bergantung pada situasi dan kondisi spesifik yang dihadapi. Menurutnya, keputusan, struktur organisasi, gaya kepemimpinan, atau kebijakan akan efektif jika disesuaikan dengan faktor-faktor lingkungan dan kondisi yang ada. Selain itu, tidak ada solusi tunggal yang universal,  keputusan yang baik tergantung pada konteks spesifik, misalnya: lingkungan eksternal, budaya organisasi, teknologi, ukuran organisasi, dan lain sebagainya. Fleksibilitas dan adaptasi sangat penting untuk efektivitas organisasi.
Lembaga pedidikan sebagai sebuah organisasi, harus menyesuaikan pendekatan, struktur, dan kepemimpinan mereka dengan kondisi lingkungan agar berhasil. Dalam teori kepemimpinan ala Fiedler dijelaskan bahwa untuk menjadi pemimpin adalah bukan karena sifat mereka namun karena kepribadian mereka. Selain itu adanya bermacam-macam situasi juga menyebabkan seseorang dapat menjadi pemimpin.
Fiedler  juga berpendapat bahwa kepemimpinan bersifat situasional karena memang pada dasarnya menjadi pemimpin tergantung pada situasi saat itu. Teori ini menunjukkan bahwa terdapat kelompok efektif yang mana mereka sangat bergantung dengan gaya pemimpin mereka. Tidak akan ada kepemimpinan di sebuah lingkungan sosial yang pasif. Sebab itulah para calon pemimpin akan mencoba merasuki anggota kelompok mereka dan terkait dengan situasi-situasi tertentu.
Kepemimpinan merupakan suatu hal yang mampu diraih seorang pemimpin untuk mempengaruhi tinggi dan rendahnya prestasi kerja di kelompoknya. Pemimpin yang baik akan mampu memotivasi, mengendalikan, serta mempengaruhi sebuah situasi.
Ada beberapa hal dari seorang pemimpin yang mempengaruhi kinerja kelompoknya yaitu gaya kepemimpinan mereka serta situasi yang mereka hadapi. Jadi tidak ada gaya kepemimpinan yang terbaik. Semua bergantung pada situasi yang ada.
Kembali ke soal dana Otsus dan kemajuan pendidikan Aceh.  Selama 17 tahun dana Otsus bergulir dengan pemerintahan yang berbeda-beda, dimana sejak 2007-2012 pada saat awal bergulirnya dana otsus Aceh di pimpin oleh Irwandi – Nazar. Gaya kepemimpinan beliau pada periode pertama ini menghasilkan banyak terobosan yang brilian. Antara lain jaminan kesehatan Aceh (JKA) yang untuk kali pertamanya di Indonesia telah mampu menginspirasi pemerintah Pusat melahirkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Masyarakat tidak perlu takut akan biaya berobat yang mahal, karena pemerintah sudah menganggarkan anggaran khusus untuk JKA ini. Siapapun yang berobat ke puskesmas, rumah sakit dan klinik kesehatan lainnya yang ditunjuk maka pelayanan gratis akan diperoleh, dan konon katanya sistem ini diadopsi dari sistem jaminan kesehatan yang ada di Jerman, yang dikenal sebagai Sistem Bismarck, yang merupakan salah satu yang tertua dan paling maju di dunia. Sistem ini didasarkan pada asuransi sosial wajib yang mencakup hampir seluruh populasi. Sistem ini menyediakan jaminan kesehatan bagi semua penduduk, baik melalui asuransi kesehatan publik (Gesetzliche Krankenversicherung/GKV) maupun swasta (Private Krankenversicherung/PKV.
Dari sisi olahraga Gubernur Irwandi membuat terobosan dengan mengirimkan pemain bola muda Aceh hasil seleksi di daerah-daerah untuk dikirimkan ke Paraguay guna menjalani pendidikan dan pelatihan sepak bola.
Di dunia pendidikan terobosan yang spektakuler dilakukan oleh Gubernur Irwandi dengan melahirkan Komisi Beasiswa Aceh dibentuk pada tahun 2008. Program ini dikenal sebagai beasiswa Pemerintah Aceh atau Beasiswa KBA (Komisi Beasiswa Aceh). Putra putri Aceh dikirim sebanyak-banyaknya ke luar negeri untuk melanjutkan Pendidikan S1, S2 hingga S 3 ke berbagai negara-negar maju dengan harapan mencerdaskan generasi Aceh dalam melahirkan sumber daya unggul Aceh di masa depan.
Pada masa Gubernur Irwandi inilah Aceh sempat memiliki harapan yang besar menuju kemajuan yang sudah mulai tanpak didepan mata, mengingat latar belakang Irwandi yusuf seorang akademisi Universitas Syiah Kuala yang telah mampu menciptakan harmonisasi pembangunan dengan berkolaborasi antara akademisi dan praktisi didalam membangun Aceh. Pada tahun 2012 diakhir pemerintahan Irwandi, tingkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Aceh mencapai 67,81. Angka ini menunjukkan pertumbuhan sebesar 0,53% dibandingkan dengan IPM Aceh tahun 2011.
Pada 2012 Gubernur Irwandi gagal melanjutkan tongkat kepemimpinannya. Hasil Pilkada 2012 yang memenangkan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf telah merubah beberapa prioritas yang dahulu sempat dirintis oleh Irwandi yusuf. Gaya kepemimpinan Dr. Zaini dan Muzakkir Manaf pada masa itu awalnya berjalan harmonis hingga 1 tahun perjalanannya. Namun memasuki tahun kedua isu keretakan mulai muncul.
Beberapa Kebijakan di Dunia Pendidikan
Pada masa Gubernur Dr. Zaini Abdullah Seluruh sektor bersinergi. Dinas Pendidikan, Kementerian Agama, Badan Pembinaan dan Pendidikan Dayah, Bappeda, Majelis Pendidikan Daerah, perguruan tinggi, semua berperan dan terlibat. Sinerginitas ini penting guna memperkuat semangat bersama, meningkatkan mutu pendidikan, sekaligus memperkuat basis pembangunan sumber daya manusia cerdas dan berkualitas.
Kala itu Gubernur Zaini Abdullah menyatakan Pemerintah Aceh mengefektifkan 11 Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) yang menangani berbagai jenis peningkatan mutu pendidikan. Pemerintah Aceh juga meningkatkan kapasitas ribuan tenaga pendidik dalam berbagai kompetensi. Diakhir periode kepemimpinan Dr. Zaini Pada tahun 2017, IPM Provinsi Aceh mencapai 70,60. Angka ini meningkat sebesar 0,60 poin dibandingkan Tahun 2016 yang sebesar 70,00.
Pada tahun 2017 hasil Pilkada Aceh memberikan kesempatan kembali kepada Irwandi Yusuf yang berpasangan dengan Nova Iriansyah untuk menahkodai Aceh menuju harapan baru kemajuan yang dicita-citakan hampir 5 juta lebih rakyat Aceh. Harapan baru dengan terobosan-terobosan baru di masa Irwandi Jilid 2 sangat dinanti oleh seluruh rakyat Aceh. Gaya kepemimpinan Irwandi yang mengeksekusi berbagai program tepat sasaran sesuai harapan rakyat sebagaimana di jilid 1 semakin terpampang nyata.
Pada 7 Juli 2017 Irwandi resmi dilantik kembali sebagai Gubernur Aceh. Namun di tengah semarak dan semangatnya program baru berjalan sekitar 1 tahun, pada 5 Juli 2018 Gubernur Irwandi Yusuf terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK di Banda Aceh. Sejak saat itulah harapan baru pembangunan Aceh khususnya dunia pendidikan yang sudah mulai terasa menuju kearah kemajuan. Pada tahun 2018, IPM Provinsi Aceh mencapai 71,19. Angka ini meningkat sebesar 0,59 poin dibandingkan tahun 2017 yang sebesar 70,60.
Roda Pemerintahan dilanjutkan oleh Wagub Nova Iriansyah yang berlatar belakang akademisi Universitas Syiah Kuala sebagai Plt. Gubernur Aceh sejak 5 November 2020Â hingga 5 Juli 2022. Dimana pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Aceh tahun 2022 mencapai 72,80, meningkat 0,62 poin (0,86 persen) dibandingkan capaian tahun sebelumnya (72,18). Peningkatan terjadi pada semua komponen, baik kualitas kesehatan, pendidikan maupun pengeluaran per kapita yang disesuaikan (data BPS).
Analisis Kontingensi dan Rekomendasi
Dari sisi eksternal, perubahan sosial dan ekonomi di Aceh memerlukan adaptasi kebijakan pendidikan. Sementara di internal struktur organisasi, dinas pendidikan dan lembaga pendidikan perlu fleksibel dalam mengelola program berdasarkan kebutuhan daerah. Begitu juga dengan gaya kepemimpinan harus sesuai dengan karakteristik lokal; kepemimpinan kolaboratif dan partisipatif lebih cocok di masyarakat Aceh yang kolektif.
Berbarengan dengan itu tentunya pemanfaatan teknologi dan sumber daya untuk pendidikan harus mempertimbangkan kesiapan infrastruktur dan SDM di  daerah, terutama di daerah terpencil. Karena itu perlu adanya reformulasi kebijakan pendidikan pasca dana Otsus. Pengelolan pendidikan Aceg harus fokus pada kemandirian, bukan selamanya  ketergantungan dana. Perkuat juga perencanaan berbasis data dan kebutuhan lokal, hindari kebijakan copy-paste dari pusat.
Lebih dari itu, perlu peningkatan akuntabilitas dan transparansi. Pengelolaan dana yang besar memerlukan pengawasan ketat berbasis masyarakat. Berdayakan juga SDM lokal, libatkan guru, kepala sekolah, dan pengelola pendidikan harus dibekali dengan kapasitas manajerial adaptif. Selanjutnya yang tak kalah penting adalah penguatan kolaborasi dengan masyarakat sipil dan ulama, karena konteks Aceh sangat dipengaruhi budaya dan agama.
Melalui pendekatan teori kontingensi, dapat dilihat bahwa pendidikan di Aceh selama 17 tahun berbagi dana Otsus menghadapi dinamika yang tidak bisa diselesaikan dengan solusi tunggal. Diperlukan pendekatan yang fleksibel, kontekstual, dan berbasis kebutuhan lokal. Ke depannya, keberhasilan pendidikan di Aceh tidak lagi hanya soal dana, tetapi soal kemampuan sistem untuk terus beradaptasi secara cerdas terhadap kondisi yang ada.[]
*Tuanku Warul Waliddin, SE, Ak adalah mahasiswa Pascasarjana Magister Akuntansi Sektor Publik – Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Syiah Kuala.