JAKARTA I ACEH INFO – Memorendum of Understanding (MoU) Helsinki antara GAM dan RI atau Hari Perdamaian Aceh diperingati pada 15 Agustus setiap tahunnya.
MoU Helsinki lahir pada 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia. Pada 15 Agustus 2022 ini sudah 17 tahun GAM berdamai dengan NKRI.
Namun perdamaian ini belum begitu dirasakan oleh masyarakat Aceh, terutama masalah kesejahteraan rakyat.

Selain tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM), banyak tokoh masyarakat sipil yang terlibat lahirnya MoU Helsinki. Namun para tokoh sipil itu seakan tidak terlihat hasil perjuangan mereka.
Buktinya, banyak tokoh sipil yang ikut berjuang untuk perdamaian Aceh yang kini tenggelam namanya. Bahkan banyak yang sudah tiada.
Hal itu antara lain disampaikan Maitanur (44), istri dari almarhum tokoh Referendum yang juga tokoh perdamaian Aceh Faisal Ridha.
Maitanur yang akrab disapa ibu Metha kepada Acehindo.id, Jumat 19 Agustus 2022 di Jakarta mengatakan, dirinya selalu mendampingi almarhum suaminya Faisal Ridha saat masih berjuang untuk Referendum dan perdamaian RI dan GAM.
Ibu dari lima putra ini mengaku ikut berjuang bersama suaminya mengumpulkan masyarakat sipil Aceh untuk Referendum dan perdamaian Aceh.
Almarhum suaminya Faisal Ridha berjuang untuk perdamaian Aceh mulai dari Aceh, Jakarta hingga keluar negeri, seperti Malaysia, Jerman, Swedia hingga ke Finlandia Eropa tempat ditanda tangani ya MoU Helsinki antara GAM dan RI.
“Saat itu kami berjuang untuk menyamakan persepsi antara orang sipil dan GAM untuk perdamaian RI dan GAM, tapi sekarang kami warga sipil atau tokoh pejuang sipil kurang dilibatkan dalam perdamaian ini,” katanya.
Katanya masyarakat sipil saat itu sangat berperan dalam melahirkan MoU Helsinki. Aksi-aksi sipil itu mengerucut sejak tahun 1998 hingga tahun tahun 2005 lahirnya MoU Helsinki di negara Eropa tersebut.
“Tapi apa yang kami rasakan saat ini sebagai salah satu keluarga dari sejumlah tokoh sipil yang berjuang untuk MoU, kami seperti kurang diperhatikan layaknya tokoh-tokoh GAM saat ini,” kata ibu Metha.
Ibu Metha yang kini aktif sebagai seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pemerintah Aceh, sempat tinggal di Jakarta saat Darurat Militer di Aceh dan baru kembali ke Aceh pada tahun 2006. Beliau bersama suaminya sempat membantu korban tsunami melalui NGO yang ada di Aceh.
“Pandangan saya belum maksimal dengan tujuan perdamaian itu sendiri, karena tingkat kesejahteraan masyarakat masih rendah, pengangguran masih tinggi dan berdasarkan data yang ada, angka kemiskinan juga masih tinggi,” katanya.
Harapannya ke depan untuk membuat program pasca perdamaian yang sudah 17 tahun ini, harus melibatkan semua pihak, tidak hanya sekelompok-kelompok orang.
“Karena selama ini kurang dirasakan oleh masyarakat sipil, sedangkan masyarakat sipil itulah yang menyuarakan perdamaian, serta ikut dalam proses perdamaian Aceh,” terang ibu Metha.
Tambahnya, kalau tidak ada masyarakat sipil yang demo, mengungsi, dan jadi korban perang, Perdamaian GAM dan RI tidak akan lahir, tapi semua itu juga karena Allah SWT, maka lahirlah MoU Helsinki,” sebutnya.
Saat itu padahal banyak sekali tokoh sipil yang hadir, tapi selama ini tokoh sipil itu tidak difungsikan hanya orang-orang GAM yang kelihatan terlibat dalam perdamaian Aceh dan mereka yang banyak mendapat kompensasi dari hasil perdamaian.
Sedangkan tokoh sipil yang berjuang untuk MoU Helsinki selalu ditenggelamkan. Pelaku-pelaku sejarah Aceh kini juga kurang dilibatkan.
“Perjalanan perjuangan Aceh ini pincang karena ada pihak-pihak sipil yang tidak dilibatkan lagi. Diduga takut menggangu, kepentingan-kepentingan kelompok tertentu,” tegas ibu Metha.
Penulis : Ferizal Hasan