24.5 C
Banda Aceh
spot_img

TERKINI

Meuseuraya Akbar di Cot Geunduek Mapesa Temukan Makam Penguasa Pelabuhan Pidie

SIGLI | ACEH INFO —  Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (MAPESA) mendapatkan temuan baru di salah satu lokasi penyelamatan makam di Desa Cot Geunduek, Kecamatan Pidie dalam acara puncak Meuseuraya Akbar, Rabu (28/5/2025).

Temuan tersebut yaitu salah satu pemilik kubur di kompleks pemakaman tersebut merupakan penguasa pelabuhan di Pidie. Hal tersebut disimpulkan oleh MAPESA sesuai dengan inskripsi yang terpahat di batu nisannya atas nama Khan Bandar.

“Syah dan Khan adalah dua kata dengan makna yang sama, yaitu raja, amir, pemilik, atau penguasa,” ujar Ketua MAPESA, Mizuar Mahdi dalam keterangannya, Kamis (29/5/2025).

Redaksi inskripsi yang terpahat di kaki sisi selatan batu nisan tersebut yaitu:

هذا نسان خان بندر

ابن عبد الله

ابن محمد شاه

Artinya “Inilah nisan Khan Bandar putra Abdullah putra Muhammad Syah”.

Baca Juga: Meuseuraya Akbar Kerja Kolektif Melestarikan Warisan Leluhur

Meuseuraya Akbar di Desa Cot Geunduk menjadi sorotan karena menampilkan proses nyata pemulihan situs sejarah, khususnya pemeliharaan batu nisan yang sarat nilai budaya dan keagamaan.

Acara yang didukung oleh Kementerian Kebudayaan dan LPDP melalui program Dana Indonesiana ini turut dihadiri dan disaksikan langsung oleh kalangan masyarakat Pidie dan sekitarnya. Acara ini bukan hanya menjadi ajang pelestarian tradisi, tetapi juga menjadi ruang edukasi langsung bagi masyarakat mengenai teknik dan prinsip konservasi benda cagar budaya, khususnya batu nisan bersejarah yang banyak ditemukan di Aceh.

Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah I Aceh, Piet Rusdi mengatakan bahwa kemampuan penanganan situs Islam di Aceh yang dilakukan MAPESA ini merupakan contoh bagi penanganan situs Islam di daerah lain di Indonesia.

Menurut Ketua Panitia, Iskandar Tungang, kegiatan ini dirancang sebagai bentuk edukasi publik sekaligus penghormatan terhadap situs makam leluhur. Dalam sesi utama, para peserta diajak menyaksikan bagaimana proses pembersihan, dokumentasi, hingga pelurusan posisi batu nisan dilakukan secara hati-hati dan sesuai kaidah arkeologi.

“Penanganan batu nisan kuno tidak bisa sembarangan. Kita harus pahami nilai sejarah, makna inskripsi, dan cara terbaik merawatnya agar tetap utuh bagi generasi mendatang,” ujar Iskandar, Rabu (28/5/2025).

Baca Juga: Tanpa Regulasi Khusus Perlindungan Terhadap Warisan Budaya Aceh Lemah

Iskandar menambahkan bahwa di Cot Geunduk terdapat sejumlah makam kuno yang diyakini berasal dari masa-masa awal Islam berkembang di wilayah Pidie. Sebagian besar batu nisannya telah terkubur atau miring karena faktor usia dan alam, sehingga butuh pemulihan secara profesional.

Selain pertunjukan teknik konservasi, acara juga dirangkai dengan khanduri jeurat, yakni tradisi kenduri di makam yang menjadi bentuk penghormatan kepada leluhur. Dalam suasana khidmat, panitia menyajikan delapan paket besar kari daging sapi khas Pidie kepada masyarakat setempat dan para tamu undangan.

Sejumlah pelajar dan mahasiswa terlihat mencatat dan berdiskusi langsung dengan para penggiat sejarah mengenai teknik identifikasi batu nisan, penggunaan alat, hingga cara merekam data sejarah dari situs yang ditemukan.

“Kalau sudah begini kondisi nisannya, kalau sudah kita ketahui wajib kita angkat, kalimah tauhid sudah tenggelam. Kalau tidak kita angkat kita yang berdosa, terinjak-injak kalimah tauhid, kalimah-kalimah yang harus kita tinggikan,” ujar Hasan Basri, salah seorang anggota MAPESA di lokasi pemakaman.

MAPESA berharap kegiatan seperti ini bisa diperluas ke daerah-daerah lain di Aceh yang kaya akan situs makam Islam, dan mampu mendorong keterlibatan generasi muda dalam pelestarian sejarah.

“Kami ingin membuktikan bahwa pelestarian sejarah itu bukan sekadar wacana, tapi tindakan nyata. Meuseuraya ini adalah panggung kita untuk memperlihatkan itu,” tambah Iskandar.

Baca Juga: Mapesa Edukasi Sejarah Berbasis Pengalaman Kepada Pelajar di Pidie

Kegiatan Meuseuraya Akbar di Desa Cot Geunduk menjadi salah satu bentuk nyata pelestarian nilai-nilai budaya dan sejarah Aceh yang semakin digalakkan belakangan ini. Dalam kegiatan itu MAPESA juga bekerja sama dengan komunitas Beulangong Tanoh, kegiatan ini juga dirangkai dengan pelaksanaan khanduri jeurat, yakni tradisi kenduri di makam leluhur sebagai bentuk penghormatan dan doa untuk para pendahulu.

Sebagai bagian dari prosesi adat tersebut, panitia menyajikan delapan paket besar kari daging sapi khas Pidie yang kemudian dibagikan secara gratis kepada masyarakat setempat dan para tamu undangan. Makanan tersebut dimasak secara gotong royong dan disajikan untuk bersama.

Kari Pidie, makanan yang menjadi sajian utama dalam acara ini, merupakan kuliner khas daerah yang sangat lekat dengan identitas masyarakat Pidie. Tidak seperti kari pada umumnya, kari Pidie memiliki ciri khas tersendiri, mulai dari teknik memasaknya yang lebih kompleks hingga perpaduan rempah-rempah lokal yang kaya aroma dan cita rasa. Kuahnya yang kental berwarna kuning keemasan berasal dari paduan kunyit dan santan, serta disempurnakan dengan rempah-rempah seperti ketumbar, jintan, cengkeh, kayu manis, kapulaga, dan pala.

Iskandar Tungang menambahkan, kegiatan ini merupakan bagian dari upaya MAPESA untuk terus menghidupkan kembali tradisi-tradisi lokal yang hampir punah. Khanduri jeurat yang diadakan kali ini menjadi momen penting karena dilakukan secara besar-besaran dan melibatkan banyak pihak, baik dari unsur masyarakat adat, tokoh pemuda, hingga instansi pemerintah.

“Ini merupakan Khanduri jeurat pertama yang kami lakukan yang melibatkan banyak orang dengan paket besar. Kami ingin menjadikan kegiatan seperti ini sebagai ruang kolaborasi lintas generasi dalam mengenang dan memuliakan warisan leluhur. Semoga ke depan, acara ini bisa menjadi agenda tahunan MAPESA dalam menjalankan misi pelestarian budaya dan sejarah Aceh,” ujar Iskandar.

Baca Juga: Mapesa Gelar Meuseuraya di Gampong Besejarah Cot Geunduek

Sementara itu Ketua MAPESA, Mizuar Mahdi mengatakan pencanangan ini sudah disepakati bersama mengingat besarnya potensi situs Islam yang menunjukkan peradaban Islam ratusan tahun lalu di Cot Geunduek.

Sebagaimana diketahui, Kerajaan Pedir muncul sebagai salah satu pusat kekuasaan dan penyebaran Islam paling awal di Nusantara, jauh sebelum Kesultanan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaannya. Kerajaan Pedir — atau sering juga disebut sebagai Kerajaan Pidie — diperkirakan mulai berkembang sejak abad ke-13 hingga awal abad ke-16.

Letaknya yang strategis di jalur pelayaran internasional menjadikan kerajaan ini sebagai pusat perdagangan penting yang ramai disinggahi oleh para pedagang dari Arab, Gujarat, Persia, hingga Tiongkok. Komoditas utama yang diperdagangkan antara lain lada, emas, dan hasil bumi lainnya.

Selain sebagai pusat perdagangan, Pedir juga berperan besar dalam penyebaran Islam di kawasan barat Nusantara. Para ulama dan mubaligh dari Timur Tengah banyak yang menetap di sini, menjadikan wilayah kerajaan sebagai pusat pembelajaran agama Islam. Hal ini membuat Pedir dikenal sebagai salah satu kerajaan Islam terkemuka di masanya.

Setelah peresmian Desa Cot Geunduek sebagai Gampong Warisan Sejarah Aceh, acara kemudian dilanjutkan dengan Khanduri jeurat di meunasah desa setempat yang dibuka oleh Bupati Pidie, Sarjani Abdullah serta pemberian santunan terhadap sejumlah anak yatim di desa tersebut.[]

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS