BANDA ACEH | ACEH INFO – Sebanyak18 anggota Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh mengajukan mosi tidak percaya kepada Ketua Kolektif Kolegial Yusdedi dan Syeh Marhaban. Hanya 7 anggota yang tidak menandatanganinya, sisanya 11 anggota kosong karena berbagai hal.
Sumber di Sekretariat MAA dan dari internal anggota MAA Provinsi Aceh mengungkapkan, mosi tidak percaya terhadap Yusdedi dan Syeh Marhaban itu dilayangkan karena keduanya sebagai Ketua Kolektif Kolegial tidak menjalankan amanah Rapat Kerja (Raker) MAA tahun 2024, serta mengabaikan Surat Gubernur Muzakir Manaf Nomor 800.1.1.51/5122 tanggal 6 Mei 2025 yang memerintahkan agar segera melaksanakan musyawarah pengusulan ketua dan pengurus MAA pengganti antar waktu periode 2021-2026.
Surat mosi tidak percaya itu disampaikan kepada Gubernur Muzakir Manaf dan Sekretaris Daerah (Sekda) Muhammad Nasir pada Selasa sore, 17 Juni 2025, tembusannya juga disampaikan ke Wali Nanggroe Paduka Yang Mulia Teungku Malik Mahmud Alhaytar, Ketua Dewan perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Biro Keistimewaan dan Kesejahteraan Rakyat (Biro Isra), serta Biro Hukum Setda Aceh.
Baca Juga: Menimbang Nasib Majelis Adat Aceh
Mereka yang menandatangani surat mosi tidak percaya itu adalah: Ketua Pemangku Adat Teungku Abdul Hadi Zakari, Sekretaris Pemangku Adat Miftachuddin Cut Adek, Ketua Komisi Pembangunan Adat Prof. Yusri Yusuf, Angota Komisi Pembangunan Adat Abdur Rahman, Ketua Komisi Islah/Damai Bahadur Satri, Sekretaris Komisi Islah/Damai Baharuddin AR, Ketua Komisi Ekonomi Adat Saidinur Yusuf, anggota Komisi Ekonomi Adat Azhari Bahrul.
Kemudian, anggota Komisi Pemberdayaan Keluarga Perempuan dan Anak Dr. Nasruddin, Kepala Bidang Hukum Adat Syaiba Ibrahim, anggota Bidang Hukum Adat Jamhuri, Kepala Bidang Pendidikan Penelitian dan Pengembangan Adat Dr. Bustami Abubakar, anggota Bidang Pendidikan Penelitian dan Pengembangan Adat Dr. Safrul Muluk, anggota Bidang Pendidikan Penelitian dan Pengembangan Adat Mukhlis, anggota Bidang Pustaka dan Khasanah Adat Prof. Habiburrahim, serta tiga anggota Bidang Putroe Phang Cut Nyak Dewi Angreni, Nur Asmah dan Dr. Chairan M Noer Naim.
Sementara tujuh orang yang tidak menandatanganinya adalah Ketua Komisi Pemberdayaan Keluarga Perempuan dan Anak Ismaniar, Sekretaris Komisi Pemberdayaan Keluarga Perempuan dan Anak Suriawati Hasballah, Kepala Bidang Adat Istiadat Bahtiar, anggota Bidang Adat Istiadat Marzuki, Kepala Bidang Pustaka dan Khasanah Adat Prof. Mujiburrahman, anggota Bidang Pustaka dan Khasanah Adat Dr. Akhyar, serta Kepala Bidang Putroe Phang Dr. Harbiyah.
“Padahal Gubernur Muzakir Manaf sudah memerintahkan untuk segera melaksanakan musyawarah pemilihan ketua defenitif dan pengurus pengganti untuk sebelas anggota MAA yang kosong, tapi Yusdedi belum juga melaksanakannya, makanya surat mosi tidak percaya itu muncul,” ungkap sumber di Sekretariat MAA.
Baca Juga: Quo Vadis Majelis Adat Aceh
Sumber tersebut menambahkan, sebelas nama anggota MAA kosong karena berbagai hal, tiga diantaranya karena meninggal dunia yakni Prof. Farid Wajdi, Fuadi Zulkifli, dan Abdullah Saleh. Dua mengundurkan diri Teungku Jemarin dan Ismi Amran. Satu orang berhalangan tetap karena sakit berat Teuku Ibrahim Parades, dua orang diangkat menjadi Tuha Peut dan Tuha Lapan di Lembaga Wali Nanggroe yakni Adnan Beuransah dan Prof. Syamsul Rizal. Tiga orang lainnya tidak menjadi anggota majelis karena tidak mengikuti pengukuhan yakni Tarmizi Ishak, Alkaf, dan Abdul Muthaleb.
Polemik di MAA sudah lama terjadi, malah sudah muncul pada masa kepengurusan Badruzzaman Ismail, meski sempat mereda, namun belakangan memuncak kembali setelah pada 14 Agustus 2021 Ketua MAA Prof Farid Wajdi Ibrahim meninggal dunia. Sejak saat itu Wakil Ketua I Yusdedi dan Wakil Ketua II Syeh Marhaban menjadi pimpinan MAA Provinsi Aceh secara kolektif kolegial.
Pada 20 hingga 23 Februari 2022 Digelar Raker MAA di Sabang. Raker dibuka oleh dibuka langsung oleh Gubernur Aceh, Ir. Nova Iriansyah ST MT dan diikuti 68 orang peserta yang terdiri dari 35 orang pengurus MAA Provinsi Aceh, Ketua MAA kabupaten/kota berjumlah 23 orang dan 10 orang unsur pimpinan perwakilan MAA.
Pada 15 – 16 Maret 2023 kembali digelar Raker di Grand Nanggroe Hotel, Banda Aceh. Raker melahirkan 14 rekomendasi untuk disampaikan kepada Pemerintah Aceh. Salah satunya terkait penyempurnaan kepengurusan MAA setelah beberapa anggota MAA Provinsi Aceh berhalangan tetap.
Rekomendasi ditandatangani oleh tim perumus, terdiri dari Dr. Bustami Abubakar, M.Hum selaku sebagai Ketua tim perumus,Dr. Jamhuri MA (Sekretaris) serta beranggotakan Abdul Hadi Zakarian, Thalib Akbar, Zilmahram, Khairuddin, dan dr. Chairan M.Noer Nain, M.Ag.
Baca Juga: In Memoriam Datok Abdul Muin Pengawal Adat di Perbatasan
Tahu 2024 digekar lagi Raker di Gedung Perpustakaan Aceh di Banda Aceh. Raker manghasilkan 20 rekomendasi untuk internal MAA, salahs atunya (poin 7) “Meminta kepada Pengurus MAA periode 2021 – 2026 untuk memilih kembali Ketua Defenitif sesuai Qanun No.8 tahun 2019 tentang Majelis Adat Aceh pasal 55 dan mengajukan kepada Gubernur Aceh untuk pengesahan. Jika dalam waktu 3 bulan tidak terlaksana, maka Kepala Sekretariat wajib memfasiltasi pemilihannya.
Rekomendasi ditandatangani oleh Tim Perumus yang terdiri dari: Prof. Dr. Yusri Yusuf, M.Pd Selaku Ketua (Pemangku Adat MAA), Dr. Khairuddin, M.Pd sebagai Sekretaris (MAA Kabupaten Nagan Raya), dan para anggota HT Bustami Usman SE (MAA perwakilan Sumatera Utara), Bakhtiar AR (Ketua Bidang Adat Istiadat MAA), Dra. Nur Asmah M.Pd (Anggota Bidang Putroe Phang MAA), Muhammad Saleh (MAA Kaupaten Aceh Barat Daya), Sanusi M Syarief, SE, M.Phil (Mewakili Sekretaiat MAA Provinsi Aceh).
Namun ironisnya hasil dari tiga Raker tersebut juga tidak dijalankan olehYusdedi dan Syeh Marhaban. Akibatnya lahirnya mosi tidak percaya tersebut. Yusdedi dinilai tidak menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagaimana diamanatkan oleh Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2019 tentang Majelis Adat Aceh.
“Selain tidak menjalankan hasil Raker dan Perintah Gubernur, Yusdedi dan Syeh Marhaban juga dinilai tidak mengindahkan Qanun Nomor 8 Tahun 2019, serta tidak menjalankan kegiatan majelis dan bersikap arogan, sehingga di kalangan anggota majelis sendiri memplesetkan ketua kolektif kolegial itu menjadi ketua kolektif kolonial,” ungkap sumber di Sekretariat MAA Provinsi Aceh.[]