Sebuah kisah diceritakan oleh serdadu Belanda yang pernah berperang di Aceh, Letnan Schoemaker dalam buku Tjerita-Tjerita Dari Atjeh. Buku ini diterbitkan di Batavia pada tahun 1891 oleh penerbit G Kolff & Co.
Letnan Schoemaker mengisahkan, sekitar pukul setengah empat pagi, 7 Agustus 1882, di tempat antre dekat Benteng Lambaro, satu unit patroli pasukan Kolonial Belanda ditempatkan. Kompi ini diperkuat oleh dua orang letnan, empat orang selompret (peniup terompet perang), 26 serdadu Eropa dan 67 serdadu Jawa. Kompi ini dipimpin oleh Kapten Bode.
Kompi ini ditugaskan untuk melakukan patroli dari Lambaro ke Cot Rang hingga ke Paya. Dalam patroli ini juga ikut serta seorang tuan Pettor. Begitu lonceng pukul empat pagi dibunyikan, pintu benteng Lambaro dibuka dengan hati-hati, dan pasukan kompi yang akan patroli itu keluar.
Sebelum keluar Kapten Bode tanya kepada tuan Pettor apakah nanti akan berjumpa dengan berandal. Berandal yang dimaksudnya adalah kelompok pejuang Aceh. Tuan Pettor menjawab, tidak. Kalau pun ada barang kali hanya tiga empat orang saja, karena berandal yang banyak adanya di sebelah pegunungan.
Baca Juga: Kekuatan Armada Perang Aceh Dalam Sejarah
Bergeraklah patroli itu dari Lambaro, satu seksi pasukan berjalan di depan dipimpin oleh Letnan Roijen. Satu seksi pasukan di belakang dipimpin oleh Letnan van Swieten. Sisanya jalan di tengah dipimpin oleh Kapten Bode. Di setiap seksi pasukan itu ada satu selompret dan pembawa tandu.
Dari Lambaro patroli bergerak sampai ke Kampung Gani, dari jalan besar patroli masuk jalan kecil menuju pemukiman penduduk melalui sawah. Untuk menuju ke sana tidak mudah, karena pematang sawah yang licin dan becek. Serdadu Belanda harus berjalan satu-satu sepanjang pematang sawah tersebut.
Masuk ke kampung lebih susah lagi, karena jalan kecil dan kiri kanan belukar. Patroli berjalan hati-hati karena tak ingin dapat celaka. Pengalaman telah mengajarkan mereka bahwa di tempat-tempat seperti itu, pasukan Belanda sering diserang dan dibunuh. Mereka menyebutnya “Ditubruk orang Aceh.”
Sudah dua jam patroli itu berjalan, mereka kembali menemukan jalan besar dari Teungkop ke Paya. Sekitar lima ratus meter dari pasar Cot Rang. Sampai pukul enam patroli tidak menemukan apa-apa. Mereka hanya melihat dua orang penduduk yang lari dari tengah sawah ke perkampungan.
Patroli Belanda itu heran di kampung yang mereka lalui tak terlihat api (lampu) sama sekali. Kampung itu juga sunyi, tak kelihatan ada penduduk. Serdadu Belanda mengira penduduk kampung itu sudah lari ketika melihat patroli pasukan kompeni Belanda menuju ke sana.
Baca Juga: Awal Mula Perang Aceh dengan Portugis
Patroli terus berjalan, sampai ke pasar Cot Rang mereka berhenti. Tuan Pettor kemudian meminta izin kepada Kapten Bode untuk memeriksa setiap rumah, menangkap penduduk untuk mencari informasi. Tiba-tiba di selah Paya terdengar sekali tembakan, mereka mengira patroli di sebelah sana sudah menemukan berandal yang mereka cari.
Partoli terus masuk ke perkampungan, berjalan ke arah terdengar suara tembakan. Tapi baru sekitar seratus meter mereka berjalan, pasukan kompeni Belanda itu ditembaki pejuang Aceh dari sebelah kanan. Pasukan Voorhoede terus bergerak sambil membalas tembakan. Mereka membentuk pertahanan kiri dan kanan. Serdadu itu kemudian mengetahui bahwa tembakan pejuang Aceh berasal dari sebuah masjid, sekitar dua ratus meter di depan mereka.
Kapten Bode memerintahkan para serdadu Belanda itu untuk menyerang dan merebut masjid tersebut. Tapi meski jaraknya hanya 200 meter, tidak mudah untuk merebut masjid kampung itu karena jalannya sangat sempit. Mereka kemudian berbelok mencari jalan yang lebih mudah, sabil mencari jalan keluar dari kampung itu.
Baru pasukan Kompeni Belanda itu hendak cari jalan, Tuan Pettor kembali memberi kabar bahwa penunjuk jalan mereka sudah ditembak pejuang Aceh. Tak ada lagi orang yang tahu jalan. Mereka beputar-putar di kampung itu menghindari tembakan pejuang Aceh sampai satu jam setengah.
Pasukan Kompeni Belanda tak bisa menyerang ke masjid itu. Kapten Bode memerintahkan pasukannya untuk berbelok, pasukan Voorhoede diminta berkumpul. Dan di sinilah awal petakanya. Ketika pasukan Kompeni Belanda itu sudah berkumpul, mereka diserang pejuang Aceh dari kiri dan kanan. Pasukan Belanda itu jadi panik dan melarikan diri ke sawah di belakang mereka. Saat mundur ke sawah itu, satu perwira Belanda ditembak mati.
Baca Juga: Awal Mula Hubungan Militer Aceh dengan Turki
Pasukan Kompeni Belanda yang dipimpin Kapten Bode itu terus berlari ke arah pasar kampung Cot Rang, menghindari tembakan pejuang Aceh dari pinggir sawah. Tapi, upaya serdadu-serdadu Belanda untuk menyelamatkan diri tidak mudah, selain pematang sawah yang kecil dan licin, mereka juga kesusahan menggotong kawan-kawannya yang mati dan luka-luka ditembak pejuang Aceh.
Kapten Bode meminta pasukannya untuk berhenti sejenak di tengah sawah, di luar jangkauan tembak pejuang Aceh. Tapi anggapan Kapten Bode salah, ketika mereka berhenti, pasukan kompeni malah ditembaki dengan lila (meriam). Mereka bertambah panik, korban semakin bertambah. Kepanikan itu digambarkan oleh Letnan Schoemaker seperti kutipan di bawah ini.
”Sekarang celaka lebih besar lagi, dari apa musuh itu mulai pasang (tembak) dengan lila. Ada tempat-tempat yang ia sudah rapat empat puluh pas, tapi ia pasang sembunyi badan. Kita orang ini tidak bisa pasang banyak, dari apa pelor sedikit dan mungkin perang ini masih lama. Makin lama makin banyak serdadu-serdadu yang mati dan luka.”
Dalam keadaan serba panik itu, Kapten Bode meminta serdadu selompret untuk meniup terompet, meminta bantuan kepada pasukan Belanda Batalyon 15 di benteng Teungkop. Tapi setelah berulang kali terompet minta bantuan ditiup, tak juga datang bantuan, mungkin suara terompet itu tidak terdengar sampai ke Teungkop.
Serdadu-seradu Belanda bertambah panik. Mereka jadi sasaran empuk tembakan meriam pejuang Aceh. Tak ada tempat berlindung di tengah sawah itu. Beberapa serdadu Jawa yang ketakutan berdiri berlindung di belakang Kapten Bode agar tidak kena tembak, tapi akhirnya tertembak juga.
Baca Juga: Jejak Atjeh Bioscoop Dalam Fragmen Sejarah
Perang di tengah sawah itu terus belangsung hingga pukul delapan. Sudah dua jam patroli pasukan Belanda itu terjebak di tengah sawah. Kapten Bode terus memerintahkan pasukannya untuk bergerak ke jalan besar, korban luka-luka dikumpulkan, sementara serdadu-serdadu yang mati dibiarkan saja di tengah sawah.
Pasukan Kompeni itu hanya tersisa 30 orang. Ketika Kapten Bode melakukan pemeriksaan, ia baru tersadar bahwa Letnan Van Sweiten tidak lagi bersama mereka. Setelah sekian lama dicari, seorang serdadu kemudian melihat Letnan Van Swieten sedang merangkak di pematang sawah. Mereka segera membantunya. Kemudian diketahui bahwa Van Swieten saat lari menyelamatkan diri dari tembakan orang Aceh, jatuh ke dalam sumur. Ia selamat karena bersembunyi dalam sumur itu. Dengan sisa-sisa tenaganya ia keluar merangkak hingga sampai ke pasukan Kapten Bode.
Sampai di jalan besar itu, pasukan Kompeni Belanda masih terus dikejar dan ditembaki pejuang Aceh. Kapten Bode meminta ditiupkan lagi terompet bantuan. Dari jauh ia melihat mayat-mayat pasukan Belanda yang tergeletak di sawah dibacok dengan kelewang dan ditembaki oleh orang-orang Aceh.
Pasukan Kompeni Belanda yang sudah hilang semangatnya itu terus berlari hingga sampai ke hamparan sawah lainnya di dekat Teungkop. Sampai ke sana baru pasukan Belanda itu tidak dikejar lagi, karena orang-orang Aceh mengetahui di Benteng Teungkop ada pasukan Belanda dari Batalyon 15.
Baca Juga: Kisah Teuku Umar Menculik Perempuan Denmark
Pukul sepuluh kurang seperempat, pasukan Kapten Bode sudah sampai di Benteng Teungkop. Serdadu-serdau yang luka-luka diobati. 200 orang pasukan koloni dari Benteng Teungkop diperintahkan ke Cot Rang untuk mencari mayat-mayat serdadu yang tewas dari pertempuran itu.
Setelah istirahat dan makan di Benteng Teungkop, Kapten Bode dan sisa-sisa pasukannya mendapat tambahan peluru dan amunisi dari benteng tersebut, kemudian kembali ke Benteng Lambaro melalui arah Kutaraja. Pukul enam sore patroli pasukan Bode itu sampai kembali di benteng Lambaro. Sebuah patroli yang sangat melelahkan.
Beberapa hari kemudian pasukan Kapten Bode kembali mendapat serangan dari pejuang Aceh. Banyak serdadunya yang mati, Kapten Bode sendiri mengalami luka di kepala. Atas dedikasinya itu pada tahun 1886 Kapte Bode menerima penghargaan Bintang Tanjung dari Pemerintah Kolonial Belanda.[]