28.4 C
Banda Aceh
spot_img
spot_img

TERKINI

Kekuatan Armada Perang Aceh Dalam Sejarah

Angkatan Laut Kerajaan Aceh memiliki Galley, kapal perang ukuran besar yang mampu menandingi armada Eropa. Kehebatan mariner Aceh dicatat dalam berbagai referensi asing.

Salah satu referensi asing tentang kehebatan armata laut kerajaa Aceh adalah sebuah buku karya Arun Kumar Das Gupta, Acheh in Indonesian Trade and Politics: 1600-1641. Buku yang diterbitkan oleh Cornell Unversity tahun 1962 mengungkapkan, di kota Bandar Aceh mengalir sebuah sungai yang bernama Krueng Aceh. Di depan muara sungai ini yang jaraknya sekitar 3 km dari ibukota terdapat beberapa pulau yang membentuk sebuah teluk luas yang digunakan untuk tempat berlabuh beratus-ratus kapal pada saat yang bersamaan.

Kapal-kapal yang berukuran 60-70 ton baik kapal dagang maupun kapal perang/galley dapat berlayar melalui muara sungai Aceh menuju ke ibukotanya. Pada saat Kerajaan Aceh mempunyai suatu angkatan perang yang kuat menurut ukuran masa itu. Kekuatan terpenting terletak pada kapal-kapal galley yang dimiliki oleh armada lautnya dan pasukan gajah yang dipunyai oleh angkatan daratnya.

Baca Juga: Awal Mula Perang Aceh dengan Portugis

Hal yang sama juga ditulis T Braddel dalam On The History of Achen, JIAEA Vol V, yang diterbitkan di Singapura pada tahun 1851. Ia menulis bahwa Kerajaan Aceh pada saat itu memiliki lebih dari 500 buah kapal layar dan 100 buah kapal galley yang berukuran besar yang ditempatkan selain di kota Bandar Aceh Darussalam juga pada beberapa pelabuhan besar lainnya seperti Daya dan Pedir. Kapal-kapal galley yang dimiliki kerajaan Aceh dapat mengangkut 600 hingga 800 orang penumpang. Dan di antara kapal-kapal itu ada yang besarnya melebihi dan pada kapal-kapal yang dibangun di negara-negara Eropa pada masa itu.

Begitu juga dengan H Yule dalam buku On Northen Sumatera and Especially Achin, terbitan 1873 menulis bahwa selain besarnya kapal-kapal itu juga mempunyai suatu tempat menembak di haluan depan yang dilapisi dengan kepingan- kepingan emas murni yang pada waktu itu banyak terdapat di Bandar Aceh.

Gajah-gajah yang dimiliki kerajaan Aceh merupakan kekuatan inti angkatan daratnya dan sebagai “benteng kota yang sesungguhnya”. Dalam laporan perjalanan Augustin de Beaulieu ke Aceh yang ditulis oleh J Jacobs dalam buku Het lamilie en Kampongleyen op Groot Atjeh diterbitkan di Leiden oleh EJ Brill pada 1894 disebutkan bahwa pasukan gajah pada masa jaya kerajaan Aceh sekitar 900 ekor. Mereka telah dilatih sedemikian rupa, sehingga tidak takut lagi kepada api ataupun suara-suara tembakan, selain itu juga diajarkan cara-cara “penghormatan” yang diadakan di halaman kediaman Sultan Aceh.

Baca Juga: Banda Aceh Kota Tamaddun

Sultan Aceh juga memiliki tentara khusus sebagai pengawal istana, yang langsung berada di bawah perintahnya. Mereka sebenarnya pasukan berkuda yang setiap saat mengadakan patroli, baik di sekeliling kraton maupun di dalam kota Bandar Aceh Darussalam. Jumlah mereka sebanyak 200 orang, dengan demikian jumlah kuda yang ditungganginya juga 200 ekor.

Dalam melakukan peperangan atau ekspansi Sultan Aceh tidak membutuhkan biaya banyak. Hal ini disebabkan karena tentara yang diperintahkan untuk maju ke medan pertempuran di seberang lautan telah menyediakan sendiri makanan atau pekerjaan bagi dirinya selama tiga bulan. Yang mereka terima dari Sultan Aceh hanya senjata-senjata, tetapi bila suatu ekspedisi melebihi jangka waktu yang ditetapkan yaitu 3 bulan, maka barulah Sultan Aceh menyediakan perbekalan untuk tentaranya setelah kembali dari suatu ekspedisi, senjata-senjata yang telah diberikan oleh Sultan harus dikembalikan ke gudang persenjataan di Bandar Aceh Darussalam.

Baca Juga: Masjid Raya Baiturrahman Pusat Pendidikan Islam

Menurut Augustin de Beulieu yang mengunjungi kota Bandar Aceh pada tahun 1621, di kota ini terdapat 2.000 pucuk meriam yang terdiri dari 1.200 pucuk meriam berkaliber sedang dan 800 berkaliber besar, yang kesemuanya terbuat dari perunggu.

Suatu hal yang sangat menguntungkan pasukan atau tentara Aceh pada waktu itu yaitu didapatkannya sedemikian banyak belerang di Pulau Weh yang terletak beberapa mil sebelah utara pantai Aceh dan pada sebuah gunung di dekat Pedir. Dengan adanya belerang ini memudahkan tentara Aceh membuat bahan-bahan peledak atau mesiu- mesiu bagi meriam-meriamnya di kota Bandar Aceh.

Kemudian dalam  Beschrijving van den Kraton Groot Atjeh, Batavia : Lands- Drukkerij tahun 1874 halaman 14-16 yang merupakan laporan lembaga pertahanan dan persenjataan Belanda, pada tanggal 29 Januari 1874  (ketika Belanda telah berhasil merebut kraton Aceh) menyebutkan bahwa di kraton Aceh diketemukan berbagai jenis meriam yang terletak begitu saja di atas tanah. Lembaga Belanda tersebut membuat suatu daftar dalam satu hari saja (khusus tanggal 29 Januari) Belanda menemukan 56 pucuk meriam dalam berbagai ukuran.[]

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS