28.5 C
Banda Aceh
spot_img
spot_img

TERKINI

Isu Rohingya di Era Post Truth Prolog

Oleh: Muhammad Subki

PBB telah menobatkan Pengungsi Rohingya dengan Istilah The World’s Largest Stateless People and Nowhere to Go, kata ini bukan sebuah penghargaan apalagi sebuah prestasi yang diraih oleh sebuah negara. Istilah ini diberikan kepada mereka sekelompok “Manusia Perahu” yang terombang-ambing di tengah lautan tanpa tahu kemana arah tujuan pulang. Senin, 8 Januari 2024.

Mereka adalah etnis Rohingya, salah satu etnis minoritas di Negara Myanmar yang tak diakui dan dipersekusi hingga genosida terjadi. Mereka bukan pemberontak, juga bukan menuntut gerakan separatis yang menuntut sebuah negara. Rohingya hanya ingin hidup bersahaja, sederhana dan aman beragama di tanah kelahirannya tanpa harus ada propaganda anti-rohingya.

Sebagian Masyarakat kita saat ini termakan dengan isu Rohingya sebagai pendatang illegal yang ingin menduduki Aceh. Narasi tersebut terus disebarkan di media sosial baik instragram, X, dan salah satu yang paling massif adalah Tiktok. Akibat dari narasi kebencian tersebut mempengaruhi aksi dunia nyata sekelompok mahasiswa mengusir paksa pengungsi dengan aksi kekerasan yang dilakukan pada beberapa waktu lalu.

Sudah jatuh, tertimpa tangga! Kira-kira begitulah nasib etnis Rohingya saat ini. Mereka jadi korban genosida, kemudian dieksploitasi beberapa geng criminal yang berkuasa di kamp, ditipu mafia human trafficking internasional, mereka dijanjikan kehidupan lebih baik di Malaysia, ternyata berakhir mengenaskan di hutan Thailand atau di lautan. Mereka mati kelaparan atau dibunuh.

Di negara kita. Isu Rohingya muncul polemik. Timbul kebencian yang tidak didasarkan fakta kuat. Hoax, plintiran, cherry picking tersebar kemana-mana. Dalam beberapa waktu terakhir ini masyarakat kita mengalami disinformasi mengenai krisis pengungsi Rohingya dengan menyebarnya secara luas berita hoax.

Diantara narasi tentang Rohingya yang tersebar di media seperti, Pengungsi Rohingya Mogok Makan Karena Minta fasilitas lebih, Rohingya = Zionis, Mau Kuasai NKRI, Rohingya Bukan Muslim, Rohingya akan Sedot APBN dan APBD, Rohingya Imigran Gelap, Rohingya itu Perusuh di Myanmar. Dan masih banyak lagi narasi hoax yang disebarkan oleh akun anonym dan para konten creator yang tergiring dengan arus informasi yang tidak berdasar.

Fenomena arus exodus Rohingya mengarungi lautan untuk mencari suaka (Asylum Seeker) hingga ke beberapa Negara telah membuat mata dan hati kita tersentuh empati. Namun, di Indonesia muncul polemik yang komplek mengingat status negara kita bukan sebagai penerima para pengungsi dan tidak terlibat dalam negara-negara Konsensus 1951 tentang negara pemberi suaka dan perlindungan kepada pengungsi luar negara.

Namun, yang menjadi persoalan pada isu ini adalah munculnya isu-isu hoax dan propaganda-propaganda yang dibuat oleh media sehingga membuat masyarakat apatis hingga terprovokasi untuk mengusir pengungsi Rohingya.

Insiden penolakan yang terjadi merupakan ujaran kebencian yang disetting dengan cara fear mongering atau”menjual ketakutan” yaitu menyebarkan berita-berita hoaxs terhadap isu Rohingya, bagaimana upaya ketakutan public diciptakan agar mengubah opini dari yang seharusnya pengungsi itu bersifat kemanusiaan menjadi isu gangguan keamanan negara sehingga berujung viral dan terjadi penolakan dimana-mana.

Status Pengungsi Rohingya mau dibawa kemana?

Istilah Everyone Has The Right to Seek and Enjoy in Other Countries Asylum from Persecution, menjadi dasar deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang tercantum dalam Pasal 14 ayat 1. Seseorang dikatakan sebagai pengungsi dapat dilihat dalam konvensi mengenai status pengungsi 1951, protokol mengenai status pengungsi 1967, serta dalam Statuta UNHCR (The United Nations High Commissioner for Refugees).

Adapun defenisi pengungsi dalam pasal 1A (2) Konvensi Status Pengungsi 1951 adalah sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951 dan yang disebabkan kecemasan dan persekusi karena alasan ras, agama, kebangsaan, kewarganegaraannya tidak diakui oleh karenanya meminta perlindungan kepada negara diluar.

Dalam perspektif hukum Internasional setiap Negara berkewajiban untuk menerima para pencari suaka dan tidak diperbolehkan untuk mengusir mereka kembali ke negara asalnya. Hal tersebut sesuai dengan prinsip yang tercantum dalam Hukum Pengungsi Internasional yakni prinsip Non-Expulsion dan non-refoulement.

Non-Expulsion adalah negara-negara pihak tidak akan mengusir pengungsi yang berada secara tidak sah diwilayahnya kecuali karena alasan-alasan keamanan nasional atau ketertiban umum.

Non-Refoulement adalah tidak ada negara pihak yang akan mengusir atau mengembalikan (Refouler) pengungsi dengan cara apapun ke perbatasan wilayan-wilayah dimana hidup atau kebebasannya akan terancam ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok social tertentu.

Pada Peraturan Presiden RI Nomor: 125 tahun 2016. Landasan hukum penanganan pengungsi dari luar negeri, dalam aturan itu dijelaskan tentang proses penanganan pengungsi mulai dari penemuan di laut maupun di darat dan kewajiban memberikan pertolongan jika dalam kondisi darurat hingga pembagian tanggung jawab, antara pemerintah daerah, International Organization for Migration, dan imigrasi.

Dis-informasi di Era Post Truth dan Perlunya “Melek”Berita!

Kita hidup di era di mana informasi tersedia secara melimpah, tapi ironisnya, fakta-fakta objektif seringkali tidak lagi menjadi dasar utama dalam membentuk opini publik atau kebijakan politik. Sebuah fenomena yang disebut dengan post-truth menjadi ancaman bagi masyarakat untuk menentukan mana yang fakta dan bukan.
Post Truth? Iya, post truth.

Frasa yang dipopulerkan tahun 1992 oleh Steve Tesich dalam tulisan berjudul The Government of Lies. Dalam artikel yang dipublish di majalah The Nation tersebut, Tesich menulis bahwa kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan ingin hidup di dunia post truth.

Tulisan tersebut merupakan bentuk ungkapan kegelisahan Tesich atas propaganda negara-negara yang terlibat dalam Perang Teluk di awal dekade 90-an. Memang harus diakui propaganda negara-negara yang berseteru saat itu sangat membingungkan publik global. Kebenaran dan kepalsuan menjadi hal yang sulit untuk dibedakan.

Kamus Oxford menobatkan post truth menjadi word of the year, dan mendefiniskan post truth sebagai kondisi dimana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan emosi dan keyakinan personal.

Sederhananya, Post Truth adalah suatu era dimana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran. Caranya dengan memainkan emosi dan perasaan netizen. Apakah Indonesia pernah mengalaminya? Bukan hanya pernah, tapi sudah dan masih mengalaminya.

Misalnya, saat ini penggiringan opini tentang isu pengungsi Rohingya di Aceh dapat dikategorikan sebagai sebuah isu Post Truth yang ada karena melibatkan media social, berita dan masyarakat yang menerima berita. Melalui arus berita yang tersebar tersebut masyarakat bukan hanya membaca akan tetapi yang sangat disayangkan adalah terbawa dengan arus berita hoax tanpa bisa memilah dan memilih.

Akibatnya muncul berbagai sikap dan aksi penolakan hingga kekerasan kepada para pengungsi Rohingya di Aceh. Seperti ucapan Joseph Goebbels, salah satu loyalis dan Menteri Penerangannya era Hitler bahwa, kebohongan yang diungkapkan ribuan kali akan menjadi kebenaran. Putaran arus informasi bagaikan gelombang besar dan sangat cepat yang kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menciptakan kebohongan-kebohongan buatan, sehingga menggiring opini publik dengan asumsi yang salah.

Saat ini media sosial membuat sebuah informasi menjadi lebih riuh dan bising, tiap detik dan menit platform media kita disuguhi berbagai berita, foto dan video tanpa batas. Adapun mirisnya para pengguna media social kita tanpa bisa memilah berita fakta dan hoax.

Sebenarnya terdapat kesamaan antara post truth dan berita hoax, biasanya keduanya diframing menjadi headline berita yang bombastis dengan mengabaikan data dan fakta dan memanfaatkan buzzer-buzzer (akun-akun bayaran) dengan cara mengangkat topik secara terus menerus yang mengakibatkan masyarakat awam menjadi binggung bahkan percaya akan kebenaran berita hoax tersebut.

Realitanya, di Indonesia setidaknya terdapat 30 hingga 60 persen orang terpapar hoaks saat mengakses dan berkomunikasi melalui dunia maya. Sementara itu, hanya terdapat 20 sampai 35 persen saja jumlah masyarakat yang mampu mengenali dan memilah informasi yang didapatkan.

Hal ini tentu menjadi sebuah masalah, karena pada post-truth ini para pelaku memiliki tujuan lebih dari  sekadar menyebarkan berita bohong, tetapi membuat seseorang mempercayai suatu data terlepas ada atau tidaknya bukti.

Lebih dari itu, Post-Truth juga mencakup penyalahgunaan informasi fakta. Seperti penggunaan gambar tertentu untuk menjelaskan situasi yang bukan sebenarnya.

Akhirnya, informasi yang diberikan bukan lagi merupakan informasi yang valid dan kredibel. Komunikasi Krisis sebagai solusi terhadap berita hoax. Dalam hal maraknya isu tentang Rohingya di Aceh, saya melihat pentingnya pemerintah Aceh dalam hal kapasitasnya akan ditangani oleh bidang kehumasan Pemerintah Aceh beserta dengan media local sebagai mitra. Sebenarnya komunikasi krisis atau manajemen krisis sudah diterapkan di Lembaga atau Perusahaan swasta, namun pada realisasinya dalam konteks pemerintahan sejauh ini baru mulai berkembang dalam penerapannya.

Dalam ilmu komunikasi istilah ini sering disebut juga dengan Crisis Management atau Crisis Communication, merupakan bidang kajian yang berkembang dalam bidang ilmu komunikasi dan organisasi, kajian ini menekankan tentang bagaimana sebuah institusi menjelaskan keberadaan mereka dengan cara yang efektif kepada media dan masyarakat ketika sebuah krisis melanda, baik ketika krisis itu muncul dari dalam institusi ataupun dari luar.

Dalam Peraturan Pemerintah MENPANRB Nomor: 29 Tahun 2011 dijelaskan bahwa krisis dimulai dari isu atau desas desus yang dapat menimbulkan dampak negative. Isu adalah informasi yang tidak jelas sumbernya, tersebar dari mulut ke mulut tanpa verifikasi fakta dan data.

Dalam konteknya krisis dapat terjadi disebabkan oleh mentalitas anarkis dan ekstremis, dimana terdapat individu dan kelompok yang cenderung anarkis dalam persaingan kepentingan sehingga melakukan cara-cara sabotase dan terror.

Werner, dalam bukunya menjelaskan bahwa Ketika krisis mulai meningkat, hal yang paling urgen untuk diperhatikan adalah komunikasi. Untuk menjaga citra positif sebuah lembaga. Pemerintah harus segera membuat langkah yang cepat dan efektif saat menghadapi problem, sebab krisis bisa merusak citra paling positif dari sebuah Lembaga atau korporasi yang sudah mapan sekalipun.

Maka di sini peran seorang Public Relation sangat dibutuhkan ketika kondisi krisis terjadi secara tiba-tiba. Kita mungkin baru mendengar istilah Public Relation merupakan bagian dari pemecahan masalah dan proses perubahan sebuah Lembaga, yang dikelola menurut ilmu pengetahuan.

Praktisi humas sebuah Lembaga dalam realisasinya selalu memakai teori dan data-data dalam memecahkan sebuah masalah. Cutlip dalam tulisannya menjelaskan ada 4 proses seorang praktisi Humas dalam memecahkan krisis yakni (1) mengidentifikasi masalah yang terjadi, (2) membuat Langkah dan program, (3) bertindak dan berkomunikasi dengan public, (4) mengevaluasi langkah dan program.

Coombs, 2006, juga menulis ada tiga prinsip utama dalam menyelesaikan krisis, yakni : menyampaikan pesan dengan cepat ,konsisten dan terbuka. Menyampaikan berita secara cepat artinya memberikan kesempatan bagi stakeholder dalam hal ini pemerintah, untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, tujuannya adalah mengisi kekosongan informasi ketika krisis berlangsung. Respon yang lambat justru memberikan kesempatan bagi pihak lain terutama yang ingin menghancurkan reputasi korporasi pemerintah tersebut.

Prinsip yang kedua, menyampaikan berita secara konsisten, maksudnya adalah berbagai berita yang disampaikan pemerintah harus bebas dari kontra yang sedang terjadi di masyarakat. Dengan kata lain konsisten berita adalah berbicara dalam satu suara, pemerintah dalam hal ini melalui tim Public Relation pemerintah harus merilis informasi berita yang akurat sesuai data dan fakta ke publik.

Prinsip ketiga, adalah keterbukaan. Menurut Coombs, keterbukaan adalah pengungkapan secara terbuka sepenuhnya (full disclosure), yakni sebuah Lembaga pemerintah harus mengatakan semua yang mereka ketahu tentang krisis segera ketika mendapatkan informasi.

Krisis yang muncul di era teknologi komunikasi cyberspace missal Ketika kita melihat ada tulisan di blog, website, mailing, atau tulisan di facebook, IG atau Tiktok berisi tuduhan terhadap seseorang, organisasi, kualitas sebuah produk atau layanan, padahal tuduhan tersebut belum bisa dipastikan kebenarannya (Millar dan Heath, 2004).

Dasar dari komunikasi krisis adalah memberikan respon dengan segera begitu krisis terjadi, dengan pesan yang terbuka dan jujur kepada para pemangku kepentingan (stakeholder) baik itu yang berpengaruh secara langsung atau tidak. Sebuah Lembaga pemerintahan punya waktu minimal 4o menit hingga 12 jam untuk memberikan penjelasan versi mereka atas sebuah krisis.

Jika dalam rentang waktu tersebut Lembaga atau sebuah organisasi gagal merilis informasi yang relevan, maka kepercayaan public sudah turun terhadap informasi yang akan dirilis diluar time frame tadi (Pinsdorf dikutip Tan. 2006).[]

Penulis adalah: Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina JakartaMuh

 

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS