28.8 C
Banda Aceh
spot_img

TERKINI

Sabang dan Kisah Misi Haji Pertama Indonesia

Pada masa pemerintah kolonial Belanda berkuasa di Nusantara, Sabang merupakan salah salah pelabuhan internasional, mereka menyebutnya Kolen Station, pelabuhan alami yang selain untuk ekspor impor juga sebagai tempat pemberangkatan jamaah haji.

Sejarah pelabuhan Sabang sebagai pusat pemberangkatan jamaah haji nusantara bisa dilihat dari bangunan gedung karantina haji di Pulau Rubiah, Kota Sabang. Sisa-sisa banguna bergaya Eropa itu masih bisa dilihat dalam rimbunan ilalang di sekelilingnya. Sebagai situs sejarah, bangunan ini perlu direnovasi kembali, agar nilai-nilai sejarah yang terkandung di dalamnya bisa direvitalisasi.

Gedung karantina haji itu dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda lengkap dengan klinik, penginapan, dan berbagai fasilitas pendukung lainnya. Di tempat itu jamaah haji dari berbagai daerah di Nusantara dikarantina selama 40 hari sebelum diberangkatkan ke tanah suci, Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.

Baca Juga: Bireuen Agreement Awal Mula Bireuen Jadi Kota Juang

Dipilihnya Pulau Rubiah sebagai lokasi karantina, karena lokasinya sangat strategis, serta didukung oleh pelabuhan alami yang bisa dimasuki oleh kapal-kapal besar. Namun ketika Jepang masuk ke Indonesia setelah kekalahan Belanda tahun 1942, bangunan karantin haji terbengkalai, malah penggunaannya sudah beralih menjadi tempat berlindung tentara Jepang. Kerusakan bangunan asrama karantina haji ini diperparah lagi ketika pada tahun 1945 tentara Sekutu/NICA membombardir pertahanan Jepang di Sabang. Bangunan tersebut ikut rusak.

Pada awal-awal tahun 1890-an kapal-kapal uap sering singgah ke Sabang untuk mengisi bahan baku batubara dan air. Belanda membangun tempat penampungan 25.000 ton baru bara di sana. Pelabuhan Sabang jadi ramai dengan perdagangan manca negara. Sebelum perang dunia ke II, peran Sabang dalam dunia pelayaran lebih penting dibandingkan Singapura dan Batam. Namun, regulasi pemerintah membuat Sabang terlupakan.

Ketika Belanda masuk ke Aceh pada 1873, Sabang merupakan Sabang merupakan satu-satunya daerah yang bisa dikuasi penuh oleh Pemerintah Hindia Belanda, sementara di daratan Aceh perang terus berkecamuk hingga Belanda meninggalkan Aceh pada 1942.

Baca Juga: Pesawat Seulawah RI 001 dan Kisah Jamuan Makan Soekarno

Sejak tahun 1881, Belanda menetapkan Sabang sebagai pelabuhan alami (Kolen Station). Enam tahun kemudian, tepatnya 1887, Belanda mendirikan maskapai dagang Firma Dalange dengan dibantu Sabang Haven sebagai perpanjangan tangannya.

Sabang Haven memperoleh kewenangan menambah, membangun fasilitas dan sarana penunjang pelabuhan. Memasuki tahun 1895, Sabang menjadi daerah pelabuhan bebas yang dikenal dengan sebutan vrij haven di bawah bawah pengelolaan Maatschaappij Zeehaven en Kolen Station yang dikenal dengan nama Sabang Maatschaappij.

Namun, perang dunia II kemudian membuat Sabang hancur. Pada tahun 1942 Sabang diduduki pasukan Jepang setelah mampu mengalahkan Belanda. Kerusakan fisik pulau itu bertambah parah setelah dibombardir pasukan sekutu, salah satunya yang mengalami kerisakan itu adalah bangunan karantina haji. Sabang pun kemudian ditutup.

Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, pelabuhan Sabang kembali bergeliat, asrama dan tempat karantina haji kembali difungsikan. Malah diplomasi haji pertama Republik Indonesia dilakukan melalui Sabang.

Baca Juga: Kisah Pembelotan Teuku Umar Dalam Malam Penentuan Round Kelana

Pada 12 September 1949, Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia mengeluarkan surat penetapan penunjukan Misi Haji Republik Indonesia, tiga orang dari Aceh, tiga orang dari Pemerintah Pusat di Yogjakarta.

Ketiga orang dari Aceh itu adalah Syeikh Hadji Abdul Hamid, Ali Hasjmy dan Muhammad Nur El Ibrahimy. Sementara dari Pemerintah Pusat di Yogjakarta ditunjuk SR Hadji Sjamsir, Prof Abdul Kahar Muzakkir dan Syeik Awab Sjahbal.

Penetapan Misi Haji itu dikukuhkan dengan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No.7/A/B-2 tanggal 19 September 1949. Syeikh Hadji Abdul Hamid ditunjuk sebagai ketua, SR Hadji Sjamsir sebagai bendahara, Muhammad Nur Elibrahimy sebagai sekretaris, dan tiga orang lainnya sebagai anggota yaitu Prof Abdul Kahar Muzakkir, Ali Hasymi dan Syeik Awab Sjahbal. Ketua delegasi Syeikh Hadji Abdul Hamid lebih dikenal sebagai Ayah Hamid.

Kepada Misi Haji ini ditugaskan untuk mewakili rakyat umat Islam Indonesia selama ibadah haji dan menyampaikan terima kasih Presiden Republik Indonesia, Soekarno kepada Raja Ibnu Saud atas bantuan-bantuannya bagi republik dan rakyat Indonesia yang bermukim di Hijaz.

Baca Juga: Awal Mula Pacuan Kuda Kolonial di Aceh

Misi Haji ini juga ditugaskan memberi penerangan, agar menarik perhatian dan simpati dunia Arab dan umat Islam kepada Republik Indonesia, mempererat hubungan dan saling membantu dan nyata dengan negara-negara Arab dan negara-negara Islam dengan negara Republik Indonesia.

Tim dari Pemerintah Pusat berangkat dengan pesawat dari Yogjakarta ke Jakarta sebelum kemudian meneruskan perjalanan ke Sabang dengan kapal laut. Sementara tim dari Aceh pada 14 September 1949 berangkat dari Banda Aceh ke Sabang dengan menggunakan motor boat.

Dari Sabang mereka sama-sama menuju Arab Saudi dengan tim dari Pemerintah Pusat. Ketika tiba di Arab Saudi, misi ini disambut baik oleh Raja Abdul Aziz dan masyarakat Saudi Arabia. Sambutan hangat juga didapatkan ketika mereka ke Mesir. Setelah tiga bulan menjalankan misi diplomasi di Arab Saudi dan beberapa negara Arab lainnya, tim Misi Haji Indonesia kembali ke tanah air. Mereka tiba kembali di Banda Aceh pada 21 Desember 1949.

Pada tahun itu ada 13.000 orang Indonesia yang menunaikan ibadah haji. Jamaah haji Indonesia di Arab Saudi tidak melakukan hubungan dengan Konsulat Belanda, selain untuk urusan passport. Karena Indonesia yang baru merdeka belum memiliki kedutaan atau konsulat di Arab Saudi, maka urusan keimigrasian masih dilakukan di Konsulat Belanda seperti pada masa sebelumnya.[]

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS