Aceh sedang tidak baik-baik saja, ia ibarat orang kaya yang jadi pasien reguler di rumah sakit, kadang rawat jalan, kadang rawat inap, kadang kritis di ICCU. Butuh dokter spesialis yang benar-benar memahaminya. Mari menjahit baju untuk kesembuhan Aceh.
Tamsilan Aceh sebagai orang kaya sakit itu disampaikan sosiolog Prof. Dr. Ir Ahmad Humam Hamid MA pada Focus Group Discussin (FGD) “Mencari Sosok Pemimpin Aceh yang Energik, Cerdas dan Mengerti Akar Pesoalan.” FGD ini digelar Forum Pemred Aceh bersama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh, Rabu, 22 Mei 2024 di Hermes Palace Hotel, Banda Aceh.
Prof Humam menilai dalam dua tahun terakhir Aceh pernah “koma” dampak dari gonta-ganti dokter. Hasil Pilkada nanti akan menggantikan lagi dokter yang merawat Aceh. “Siapa dokter yang akan melanjutkan rawat inap ini, apakah bisa sembuh atau malah akan kembali ke ICCU? ” tanyanya.
Prof Humam menambahkan, revisi Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) terkait perpanjangan dana Otonomi Khusus (Otsus) juga tidak jelas. Siapapun pemimpin Aceh ke depan harus mampu mencari dana pengganti minimal senilai dana Otsus yang tidak lagi diterima Aceh, jika revisi UUPA untuk perpanjangan dana Otsus belum berhasil.
“Siapapun Ketua Forbes telah gagal memperjuangkan ini. Apakah Aceh masih dianggap penting oleh Pusat? Berharap pada wakil Aceh di DPR RI (Forbes) tidak mungkin. Ini PR yang membutuhkan diplomasi, lobi-lobi dan keahlian,” tambahnya.
Karena itu katanya, pemimpin Aceh ke depan haruslah Aceh Tulen ketika di Aceh, tapi juga nasionalis sejati ketika berurusan dengan pusat. Penyelesaian berbagai persoalan di daerah harus dilakukan dengan cara Aceh yang lagee cra meunan beukah, tapi lobi-lobi ke pusat juga harus dilakukan dengan gaya-gaya lembut ala Jawa.
Lalu siapa Aceh Tulen dan nasionalis sejati itu? Ada beberapa kriteria yang disebut Prof Humam. Ia menyebutnya dengan istilah menjahit baju untuk Aceh. “Kita jahit baju dulu, baru cari orangnya, bukan cari orangnya dulu baru jahit baju,” ujarnya.
Baju yang akan dijahit itu meliputi, tahu Aceh, tahu birokrasi, tahu Jakarta (Pusat), mendapat kepercayaan dari pemerintah pusat atau orang yang dekat dengan lingkaran kekuasaan.
Ada tiga pemimpin Aceh pada masa lalu yang punya “baju” seperti itu, Ali Hasjmy, Muzakkir Walad, dan Ibrahim Hasan. Sebagai orang Aceh Tulen yang nasionalis, ketiganya sukses membangun Aceh saat menjadi gubernur, ketiganya punya keterampilan dan pengetahuan yang jelas.
“Mereka bukan orang yang bangun tidur tiba-tiba jadi gubernur. Pemimpin Aceh itu harus yang Aceh Pungo ketika di Aceh, tapi jadi Jawa ketika di Jakarta,” tegasnya.
Selain itu kata Prof Humam, pemimpin Aceh juga haruslah orang yang mampu mengelola kekayaan sumber daya alam dengan baik, punya perencanaan yang bagus dan mampu menyiapkan sumber daya manusia yang handal. Kekayaan sumber daya alam harus bisa dimanfaatkan untuk memaksimalkan pembangunan daerah, jangan malah menjadi bencana.
“Ada banyak kasus kutukan sumber daya alam, seperti terjadi di Afrika, jangan sampai Aceh mengalami itu. Aceh harus punya minimal 20 pengusaha besar, karena ke depan Aceh akan menjadi incaran perusahaan-perusahaan besar. Aceh butuh pemimpin yang bisa memanage ini, mampu melakukan lobi dan diplomasi yang baik, sehingga punya daya tawar yang tinggi,” tambahnya.
Hal yang sama juga disampaikan pakar hukum tata negara Universitas Syiah Kuala Prof. Dr Husni Jalil SH, MH. Menurutnya, sumber daya alam Aceh harus dikelola dengan baik untuk bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai pengganti dana Otsus.
Prof Husni mengungkapkan, revisi UUPA dalam rangka perpanjangan dana Otsus stagnan, padahal sudah ada naskah akademik, banyak kepentingan yang harus ditampung.
“PAD Aceh hanya 18,6 persen, sehingga Aceh tidak bisa mandiri, jika transfer dana dari pusat terhambah, Aceh langsung macet, sampai gaji pegawai tak bisa bayar. Angka kemiskinan di Aceh juga tinggi, ini juga satu persoalan yang harus jadi perhatian. Terlalu bergantung pada pusat membuat Aceh tidak bisa mandiri,” jelasnya.
Karena itu kata Prof Husni, Aceh ke depan membutuhkan pemimpin yang mampu bekerja, yang bisa mensejahterakan rakyat. Siapa pun yang jadi pemimpin Aceh nantinya harus mampu menyelesaikan persoalan Aceh.
“Pemimpin Aceh tidak boleh duduk di menara gading, tapi harus bisa menjadi problem solver terhadap berbagai persoalan,” tambahnya.
Pada acara yang sama, Prof. Dr. Mukhlis Yunus, SE, MS menyampaikan bahwa indikator-indikator kepemimpinan berubah seiring perkembangan zaman. Secara agama ada indikator sidiq, amanah, tablik, dan fatanah, namun realitanya ada pemimpin yang pintar tapi tidak amanah, maka menjadi malapetaka bagi daerah.
“Aceh butuh pemimpin yang berani bersikap. Orang Aceh harus berani bersikap seperti pendahulunya,” kata Prof Mukhlis Yunus.[]