BANDA ACEH | ACEH INFO – Penetapan kawasan cagar budaya untuk daerah sekitar Muara Krueng Aceh memiliki dampak besar bagi masyarakat. Meskipun sejatinya penetapan itu bersifat urgen jika bersandar pada peran historis Krueng Aceh dan kawasan sekitar, demi kepentingan keilmuan dan merawat sejarah peradaban Islam Asia Tenggara.
Selain itu, penetapan sebuah daerah menjadi kawasan cagar budaya disebutkan membutuhkan proses, dari usulan, kajian dan kemudian penetapan. Lebih lanjut, jika sebuah area telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya, maka akan ada konsekuensi dari kebijakan tersebut.
“Dia tidak serta merta kita tetapkan, karena ada efeknya. Satu kawasan ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya, nanti masyarakat tidak bisa menempati lokasi itu lagi,” ungkap Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Aceh, Dr Mawardi Umar saat ditemui di Ruangan Laboratorium Pendidikan Sejarah USK, di Banda Aceh, kepada acehinfo.id, Selasa, 8 Februari 2022.
Hal ini disampaikan Mawardi Umar terkait polemik proyek Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Gampong Jawa dan keberadaan Instalasi Pengelolaan Lumpur Tinja (IPLT) serta Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah di sekitar muara Krueng Aceh. Daerah yang kemudian disebut sebagai “Kawasan Cagar Budaya” oleh beberapa sejarawan dan aktivis kebudayaan tersebut, menurutnya belum memiliki ikatan hukum yang kuat seperti halnya yang diatur dalam Undang-Undang Cagar Budaya. Sehingga, menurutnya, menjadi sulit untuk diperjuangkan, terlebih jika adanya kepentingan politis dan kepentingan para pihak dalam issue tersebut.
Baca: Proyek IPAL Dilanjutkan, Mizuar: Sikap Mapesa Belum Berubah
Sebagai akademisi, Mawardi tidak berani menduga-duga jika daerah yang selama ini diperdebatkan itu adalah kawasan cagar budaya. Apalagi berdasarkan hasil kajian MSI Aceh terhadap penelitian zonasi para arkeolog, lokasi proyek IPAL tersebut justru tidak masuk kawasan situs cagar budaya. Begitu pula dengan beberapa nisan era Kesultanan Aceh Darussalam—yang sebelumnya disebutkan ditemukan di salah satu kolam IPAL. “Dari hasil kajian arkeolog, tidak masuk dalam lokasi (proyek IPAL),” ujarnya.
Menurutnya MSI Aceh jika bersandar pada kajian akademis juga tidak bisa menyebutkan daerah muara Krueng Aceh yang selama ini telah dibangun berbagai instalasi—yang berkaitan dengan limbah manusia itu, sebagai kawasan Cagar Budaya. Hal tersebut dikarenakan kawasan yang dimaksud sama sekali belum ditetapkan atau bahkan diusulkan sebagai Kawasan Cagar Budaya.
Baca: Proyek IPAL Dilanjutkan 2022, Peusaba: Terkutuk!
Dia menyebutkan belum masuknya kawasan muara Krueng Aceh dalam kawasan cagar budaya adalah sebuah kesalahan sejak awal. Padahal diakuinya Krueng Aceh yang telah lama menjadi landmark bagi Aceh cukup vital dalam perjalanan historis daerah tersebut. Pada masanya Krueng Aceh bahkan menjadi jalur transportasi utama di kerajaan Aceh selama berabad-abad.
“Jadi ini lingkaran setan sebenarnya. Kenapa lingkaran setan? Karena penetapan apakah dia situs atau kawasan itu harus dilakukan oleh Pemda Tingkat II. Dalam hal ini pemerintah kabupaten/kota. Jadi diusulkan kemudian dikaji untuk direkomendasi oleh Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) yang bersertifikat, dan kemudian direkomendasikan untuk ditetapkan oleh wali kota,” papar Mawardi Umar yang mengaku juga masuk dalam TACB yang sudah tersertifikasi.
Jika kemudian sebuah kawasan atau situs tersebut berperan penting dapat diusulkan untuk naik peringkat provinsi bahkan hingga nasional. Biasanya, menurut Mawardi, yang mengusulkan sebuah benda menjadi situs atau sebuah area menjadi kawasan cagar budaya adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. “Inilah yang saya maksud tadi, ini kan lingkaran setan? Proyek juga proyek pemerintah, yang mengusulkan dan menetapkan juga pemerintah,” katanya.
Selain itu, menurutnya, tidak semua nisan kuno dapat dimasukkan sebagai situs cagar budaya. Dari hasil telaah Mawardi, sebuah nisan dapat masuk dalam sebuah situs cagar budaya apabila benda tersebut merupakan milik seorang tokoh penentu sejarah Aceh.
Baca: Pemerintah Lanjutkan Proyek IPAL di Kawasan Situs Gampong Pande
Meskipun demikian, Mawardi Umar mengakui bahwa MSI Aceh hingga saat ini belum mengkaji inskripsi pada nisan yang sempat ditemukan pada lokasi proyek IPAL. Bahkan menurut Mawardi, nisan-nisan yang menjadi polemik itu, dari pengakuan pekerja proyek—berada di luar kawasan IPAL. Hal ini justru berbanding terbalik dengan bukti-bukti yang pernah ditemukan oleh Tim Mapesa pada awal-awal pelaksanaan proyek, dan advokasi terus menerus yang dilakukan Peusaba sejak beberapa tahun lalu.
“Kecuali nisan itu satu-satunya, artinya mewakili zaman. Kalau satu-satunya, tapi di Aceh itukan banyak sekali yang serupa itu. Itu makanya harus dilihat lagi ketokohan (pemilik nisan itu). Nilai sosial dari tokoh tersebut seberapa besar,” kata Mawardi. “Secara akademis seperti itu,” tambahnya lagi.[]