28.5 C
Banda Aceh
spot_img
spot_img

TERKINI

Pengadilan Umum atau Pengadilan Militer

Oleh: Muhammad Yazidil Ilmy

Banda Aceh | Kasus dugaan korupsi yang melibatkan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), Marsekal Madya Henri Alfiandi, telah memicu perdebatan mengenai yurisdiksi penyelesaian peradilan yang tepat.

Sebagai anggota TNI yang juga bertugas sebagai pegawai sipil pemerintahan, perlu dipertimbangkan apakah kasus ini harus ditangani oleh pengadilan umum atau pengadilan militer. Untuk menghadapi situasi ini, penjelasan lebih lanjut mengenai pilihan yurisdiksi yang seharusnya diambil perlu diberikan, dengan mengacu pada dasar hukum yang konkret.

Pengadilan umum adalah badan peradilan yang memiliki yurisdiksi atas penyelesaian kasus pidana umum, termasuk tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat pemerintahan sipil.

Pilihan untuk menuntut kasus ini di pengadilan umum didasarkan pada Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bahwa peradilan militer berlaku untuk anggota TNI dalam rangka pelaksanaan tugas dan kewajibannya sebagai anggota TNI.

Dalam konteks ini, kasus korupsi yang menimpa Kepala Basarnas berkaitan dengan posisinya sebagai pegawai sipil pemerintahan, bukan sebagai pelaksana tugas militer. Oleh karena itu, peradilan umum menjadi pilihan yang tepat dan sesuai dengan yurisdiksi yang diatur oleh undang-undang.

Realitas lain dapat dilihat bahwa kerangka regulasi yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh anggota TNI belum sepenuhnya dapat ditampung oleh seluruh undang-undang yang berkaitan dengan militer.

Realitas tersebut menunjukkan bahwa satu-satunya undang-undang yang dapat menampung perbuatan korupsi baik yang dilakukan oleh sipil maupun militer adalah Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ahli hukum Universitas Indonesia, Ganjar Laksmana, dalam Podcast Akbar Faizal Uncensored, menegaskan bahwa esuai teks dan konteks tindak pidana yang dapat diadili dalam pengadilan militer ialah seorang anggota TNI yang melanggar ketentuan Pidana sehubungan dengan kapasitasnya sebagai anggota TNI yang orang sipil tidak dapat melakukannya.

Hal tersebut memperkaya pemahaman tentang realitas di mana anggota TNI dapat diproses Hukum Sipil (Pengadilan Umum) sesuai kapasitasnya sebagai anggota masyarakat ataupun pribadi.

Pengadilan militer, disisi lain, memiliki yurisdiksi terbatas pada anggota TNI yang melakukan tindakan kriminal dalam pelaksanaan tugas militer. Pengadilan militer diatur dalam Undang-Undang Nomor: 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Namun, dalam kasus korupsi Kepala Basarnas, yurisdiksi pengadilan militer tidaklah relevan, karena kasus ini tidak terkait dengan tugas dan kewajiban militer.

Oleh karena itu, berdasarkan dasar hukum yang ada, pengadilan umum adalah pilihan yurisdiksi yang sesuai untuk menyelesaikan kasus korupsi Kepala Basarnas, Marsekal Madya Henri Alfiandi. Pengadilan umum sesuai melalui Pasal 92 Ayat 3 Kitab Undang-Undang Pidana yang masih berlaku saat ini.

Dimana anggota perang merupakan pegawai negeri yang tentunya jika dikaitkan dengan penanganan kasus korupsi, pengadilan umum menjadi yurisdiksi yang ideal dalam memberikan jaminan bahwa proses hukum berlangsung secara transparan dan adil, tanpa ada tumpang tindih yurisdiksi yang dapat membingungkan.

Keterlibatan masyarakat juga sangat penting dalam memastikan penegakan hukum yang berkeadilan. Sinergi antara masyarakat, media, dan lembaga anti-korupsi akan menjadi penopang dalam mengawasi transparansi dan akuntabilitas penyelesaian kasus tindak pidana korupsi ini. Masyarakat harus berani menuntut agar proses hukum berjalan dengan adil dan bebas dari intervensi atau proteksi dari pihak-pihak tertentu.

Dengan demikian, pilihan yang tepat dalam menangani kasus korupsi Kepala Basarnas adalah melalui pengadilan umum. Dalam menghadapi dilema yurisdiksi, kejelasan dasar hukum dan partisipasi aktif dari masyarakat akan menjadi pondasi kuat dalam mencapai keadilan yang adil dan berintegritas bagi negara Indonesia.

Dengan sinergi yang solid, Indonesia dapat terus bergerak maju menuju masyarakat yang bersih, terhormat, dan bebas dari belenggu korupsi yang merusak bangsa.[]

Penulis adalah alumni Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS