BANDA ACEH | ACEH INFO – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Pidie, Mahfuddin Ismail menilai bahwa pembahasan Rancangan Qanun (Raqan) Aceh di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sia-sia dan percuma saja.
Pasalnya, setelah menghabiskan banyak tenaga dan waktu, pada akhirnya rancangan tersebut tidak difasilitasi oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Hal ini disampaikan Mahfuddin saat menyampaikan pendapatnya pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) tentang Perubahan Rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan Qanun Atas Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Wali Kota, bersama Komisi I DPRA, Senin 9 Oktober 2023 di Gedung DPRA, Banda Aceh.
Menurutnya, banyak Rancangan Qanun Aceh yang telah dibahas di DPRA, namun sampai saat ini belum difasilitasi atau tertahan di Kementerian Dalam Negeri. Misalnya, Qanun Aceh tentang Bendera dan Lambang Aceh, Qanun Jinayat, Qanun tentang Wali Nanggroe dan juga qanun-qanun lain.
“Jadi ini penting saya sampaikan, karena setiap saat RDPU maupun pembahasan Raqan hanya menghabiskan energi kita dan juga anggaran, kalau kemudian di tingkat Kemendagri tidak merespon qanun yang kita bahas hari ini maupun yang sudah terdahulu,” tegas Mahfuddin.
Mahfuddin juga khawatir, RDPU pembahasan perubahan atas Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, juga akan tertahan di Kemendagri. Padahal dalam waktu dekat ini akan ada pemilihan serentak di seluruh Indonesia termasuk Aceh.
Oleh karenanya, ia meminta DPRA menyikapi hal tersebut, terutama langkah-langkah konkrit yang harus dilakukan DPRA terhadap qanun-qanun Aceh yang masih tertahan di Kemendagri.
“Persoalan ini patut menjadi kajian pembahasan bersama, sehingga qanun tentang persoalan yang sudah dirumuskan dalam UU Pemerintah Aceh (UUPA), bisa berjalan semaksimal mungkin. Jika tidak, maka tak ada maknanya perdamaian yang telah dicetuskan pemimpin kita dahulu,” terang Mahfuddin.
Mahfuddin juga menyebut, banyak hal-hal yang sudah dirumuskan dalam MoU Helsinki dan kemudian dijabarkan dalam UUPA, sampai hari ini belum berjalan maksimal seperti Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh.
“Hari ini sudah tahun 2023, artinya sudah 10 tahun qanun itu berhenti di Kemendagri. Semua pemangku kepentingan harus menentukan sikap dan langkah-langkah apabila qanun yang sudah kita bahas masih terkendala,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Komisi I DPRA, Iskandar Usman Al Farlaky mengakui memang ada beberapa rancangan qanun Aceh yang telah disahkan masih tertahan di Kemendagri.
Iskandar menyebut, lebih kurang ada lima Qanun Aceh yang belum difasilitasi dan turun dari Kemendagri. Karena itu DPRA juga sudah mengirimkan surat dan bertemu langsung tetapi belum juga turun.
Menurut Iskandar, sikap yang ditunjukkan Kemendagri ini menjadi preseden yang tidak baik terhadap pembentukan qanun-qanun di Aceh.
“Sikap Kemendagri atau Pemerintah Pusat yang memberlakukan Aceh, seolah-olah memerintahkan harus ada regulasi turunan, tapi ketika ada justeru mereka tidak menyetujui,” ucap Iskandar.
“Terkait persoalan DPRA belum merencanakan pembentukan Tim Panitia Khusus (Pansus), sebab qanun-qanun tersebut dibahas masing-masing komisi di DPRA,” tegas Iskandar.[]
Editor: Izal Syafrizal