27.3 C
Banda Aceh
spot_img
spot_img

TERKINI

Wali Nanggroe Harus Menjadi Milik Seluruh Rakyat Aceh

BANDA ACEH | ACEH INFO – Wali Nanggroe merupakan lembaga keistimewaan di Aceh yang merupakan hasil kesepakatan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia. Diharapkan, fungsi Wali Nanggroe ini dapat diperkuat sehingga menjadi orangtua bagi seluruh elemen sipil rakyat di Aceh.

Selama ini timbul asumsi sebagian pihak bahwa lembaga-lembaga keistimewaan yang lahir pasca MoU Helsinki semata-mata milik Partai Aceh (PA), meskipun sebagian besar mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) aktif di partai politik tersebut. Hal ini termasuk Wali Nanggroe.

Akhirnya persepsi seperti itu menimbulkan asumsi tidak baik dari masyarakat Aceh karena mereka merasa tidak memiliki lembaga tersebut.

“Ini sebenarnya harus kita luruskan kembali, karena kita sayang kepada PA, cinta kepada PA dan partai-partai lokal yang lain, tapi maksudnya harus ada batasan bahwa PA itu bukan GAM, tetapi PA partai politik yang dibentuk oleh GAM, yang meneruskan ideologi-ideologi ataupun perjuangan-perjuangan yang telah dilakukan oleh GAM,” ungkap mantan Juru Runding GAM, Munawar Liza Zainal, Sabtu, 15 Oktober 2022.

Munawar Liza Zainal menyampaikan hal tersebut sebagai pembicara dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Aceh Resource & Development (ARD) di Hotel Kyriad Muraya, Banda Aceh. Hadir dalam kesempatan tersebut Juru Bicara Partai Aceh, Nurzahri, dan Pegiat Adat Taufik Abda.

Dalam kesempatan tersebut, Munawar Liza juga memaparkan sejarah meleburnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dari gerakan militer menjadi gerakan politik pasca MoU Helsinki. Menurutnya demobilisasi GAM tersebut merupakan kehendak internasional yang diperkuat oleh keinginan Republik Indonesia.

Pada dasarnya, menurut Munawar Liza, GAM tidak bubar. Namun GAM di masa damai tidak lagi diperbolehkan membawa senjata dan kemudian membentuk Komite Peralihan Aceh (KPA). Di perjalanan, beberapa petinggi KPA kemudian membentuk Partai Aceh.

“GAM itu adalah sebuah rumah besar, sebuah supermarket yang besar, kemudian untuk petempurnya mantan kombatan masuk ke dalam organisasi namanya transisi ataupun KPA, kemudian GAM membentuk partai politik, yaitu PA, Partai Aceh. Jadi GAM itu tidak melebur menjadi PA, tetapi GAM membentuk partai politik bernama PA,” papar Munawar Liza Zainal.

Adanya pemahaman bahwa GAM telah bertransformasi ke dalam PA inilah yang menurut Munawar Liza Zainal menjadi bumerang bagi perpolitikan di Aceh. Hal ini dapat dilihat dengan pemikiran-pemikiran yang timbul belakangan, setelah lahirnya lembaga-lembaga keistimewaan di Aceh, banyak yang mengasosiasikan bahwa itu seolah-olah milik PA.

“Kalau tidak (diluruskan sejarah ini-red), maka lembaga-lembaga keistimewaan yang dibentuk, termasuk Wali Nanggroe, akhirnya terpengaruh oleh hal ini, sehingga oleh sebagian masyarakat Aceh dirasakan sepertinya bukan milik mereka,” lanjut Munawar Liza.

Baca: Mantan Juru Runding GAM Menyoal Kesalahan Tafsir Qanun Aceh dan Wali Nanggroe dalam UUPA

Dia mencontohkan Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud yang juga menjabat sebagai Tuha Peut Partai Aceh. Padahal jabatan Wali Nanggroe tersebut sejatinya merupakan ayah politik bagi seluruh rakyat Aceh dan juga orangtua bagi seluruh partai politik yang ada di Aceh. “Maksudnya harus kan berarti harus independen, harus bebas dari ikatan partai politik. Nah ketika ada ikatan dengan partai politik, mungkin sebagian dapat menerima karena ketokohan Teungku Malek sebagai orang yang dihormati, tetapi sebagian lain tidak dapat menerima (sehingga muncul asumsi-red), ‘oh itu berarti Wali PA dan segala macam. Ini terjadi di lapangan,” ungkap Munawar Liza.

Eksistensi Wali Nanggroe yang lahir pasca damai di Aceh menurut Munawar Liza pernah menjadi rujukan bagi pasukan Moro, di Filipina. Dia menceritakan bahwa Moro mencontoh perdamaian Aceh dan membentuk lembaga seperti Wali Nanggroe yang disebut Wali Bangsa Moro, setelah sempat berkonflik antar sesama para kombatan Moro di sana.

“Wali Bangsa Moro ini dicoba untuk dijadikan orangtua daripada eksekutif dan legislatif yang ada di Moro. Fungsi ini sudah di-copy dan dilakukan oleh orang lain, sementara kita (Aceh) sendiri tidak mempergunakannya,” papar Munawar Liza lagi.

Munawar Liza mengaku malu dengan pengalaman yang telah dilalui Aceh ketika sempat terjadi konflik kecil antar sesama, ada konflik regulasi antara legislatif dengan gubernur, tetapi harus diselesaikan oleh Pemerintah Pusat. Padahal yang menyelesaikan itu hanya setingkat direktur di kementerian.

“Kadang-kadang kita malu. Padahal di sini, ada orang tua kita (yaitu Wali Nanggroe). Maksudnya harus kita pikirkan kembali hak-hak Wali Nanggroe, yang apabila, misalnya, ada pertentangan antara Pemerintah Aceh dengan DPR Aceh, misalnya, itu jeut geu tarek geulinyung le Wali Nanggroe untuk geuyu meusapat (dapat dijewer telinganya oleh Wali Nanggroe untuk bermusyawarah) untuk menyelesaikan masalahnya. Itu yang kita harapkan,” kata Munawar Liza.[]

EDITOR: BOY NASHRUDDIN AGUS

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS