31.7 C
Banda Aceh
spot_img
spot_img

TERKINI

27 Januari 1957 : Ali Hasjmy Dilantik Jadi Gubernur Aceh

Aceh waktu itu tak ubahnya tanah yang tak lagi disinari matahari, dan langitnya seakan tak lagi berbintang. Ali Hasjmy masa itu menyebut Aceh sebagai warisan  masa lampau yang suram.

Aceh yang diamantkan ke pundak Ali Hasjmy saat itu adalah Aceh yang luluh lantak. Aceh yang tak pernah reda dalam perang, membuat berbagai infrastruktur umum dan pemerintahan hancur lebur. Untuk membangun Aceh yang luluh lantak itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Aceh masa itu hanya Rp 25 juta.

Dalam buku Semangat Merdeka, Ali Hasjmy mengungkapkan, bukan perkara mudah baginya untuk membangun Aceh di atas reruntuhan. Satu-satunya harapan waktu itu adalah rakyat yang terus bergerak.

Baca Juga: Jenderal van Sweiten Menghapus Nama Banda Aceh

Sekolah rakyat dibuka di mana-mana atas inisiatif para tokoh masyarat di setiap daerah. Sawah-sawah yang terlantar akibat perang kembali digarap, pasar-pasar yang sepi dihidupkan lagi. Komoditi hasil pertanian rakyat ditampung. Maka, bagi Ali Hasjmy, dengan semangat rakyat tersebut, Aceh yang disebutnya sebagai warisan masa lampau yang suram, berubah menjadi Aceh mendobrak sunyi.

Tapi masalahnya adalah, komoditi itu hanya bisa dijual di pasar lokal, tak bisa dibawa ke luar karena tidak adanya transportasi. Rel-rel kereta api dibongkar masa perang, sepanjang jalan yang terlihat hanya puing-puing rumah yang terbakar. Tapi, Aceh yang redup coba dihidupkan lagi.

Ya, Aceh yang redup, karena usai dilantik menjadi Gubernur Aceh, Ali Hasjmy tidak punya kantor. Maka untuk menjalankan roda pemerintahan, bekas kantor Residen Aceh dibagi dua, sebagian untuk kantor Bupati Aceh Besar, sebagian lagi untuk Sekretariat Pemerintah Provinsi Aceh.

Baca Juga: Pasukan Meriam Aceh Gempur Sekutu di Medan Area

Meski kantor itu sudah dibagi dua, tetap saja Ali Hasjmy sebagai gubernur tak punya ruang kerja. Akhirnya, ia menggunakan sebuah ruangan di pendopo sebagai kantornya. Dari sanalah ia menyusun program pembangunan dengan anggaran yang hanya Rp 25 juta.

Sebagian anggaran digunakan untuk membeli lahan perkantoran di Jalan Teuku Nyak Arief sekarang. Di atas lahan yang dibeli dengan harga Rp 2.225.000 itu dibangun kantor semi permanen. Lagi-lagi gedung semi permanen itu dibagi dua, sebagian untuk kantor Gubernur, sebagian lagi untuk kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Antara eksekutif dan legislatif bekerja dalam kantor satu atap.

Di lahan itu juga kemudian didirikan kantor Direktorat Jenderal Sosial Politik, Kantor Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Kanwil Depdikbud), Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Kantor Pajak Negara, Kantor Pos, Kantor Keuangan Daerah, Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Dinas Kehutanan Pertanian dan Perikanan. Untuk menghemat anggaran, semua kantor itu dibangun semi permanen.

Baca Juga: Kapendam Bukit Barisan Tantang Abdullah Syafii

Persoalan kantor sudah teratasi, persoalan lainnya adalah rumah bagi pegawai negeri. Dengan anggaran yang seadanya itu, rumah bagi pegawai tetap harus dibangun di Banda Aceh agar roda pemerintahan berjalan, karena banyak pegawai dipindahkan dari Medan ke Banda Aceh, karena sebelumnya Provinsi Aceh telah dileburkan oleh Presiden Soekarno menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Hal yang kemudian membuat rakyat Aceh memberontak, imbasnya adalah Aceh luluh lantak akibat perang.

Ketika Pemerintah Pusat sudah kwalahan menghadapi Aceh, status provinsi Aceh dikembalikan. Tapi Aceh yang kembali menjadi daerah otonom waktu itu adalah Aceh yang porak poranda. Itulah Aceh yang diwariskan kepada Gubernur Ali Hasjmy sebagai Aceh yang suram.[]

Baca Juga: Penghapusan Pemerintah Otonomi Keresidenan Aceh

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS