28.5 C
Banda Aceh
spot_img
spot_img

TERKINI

5 November 1946 : Piet Hein Ditembak, Van Mook Mengaku Kalah di Aceh

Pada 5 November 1946 Sebuah kapal perang Belanda bernama Piet Hein yang sedang berpatroli di perairan Lhoknga, Aceh Besar ditembaki meriam oleh pejuang, hingga rusak dan melarikan diri ke Sabang. Sehingga Sekutu/NICA tak berani masuk ke Aceh.

Panglima Besar Angkatan Laut Belanda, Helfrich, mengaku gagal dalam beberapa kali serangan ke daratan Aceh. Dalam suratnya ia menulis:

“Verder heb ik mij een beetje in de vingers gesneden met de batterijen in Atjeh. Ik had aan Gani beloof dak it dijn batterijen zou vernietigen wanneer ze schoten op passeerende schepen. Nu werd de Peit Hein beschoten toen het schip passerde en dus ben ik verplichtz ze te vernietigen. Ik herb er da nook een paar vuurvliegen met rockets jeen gezonden, maar noch de Piet Hein, noch de vuurvliegen kunnen de batterijen vinden.

Terjemahan bebasnya ke bahasa Indonesia kurang lebih.

“Saya sudah terpotong jari dengan meriam Aceh. Sudah kuberitahu kepada Gani (Dr AK Gani) bahwa meriamnya akan kuhancurkan bila kapal-kapal kita yang lewat ditembaki. Lalu ditembakilah Piet Hien ketika ia lewat. Maka wajib bagiku menghancurkan mereka, dengan pesawat udara maupun dengan roket. Tetapi baik Piet Hien maupuh hujan roket kita, tidak berhasil menemukan meriam Aceh itu.”

Baca Juga: 4 November 1905 Belanda Menangkap Cut Nyak Dhien

Hal itu pula yang membuat Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dr Hubertus Johannes Van Mook dalam laporannya kepada Menteri Luar Negeri Belanda, Mr Jonkman juga mengakui tentang kekalahan Belanda di Aceh tersebut. Ia menjelaskan setelah Inggris (Sekutu) melucuti Jepang dan menyerahkan kekuasaan atas Indonesia kepada Belanda, maka perlawanan rakyat terjadi.

Tapi Van Mook menegaskan, aksi militer Belanda untuk menguasai kembali Indonesia pada agresi kedua itu jika dimulai pada Februari 1947, maka pada akhir tahun 1947 seluruh wilayah Indonesia sudah bisa dikuasai kembali, kecuali Aceh. Van Mook  menulis “Gerakan militer meminta waktu tak lebih beberapa minggu untuk Jawa, untuk Sumatera lebih cepat lagi, seluruh Indonesia bisa kita kuasai kembali kecuali Aceh.”

Saat itu, dalam seminggu perang, dua pesawat tempur Belanda jatuh ditembak di Aceh. Beberapa kapal perang Sekutu/NICA yang hilir mudik di perairan Aceh melakukan provokasi juga ditembaki. Ini juga yang menjadi alasan Jendral Van Mook pun mengaku kalah.

Baca Juga: Les Hitam Rencana Pembunuhan 300 Tokoh Aceh

Sejarawan Aceh yang juga pelaku perjuangan kemerdekaan di Aceh, Teuku Alibasyah Talsya dalam buku Sekali Republiken Tetap Republiken mengungkapkan, pada 7 November 1946, angkatan perang Sekutu dan Belanda yang bermarkas di Pulau Weh, Sabang,  melakukan serangan laut dan udara ke pangkalan udara Lhok Nang dan sekitarnya. Pangkalan Lhok Nga merupakan pangkalan udara Jepang terkuat di wilayah barat Indonesia yang sudah dikuasai oleh Residen Aceh.

Serangan dimulai sekitar pukul 07.00 pagi. Dari laut kapal perang  Jan Van Gallen menembakkan meriam-meriamnya ke daratan Aceh. Sementara dari udara tiga pesawat tempur jenis Jager menjatuhkan bom dan menembak dengan senapan mesin ke daerah-daerah pertahanan pejuang Aceh.

Dalam perang yang berlangsung selama dua jam lebih itu, pejuang Aceh membalas serangan Belanda dengan meriam penangkal serangan udara dan laut. Meriam-meriam yang diperoleh saat melucuti tentara Jepang itu ditempatkan di bukit-bukit sekitar pangkalan udara Lhok Nga. Satu pesawat tempur Belanda berhasil ditembak jatuh.

Baca Juga: Poh An Tui dan Sentimen Anti Tionghoa di Aceh

Pada 9, 10, 12 dan 13 November 1946, kapal perang dan pesawat tempur Belanda kembali menggempur kawasan Lhok Nga. Tapi perang tak berlangsung lama, hanya sekitar 40 menit.

Sehari kemudian, pada 14 November 1946, empat pesawat Belanda kembali membombandir kawasan Lhok Nga. Serangan dimulai pukul 09.27 pagi dengan dua pesawat pemburu, satu pesawat bomber, dan satu pesawat terbang air berukuran besar. Dalam perang itu satu lagi pesawat Belanda berhasil ditembak jatuh oleh pejuang Aceh. Pesawat tersebut jatuh di kebun kelapa di sebelah utara Kota Banda Aceh.

Belanda dan Sekutu juga menyiagakan kapal perangnya di kawasan Krueng Raya, Ujong Batee, Pante Ceureumen dan Ulee Lheu. Kapal-kapal perang itu hanya mondar-mandir di perairan Aceh tidak berani merapat ke pantai. Setiap kali mereka mendekati garis panti, selalu ditembaki dengan meriam oleh pejuang Aceh.

Dan sejarah kemudian membuktikan bahwa, Aceh satu-satunya daerah di Indonesia yang tidak berhasil dimasuki Sekutu dan Belanda pada agresi kedua. Hal itu pula yang kemudian menjadi salah satu alasan Presiden Soekarno menggelar Aceh sebagai daerah modal Republik Indonesia.[]

Baca Juga: Sejarah Sekolah Kepolisian Aceh

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS