28.5 C
Banda Aceh
spot_img
spot_img

TERKINI

Jamuan Dalica Ketua NasDem dan Aceh Kosmopolit

Aceh masa lalu adalah Aceh yang kosmopolit, seperti kuah dalica dengan beragam sayur dan rempah di dalamnya. Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Nasional Demokrat (NasDem) Aceh, Teuku Taufiqulhadi menjamu para tamu dengan kuliner kaya rasa itu pada halal bihalal Idulfitri 1444 Hijriah di Krueng Seumideun, Kecamatan Peukan Baro, Kabupaten Pidie, Selasa, 25 April 2023.

Rumoh Aceh dengan 24 tiang itu sudah tidak seperti dulu lagi, sudah agak tua dimakan usia, tapi masih kokoh berdiri dengan halaman yang luas dengan puluhan pohon meulinjo di sisi selatan. Sejak pagi di rumah peninggalan orang tua Teuku Taufiqulhadi itu sudah terlihat kesibukan, terutama di rumah permanen di sisi utara Rumoh Aceh, ibu-ibu sibuk memasak kuah dalica.

Sekitar pukul 09.00 WIB tamu mulai berdatangan, mulai dari warga sekitar hingga para pengurus NasDem baik dari DPW maupun DPD. Diantaranya ada Mukim Krueng Seumideun Teuku Fitriadi, tokoh adat Kabupaten Pidie Teungku Abdul Aziz, Ketua Pemangku Adat Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh Teungku Abdul Hadi Zakaria, Sekretaris DPW NasDem Aceh Muslim Aiyub, Ketua DPD NasDem Banda Aceh Heri Julius, serta para pengurus DPD NasDem dari berbagai daerah lainnya.

“Aceh dulu adalah Aceh yang kosmopolit, kapal dan pedagang Eropa ramai ke Aceh, Aceh terhubung langsung dengan dunia internasional,” kata Teuku Taufiqulhadi mengawali pembicaraan di bawah Rumoh Aceh itu.

Baca Juga: Ketika Ketua Nasdem Aceh Kepincut Sahur Kuah Bayam Lisawati

Banyak referensi Eropa yang juga mengambarkan tentang Aceh yang kosmopolit yang disampaikan Teuku Taufiqulhadi tersebut, salah satunya sejarawan dan pakar ketimuran Prancis, Denys Lombard yang mengutip keterangan Tom Pires, Beaulieu, serta Jhon Davis yang pernah singgah di Aceh. Mereka mengungkapkan kehidupan di Banda Aceh pada abad ke-17 sebagai kota yang penuh gairah.

Sumber Eropa lainnya adalah Dampier yang menyebut jumlah rumah penduduk kota Banda Aceh saat itu sekitar 7.000 hingga 8.000 unit. Davis juga mencatat bahwa di Banda Aceh pada masa itu terdapat tiga buah pasar besar untuk kegiatan transaksi jual-beli dan segala macam barang perdagangan.

David juga mencatat bahwa di Kota Banda Aceh kala itu terdapat perkampungan yang dikelompokkan pada tempat tinggal pedagang dan bangsa asing. Ada kampung Portugis, Gujarat, Arab, Benggali, Pegu, bahkan terdapat tempat ibadah tersendiri, kampung Cina dan Eropah malah berhimpitan.

Sir James Lacaster yang tiba pada masa pemerintahan Sultan Saidil Mukamil, kakek Sultan Iskandar Muda, mengatakan bahwa ia menyaksikan 16 atau 18 buah kapal niaga dari berbagai bangsa yang berlabuh di situ. Keterangan tersebut bisa dibaca dalam The Voyages of Sir James Lancaster.

Sementara Laksamana Beaulieu yang pernah menetap di kota Banda Aceh pada tahun 1621 mencatat produksi lada, yang waktu itu merupakan primadona ekspor, di sekitar kota hanya 500 barel per tahun.

Nicolaus de Graaf orang Belanda yang datang ke Aceh pada tahun 1641 dan Dampier orang Inggris yang datang ke Aceh pada tahun 1688 mencatat pelaku-pelaku yang terlibat dalam perdagangan internasional itu terdiri atas pedagang keliling dan pedagang lokal, pedagang keliling umumnya berasal dari pendatang bangsa asing yang menyinggahi pelabuhan Aceh untuk memuat dan memunggah barang dagangan.

Mereka terdiri atas bangsa-bangsa Eropa (Portugis, Inggris, Perancis dan Belanda), Amerika Serikat, India (keling, Malabar Gujarat), Turkir, Arab, Persia, Birma (Pegu), Cina, dan pedagang dari Nusantara (Malaka dan Jawa).

“Pedagang dari mancanegara itu sebagian ada yang menetap di Aceh dan dan membentuk kampung-kampung di dalam kota, seperti Emperom, kampung Jawa, Keudah, Peulanggahan, atau kampung Pande. Itulah yang membuat Banda Aceh menjadi kota kosmopolit pada masa itu,” tambah Teuku Taufiquhadi.

Baca Juga: Nasdem Gelar Sahur Bersama Sahabat Prioritas Serentak Seluruh Aceh

Aceh yang kosmopolit juga mengakomodir kepemimpinan perempuan, setelah mengkatnya Sultan Iskandar Tsani, istrinya yang juga putri Sultan Iskandar Muda, Safiatudin diangkat menjadi sultanah. Timbul gejolak di kalangan istana, sebagian menentang kepemimpinan perempuan, sebagian lagi menginginkan putra Sultan Iskandar Muda dari istri lain (selir) diangkat menjadi raja.

Tapi kalangan istana menolak itu karena tidak sesuai dengan adat Aceh. Di situlah kemudian muncul ungkapan dalam hadihmaja, euncin bak putu han jeut bak geutek, aneuk bak gundek hanjeut keu raja. Safiatuddin tetap dilantik sebagai sultanah menggantikan suaminya dengan lakab Seri Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah berdaulat Zil Allah Fil-alam ibnat Sultan Iskandar Muda Johan Berdaulat.

Untuk menghindari konflik, Mufti Kesultanan Aceh saat itu Syeikh Abdur Rauf As Singkili mengajukan konsepsi Aceh Lhee Sagoe ke Majelis Mahkamah Rakyat, konsepsi itu diterima tanpa pertentangan. Konsepsi tersebut mengatur berbagai hal, salah satunya tentang pembagian kekuasaan wilayah Aceh Besar menjadi tiga sagi, yang dikenal dengan Aceh Lhee Sagoe, yakni Sagoe 22, Sagoe 24, dan Sagoe 26. Angka pada sagoe merupakan jumlah Mukim dalam sagoe tersebut.

Dalam konsepsi itu, Syeikh Abdur Rauf mengatur, ketiga pemimpin Sagi (Sagoe) bersama Qadhi Malikul Adil berhak mengangkat dan menurunkan sultan dari jabatannya. Sementara daerah di luar Aceh Lhee Sagoe diberi hak otonomi yang luas, dimana kepala daerahnya bertindak sebagai sultan kecil yang tunduk kepada Sultan Aceh.

“Sagoe 22 Mukim itu dipimpin oleh keturunan Sultan Iskandar Muda dari selir, sehingga pemimpinya diangkat menjadi panglima, oleh Sultanan Safiatuddin karena itu abangnya dari lain ibu dipanggil Polem, maka pemimpin sagoe tersebut dikenal sebagai Panglima Polem,” ungkap Teuku Taufiqulhadi.

Baca Juga: Kala Abang Becak Beradu Pemahaman Al-Quran di Nasdem Aceh

Pembicaraan kemudian beralih ke status tanah Blangpadang yang hak pakainya hingga kini dipegang Kodam Iskandar Muda. Tentang itu Teuku Taufiqulhadi menjelaskan, Blangpadang pada masa lalu masuk dalam wilayah Darud Donya (Dalam) yang merupakan istana Kesultanan Aceh. Sultan Aceh kemudian menjadikannya sebagai tanah musara yang dikelola oleh Imum Chik Masjid Raya Baiturrahman.

Pada agresi kedua, Belanda berhasil menguasai Dalam, Panglima Angkatan Perang Belanda, Jenderal Van Swieten pada 24 Januari 1874 mengubah nama Bandar Aceh Darussalam menjadi Kutaraja. Sementara Sultan Aceh memindahkan pusat pemerintahan ke Keumala, hingga kini dikenal sebagai Keumala Dalam. “Aset Dalam kemudian dikuasai Belanda, termasuk Blangpadang,” jelas Teuku Taufiqulhadi.

Aset itu juga sempat dikuasi Jepang ketika Belanda keluar dari Aceh, tapi kekalahan Jepang dari Sekutu kemudian membuat Belanda kembali melirik Aceh, meski hanya bisa membentuk pemerintahan Netherland Indies Civil Administration (NICA) di Sabang dan mencoba untuk merekrut kembali sisa-sisa tentara Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL).

Teuku Taufiqulhadi menambahkan, ketika Konferensi Meja Bundar (KMB) aset-aset yang dikuasai Belanda itu diserahkan kepada Pemerintah Indonesia, maka Blangpadang sebagai aset KNIL diserahkan ke Kementerian Pertahanan yang kemudian diserahkan ke Kodam Iskandar Muda. Tapi di sisi lain Blangpadang juga tercatat sebagai Pemda Aceh.

“Jadi Blangpadang itu satu aset yang dikuasai oleh dua institusi. Agar ini tidak terus menjadi polemik, sebagai jalan tengahnya, lebih baik Blangpadang diserahkan pengelolaannya kepada Masjid Raya Baiturrahman sebagaimana pada masa Kesultanan Aceh dulu,” saran Teuku Taufiquhadi.[]

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS