Figur Abu Daod Beureueh yang karismatik dan disegani, membuat masyarakat berbondong-bondong menyumbangkan hartanya untuk pembangunan Masjid Baitul A’la Lilmujahidin.
Pada 9 Oktober 1979, Tgk Muhammad Daod Beureueh membentuk Yayasan Baitul A’la Lilmujahidin sebagai badan hukum untuk mengelola masjid dan pendidikan di komplek mesjid Baitul A’la Lilmujahidin di Beureunun. Sebagai ketua yayasan ditunjuk Muhammad Nur El Ibrahimi, sementara Tgk Muhammad Daud Beureueh sebagai Ketua Kehormatan. Masjid ini kini dikenal sebagai Masji Abu Beureueh.
Mesjid Baitul A’la Lilmujahidin merupakan salah satu karya Tgk Muhammad Daod Beureueh di Beureunuen. Sekretaris pribadi Abu Daod Beureueh yakni Abu Mansor menceritakan tentang tentang Mesjid Baitul A’la Lilmujahidin yang dikenal sebagai Masjid Abu Beureueh itu.
Baca Juga: 8 Oktober 1951 Abu Daod Beureueh Mengultimatum Presiden Soekarno
Masjid Baitul A’la Lilmujahidin, dibangun atas prakarsa Abu Daod Beureueh pada tahun 1950. Pembangunannya sempat tertunda sampai sepuluh tahun akibat konflik Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Aceh. Saat itu Abu Daod Beureueh sendiri naik gunung memimpin pemberontakan terhadap pemerintah pusat yang dinilainya telah ingkar janji terhadap masyarakat Aceh.
Setelah pemberontakan reda, pada tahun 1963, pembangunan masjid itu dilanjutkan, dengan dana bantuan masyarakat. Figur Abu Daod Beureueh yang karismatik dan disegani, membuat masyarakat berbondong-bondong menyumbangkan hartanya untuk pembangunan masjid itu, meski hanya beberapa butir telur dan segenggam beras. Sampai akhirnya mesjid itu kokoh berdiri, dan diresmikan pemakaiannya pada tahun 1972.
Baca Juga: 6 Oktober 1945 Kekuasaan Residen Jepang di Aceh Dilucuti
Abu Daod Beureueh pula yang kemudian menabalkan nama Baitul A’la Lilmujahidin sebagai nama masjid tersebut. Namun nama itu seolah tak dikenal, karena masyarakat lebih suka menyebut mesjid itu sebagai Masjid Abu Beureueh. Dari sumbangan materi masyarakat dalam bentuk infaq, dan sedekah, Abu Beureueh kemudian berinisiatif mendirikan sebuah lembaga pendidikan (dayah) di komplek masjid itu.
Namun akibat eskalasi konflik Aceh yang kembali meningkat, dengan lahirnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada tahun 1979 Abu Beureueh ”diculik” dan dipindahkan ke Jakarta, karena khawatir GAM akan menggunakan pengaruh Abu Beureueh dalam pergerakannya.
Baca Juga: Kisah Remaja Aceh Membunuh Controleur Belanda
Setahun kemudian, beberapa tokoh Aceh berinisiatif mendatangi Abu Beureueh yang ”dipenjara” dalam sangkar republik di Jalan Wijaya Kusuma nomor 6, Jakarta, untuk membicarakan beberapa hal, termasuk soal pengurusan masjid Baitul a’la Lilmujahidin.
Hadir dalam pertemuan itu, Muhammad Nur El Ibrahimy, Drs Ma’mun Dawud, Tgk Hasballah Haji, Tgk H M Nur Syik, Tgk Adnan Saud, Tgk H A Wahab Yusuf, Tgk Said Ibrahim, Cekmat Rahmani, Zaini Bakri, Ishak Husein, dan Tgk H Yacob Ali.
Hasil pertemuan itu, pada 9 Oktober 1979, dibentuklah Yayasan Baitul A’la Lilmujahidin sebagai badan hukum untuk mengelola mesjid dan pendidikan di komplek mesjid tersebut. Sebagai ketua yayasan ditunjuk Muhammad Nur El Ibrahimi, sementara Tgk Muhammad Daud Beureueh sebagai Ketua Kehormatan.
Harta kekayaan mesjid pun kemudian diinventarisis. Semua harta itu oleh Abu Beureueh tidak dinyatakan sebagai milik yayasan. Sebaliknya milik Allah dan masyarakat muslim yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan ummat di bawah pengelolaan yayasan.[]
Baca Juga: Kempes dan Tragedi Pembantaian di Kuta Reh