27.1 C
Banda Aceh
spot_img

TERKINI

18 Maret 1949: Aceh Menolak Pembentukan Negara Sumatera Timur

Para tokoh Aceh dengan tegas menolak ajakan untuk bergabung dalam pembentukan negara Sumatera Timur. Ajakan itu disampaikan melalui surat oleh Wali Negara Sumatera Timur Dr Teungku Mansor.

Dalam buku Sekali Republiken Tetap Republiken, Teuku Alibasjah Talsya menjelaskan, pimpinan daerah dan pimpinan partai politik di Aceh dengan tegas menolak ajakan menderikan Negara Sumatera Timur karena itu merupakan negara boneka Belanda.

Sikap ketegasan Aceh itu dinyatakan setelah Dr Tengku Mansor mengirim undangan kepada Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo, Jendral Mayor Tituler Teungku Muhammad Daod Beureue’eh agar mengirim utusan pada Muktamar/Konferensi Sumatera terkait pembentukan Negara Sumatera Timur.

Baca Juga: Kolonel Husein Jusuf Kepala Pertahanan Daerah Aceh

Menanggapi surat tersebut pada 18 Maret 1949, Gubernur Militer Teungku Muhammad Daod Beureu’eh, mengumpulkan para pejabat militer dan pimpinan partai politik Aceh dan Sumatera Utara di rumah dinasnya di Banda Aceh.

Dari pihak militer hadir, Gubernur Militer Teungku Muhammad Daod Beureu’eh, Letnan Kolonel Hoesien Joesoef, Letnan Kolonel Tgk Abdul Wahab, Letnan Kolonel Askari, Letnan Kolonel Tjek Mat Rahmany, Mayor Nyak Neh, Mayor A Gani dan lain-lain.

Sementara pimpinan Parpol dan organisasi massa (Ormas) yang hadir adalah dari Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Nasional Indonesia, Partai Syarekat Islam Indonesia, Partai Sosialis Indonesia, GPII, Sobsi, Pesindo, Muhammadiyah, Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), Haiah Kibarul Ulama, serta Syekh Ahmad Hasballah Indrapuri.

Baca Juga: Pasukan Meriam Aceh Gempur Sekutu di Medan Area

Rapat membicarakan tentang kondisi perjuangan tanah air, dan tentang munculnya Negara Sumatera Timur di Sumatera. Dalam pidato pembukanya Gubernur Militer Teungku Muhammad Daod Beureu’eh menceritakan kembali berbagai pengalaman dan kesulitan yang dihadapi dalam medan perang memeprtahankan kemerdekaan Indonesia. “Persatuan syarat mutlak bagi kita untuk menghadapi keadaan dewasa ini,” tegasnya.

Hal senada juga disampaikan Muhammad Nur El Ibrahimy dari Partai Masyumi, Amelz dari PSII, Bagindo Boejang dari Sobsi, Ali Hajmy dari Pesindo, Ng Soeratno dari PNI, dan M Yunan Nasution dari Masyumi.

Hasilnya, rapat memutuskan, bekerja sama dan memberikan sokongan yang besar kepada pihak militer yang dipimpin Gubernur Militer Teungku Muhammad Daod Beureu’eh. Dukungan itu dinyatakan dalam sebuah resolusi yang berisi enam poin, yakni:

Baca Juga: Tentara Perjuangan Rakyat Kudeta Residen Aceh

Pertama, memberikan kepercayaan dan menyokong tindakan-tindakan Pemerintah Darurat Republik Indonesia dalam menentukan langkah-langkah dan sikap republik terhadap masalah Indonesia-Belanda.

Kedua, menunjukkan kepada bangsa Indonesia di daerah pendudukan Belanda dan bangsa-bangsa asing di dunia luar, bahwa rakyat yang berdiam di daerah Aceh tetap bersemangat kesatuan republik dan menolak tiap-tiap usaha yang hendak membangkit-bangkitkan rasa kepuakan dan kedaerahan seperti yang hendak dilancarkan oleh Dr Tengku Mansoer dengan rancangan konferensi Sumatera.

Ketiga, menganjurkan kepada seluruh rakyat supaya memelihara, menjaga, dan memupuk persatuan yang sudah tumbuh dewasa ini. Keempat, memberikan sokongan lahir batin kepada pertahanan rakyat semesta yang telah tersusun dalam organisasi Distrik Militer. Kelima, memberantas segala rupa perbuatan-perbuatan yang memecah belah persatuan. Keenam, menyokong tindakan-tindakan instansi pemerintah dan ketentaraan dalam usaha mewujudkan dan mempertahankan kemanan dalam negeri dan membasmi pengacau-pengacau.

Baca Juga: Perang Idi Rayeuk Ribuan Warga Mengungsi

Resolusi tersebut ditandatangani oleh wakil-wakil dari: Komisaris PSII Sumatera Utara, Dewan Pimpinan Umum Pesindo Aceh Langkat dan Tanah Karo, Dewan Pimpinan Daerah PNI Aceh, Dewan Daerah Masyumi Aceh/Sumatera Utara, SOBSI Daerah Aceh, Dewan Pimpinan Daerah Partai Sosialis Indonesia Aceh, Pengurus Besar Persatuan Ulama Seluruh Aceh, Majelis Pimpinan Muhammadiyah Daerah Aceh, Pimpinan Daerah GPII Aceh/Sumatera Utara, dan Haiah Kibarul Ulama Sumatera Utara di Aceh.

Referensi lainnya tentang penolakan Negara Sumatera Timur oleh Aceh juga bisa dibaca dalam buku Sekali Republiken Tetap Republiken (perjuanga kemerdekaan di Aceh 1949) Buku ini ditulis oleh Teuku Alibasjah Talsya, pelaku pejuang kemerdekaan di Aceh, diterbitkan oleh Lembaga Sejarah Aceh (LSA) pada tahun 1990.

Teuku Alibasjah Talsya pernah menjabat sebagai Kepala Seksi Publikasi pada Kementerian Penerangan Republik Indonesia. Ia menulis setiap peristiwa perjuanga di Aceh secara kronologis. Buku tersebut merupakan lanjutan dari dua buku sebelumnya Batu Karang di Tengah Lautan (perjuangan kemerdekaan di Aceh 1945-1946) dan Modal Perjuangan Kemerdekaan (perjuangan kemerdekaan di Aceh 1947-1948),

Biaya penerbitan ketiga buku tersebut ditanggung oleh Menteri Koperasi Bustanil Arifin yang juga tokoh perjuang kemerdekaan dari Aceh. Menariknya, semua hasil penjualan ketiga buku itu disumbangkan untuk pembangunan masjid di Aceh.[]

Baca Juga: Kisah Teuku Umar Syahid di Suak Ujong Kala

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS