31.1 C
Banda Aceh
spot_img
spot_img

TERKINI

Lembaga Wali Nanggroe Bak Kepala Dilepas, Tetapi Ekor Dipijak

BANDA ACEH | ACEH INFO – Istilah Wali Nanggroe sempat menjadi hal yang asing bagi masyarakat Aceh pada awal-awal kemunculannya di daerah tersebut. Para akademisi pun disebut tidak mengkaji lebih jauh istilah Wali Nanggroe yang sempat disemat oleh Hasan Tiro saat mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di masa lalu.

Penggunaan istilah Wali Nanggroe ini akhirnya tidak mampu dijabarkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh atau sering disebut UUPA. Alhasil legitimasi Wali Nanggroe di Aceh menjadi lemah dan hanya ditabalkan sebagai pemangku adat belaka.

“Ketidakpahaman inilah yang membuat kita hari ini berputar-putar terhadap mencari sebuah konsep bagi yang namanya Wali Nanggroe, dan perdebatan itu muncul ketika proses undang-undang Pemerintah Aceh dirancang oleh para akademisi yang ada di Aceh dan juga pihak civil society di Aceh, tanpa melibatkan pihak GAM maupun juru runding kedua belah pihak,” ungkap Juru Bicara Partai Aceh (PA), Nurzahri, dalam diskusi yang dihelat Aceh Resource & Development (ARD), di Hotel Kyriad Muraya, Banda Aceh, Sabtu, 15 Oktober 2022.

Ketidakpahaman dan ketidakterlibatan para juru runding inilah yang menyebabkan produk undang-undang yang dihasilkan belakangan lari dari semangat kesepakatan damai. “Ujung-ujungnya lebih kalau dalam bahasa Aceh disebut peukap-peukap saja,” ungkap Nurzahri.

Lantaran dalam poin kesepakatan MoU Helsinki mencantumkan Wali Nanggroe, maka para penyusun draft pun menuliskan poin tersebut ke dalam draft UU. Namun, sayangnya para penyusun justru tidak memahami secara mendetail peran dan fungsi Wali Nanggroe yang dimaksud dalam kesepakatan damai.

“Berbicara Wali Nanggroe dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh, ya cuma satu pasal saja. Tidak dijelaskan secara mendetail, apa itu Wali Nanggroe, tidak ada, sekadar menulis saja,” papar Nurzahri.

Baca: Wali Nanggroe Harus Menjadi Milik Seluruh Rakyat Aceh

Menurut Nurzahri, sejarah penyusunan draft tersebutlah yang kemudian mewarisi kebingungan bagi para anggota DPR Aceh dalam menyusun aturan turunan dari undang-undang itu.

Selain perkara Wali Nanggroe, konsep penggunaan qanun di dalam UUPA juga disebutkan lari dari tujuan para perumus perundingan damai. Qanun yang dimasukkan dalam UUPA, menurut Nurzahri, justru mengadopsi istilah produk hukum yang sebelumnya telah terlebih dulu masuk dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh tahun 2001.

“Qanun dalam MoU berbeda dengan pemahaman qanun sebagai Perda,” kata Nurzahri.

Baca: Mantan Juru Runding GAM Menyoal Kesalahan Tafsir Qanun Aceh dan Wali Nanggroe dalam UUPA

“Di sana terjadi pergeseran-pergeseran makna terhadap MoU Helsinki,” tambahnya lagi.

Akibatnya ketika DPR Aceh mulai menyusun qanun tentang Wali Nanggroe sebagai penjabaran dari UUPA, terdapat benturan-benturan dengan regulasi yang lebih tinggi. Psikologi para pejabat berwenang bahkan tertekan lantaran proses penyusunan draft qanun yang dimaksud tidak semudah dengan diucapkan dalam proses perundingan damai.

Padahal, menurut Nurzahri, poin-poin yang telah disepakati tersebut perlu dimasukkan dalam produk hukum dan aturan turunannya guna memperkuat perdamaian.

“Prinsip dasar tidak ketemu, Lembaga Wali Nanggroe di dalam MoU Helsinki, itu masuknya dalam Bab 1 yang bercerita tentang pemerintahan. Semua yang berkaitan di dalam Bab 1 di dalam MoU Helsinki, seharusnya itu semua bagian dari pemerintahan. Tetapi dalam konteks Lembaga Wali Nanggroe hari ini, itu ditolak sebagai bagian dalam pemerintahan. Dianggap dia (Lembaga Wali Nanggroe) di luar pemerintahan, tidak punya yuridiksi dalam pemerintahan, dia cuma dianggap lembaga adat saja, pemersatu adat, segala macam, penolakannya terlalu keras,” papar Nurzahri panjang lebar.

Posisi tersebut kemudian membuat Lembaga Wali Nanggroe tidak jelas secara politik maupun pemerintahan. Seharusnya Lembaga Wali Nanggroe yang dimaksud dalam poin MoU Helsinki, Lembaga Wali Nanggroe memiliki hak politik dan memiliki kewenangan khusus di dalam pemerintahan.

Pihak DPR Aceh menurut Nurzahri pernah memasukkan poin-poin kewenangan dan status Lembaga Wali Nanggroe seperti yang dimaksud dalam kesepakatan damai, dalam draft Qanun Nomor 8 Tahun 2012. Pada masa itu, menurut Nurzahri, proses penyusunan Qanun tidak serumit seperti sekarang yang harus melalui mekanisme fasilitasi dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). “Langsung diparipurnakan, disahkan, bisa waktu itu, tetapi ujung-ujungnya ditolak.”

Nomenklatur yang tidak jelas terkait Lembaga Wali Nanggroe tersebut membuat Qanun Aceh tentang lembaga itu berbenturan dengan regulasi yang ada di Indonesia. Hal ini juga berimbas pada peruntukan anggaran yang tidak maksimal terhadap kerja-kerja Lembaga Wali Nanggroe.

Nurzahri sepakat adanya penguatan Lembaga Wali Nanggroe di masa mendatang. Hal tersebut menurutnya dapat dilakukan dengan merevisi Qanun Tentang Lembaga Wali Nanggroe dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA).[]

EDITOR: BOY NASHRUDDIN AGUS

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS