28.5 C
Banda Aceh
spot_img
spot_img

TERKINI

Riwayat Unik Penamaan Gampong di Aceh

BANDA ACEH | ACEH INFO – Aceh memiliki segudang nama pemukiman yang dianggap unik. Nama-nama itu belakangan melekat hingga resmi dilakap dalam catatan administrasi negara, termasuk untuk gampong atau desa.

Biasanya, masyarakat Aceh dalam menamakan suatu tempat berpijak pada trend atau popularitas kawasan itu. Sebut saja misalnya Peunayong yang berasal dari dua kata “Peuna” dan “Jong” di Banda Aceh.

Sebagian sejarawan sepakat, penamaan kawasan Peunayong berasal dari rutinitas bersandarnya kapal-kapal layar khas tempo dulu yang disebut Jung di daerah aliran sungai Krueng Aceh.

Alhasil, setiap orang yang hendak berkunjung ke daerah tersebut akan terlebih dahulu bertanya, “peuna jong? (apakah ada kapal?)” Hal ini diperkuat oleh keterangan seorang arkeolog lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dedi Satria yang akrab disapa Dedi Besi kepada penulis, beberapa tahun lalu.

Begitupula dengan penyebutan kawasan Ulee Lheue, yang ada di Banda Aceh. Kebanyakan pendatang kerap salah dalam mengucapkan nama kawasan Ulee Lheue. Ini termasuk Belanda yang menuliskan kawasan tersebut dalam petanya sebagai Ole Le. Tak hanya pendatang dan juga Belanda di masa lalu, generasi muda di Aceh saat ini juga acapkali salah dalam melafalkan nama Ulee Lheue itu sendiri.

Jika ditelisik, penulisan Ulee Lheue juga kerap ditemukan dengan ejaan Ulee Lhe. Padahal, berdasarkan keterangan mendiang Rusdi Sufi, sejarawan Universitas Syah Kuala, beberapa waktu lalu kepada penulis menyebutkan, Ulee Lheue terdiri dari dua suku kata dalam pengucapan Aceh. Suku kata pertama adalah Ulee yang artinya “Kepala”, dan suku kata kedua adalah Lheueh yang artinya “Lepas”.

Dengan demikian jika dua suku kata ini digabungkan menjadi Ulee Lheueh yang artinya Kepala Lepas. Tulisan Lheueh itu sendiri belakangan berubah menjadi “Lheue”, yang sebagian diantara penulis lebih sepakat merujuk kepada pengertian pantai menjorok.

Rusdi Sufi semasa hidupnya pernah menceritakan hipotesis tentang penamaan Ulee Lheue yang diartikan dengan Kepala Lepas tersebut kepada penulis. Menurutnya, sejarah masa lalu Ulee Lheue berkaitan erat dengan keberadaan Pulau Weh (Sabang). Pulau Weh itu sendiri dalam bahasa Aceh dapat diartikan sebagai Pulau Berpindah.

Hipotesis ini juga diperkuat dengan penampakan bentuk daratan Ulee Lheue dengan Pulau Weh yang seakan-akan sebagai dua buah daratan yang terpisah.

Disebutkan, proses pemindahan atau terpisahnya Pulau Weh dengan daratan utama ini terjadi pada masa lampau. Namun, tidak disebutkan tepatnya periodesasi pemisahan dua kawasan ini. Kepada saya, almarhum (semoga dilapangkan kubur atas ilmu beliau yang terus mengalir bagi anak didik dan generasi sejarah Aceh) menduga proses pemisahan dua kawasan ini bisa saja terjadi pada masa berakhirnya Zaman Es.

Namun, hipotesis proses pemisahan dua kawasan (Ulee Lheue-Pulau Weh) ini juga dapat diduga diakibatkan aktivitas geologi seperti gempa megathrust yang kemudian memicu tsunami besar di kawasan itu. Lagipula, di sekitar Ulee Lheue juga terdapat sebuah kawasan kerajaan kuno Indrapurwa, yang disebut-sebut pusat pemerintahannya kini berada di bawah permukaan air laut.

Banyak tempat atau gampong lain yang juga dinilai unik dalam penamaannya. Hal tersebut juga diutarakan oleh salah seorang dosen Pendidikan Sejarah Universitas Syiah Kuala (USK), Teuku Abdullah atau akrab disapa TA Sakti.

Pada Senin, 18 April 2022 dinihari, TA Sakti berkisah tentang riwayat unik tentang penamaan sejumah gampong di Aceh. Di Aceh Selatan, misalnya, ada nama Gampong Lama Inong.

Menurut TA Sakti, penamaan gampong Lama Inong berawal dari kisah perjalanan Teuku Karim dari Gampong Ujong Rimba Pidie bersama dua temannya ke Aceh Barat. Pada mulanya, menurut TA Sakti, mereka menetap di daerah Nagan Raya atau Jeuram dan mulai membuka seneubok lada.

“Seuneubok lada merupakan tempat bercocok tanam lada keumeukok (lada berekor),” kata TA Sakti.

Dalam riwayat tersebut, menurut TA Sakti, ketiga anak muda tersebut luwes dalam bergaul. Mereka pun kerap mengajar anak-anak mengaji serta orang dewasa membaca kitab sejak menetap di sana.

Pengaruh Teuku Karim dan kawan-kawan ini kian besar di kawasan Seunagan. Namun, Raja Jeuram gelisah dengan popularitas Teuku Karim dan kawan-kawan tersebut. Alhasil Raja Jeuram mencari cara agar ketiga pemuda itu pindah dari kawasannya.

“Raja berhasil membujuk mereka agar berangkat ke Aceh Selatan, karena di sanalah yang paling cocok untuk membuka Seuneubok Lada. Setelah diberi perbekalan oleh raja, berangkatlah Teuku Karim bersama dua kawannya ke Aceh Selatan yang waktu itu masih disebut Aceh Barat Leupah,” kisah TA Sakti.

Selama berada di Aceh Selatan, ketiga pemuda itu menumpang di rumah seorang perempuan di suatu desa yang belum bernama. Dengan diantar perempuan tersebut sebagai penunjuk jalan, maka ketiganya kemudian berangkat untuk menjumpai Raja Teuku Sarullah di Kuala Batee.

“Kedatangan ketiga pemuda asal Pidie ini disambut baik oleh Raja Teuku Sarullah. Kemudian, ketiganya menjadi tokoh-tokoh penggerak kemajuan rakyat di Kerajaan Kuala Batee. Teuku Karim sesudah jadi tokoh masyarakat bergelar Teuku Syik Karim,” kata TA Sakti.

Menurut TA Sakti, peristiwa menumpangnya tiga pemuda perantau di rumah seorang perempuan tua itu akhirnya menjadi sejarah yang dikenang oleh rakyat Kerajaan Kuala Batee. Sebabnya, ketiga anak muda tersebut telah mengukir sejarah yang indah bagi masyarakat di daerah itu.

“Mungkin untuk mengenang peristiwa itu, maka daerah tempat menginap/menumpang beberapa hari pemuda perantau itu diberi nama “Lama lnong” artinya perempuan lama atau perempuan tua,” ungkap TA Sakti yang juga dikenal sebagai penulis hikayat di Aceh tersebut.

Menurutnya setelah Kerajaan “Kuala Batee” runtuh, maka pusat kegiatan rakyat berpindah ke “Lama Inong”.

Dalam ucapan sehari-hari, sebutan “Lama Inong” kadangkala terdengar terucap “Lamoi Inong”.

Selain itu, di Aceh Barat juga terdapat nama Gampong Alue Peudeung. Gampong ini tepatnya berada di Kecamatan Kaway XVI.

Menurut kisah, kata TA Sakti, dulu nama kampung ini disebut Kuntirek yang dipimpin oleh seorang bergelar Datuk. Pemimpin pertama bernama Datuk Raja Bujang yang memiliki wilayah kekuasaan mulai Alue Gantung (Menuang Kinco sekarang) hingga Pasi Megat.

Setelah masa datuk sebagai pimpinan daerah berganti menjadi geuchik, penyebutan kawasan Kuntirek itupun berubah menjadi Alue Peudeung. Alue dalam bahasa Indonesia berarti alur atau aliran sungai kecil. Sementara Peudeung adalah pedang atau senjata tajam.

“Menurut cerita, pada suatu peristiwa perebutan kekuasaan zaman dulu, jatuhlah ke sungai sebilah pedang dari salah satu pihak. Karena air sungai sangat curam deras, maka pedang itu tak dapat diambil lagi,” kisah TA Sakti yang menyimpulkan peristiwa tersebut berperan besar dalam penamaan kawasan itu.

Di Aceh Besar juga terdapat gampong bernama Kandang Cut di Kecamatan Darul Imarah. Konon, dulu pernah berdiri sebuah kerajaan besar dan megah di kawasan tersebut.

“Kerajaan itu memiliki sebuah benteng terletak di Cot Kuta. Setelah berdiri sekian lama, kerajaan itu pun runtuh,” kisah TA Sakti.

Sesudah kerajaan lebur, menurut TA Sakti, maka kawasan itu hanya menyisakan kuburan para raja dan keturunannya. Sebagai penghormatan kepada para raja yang dikebumikan di situ, disebutlah kawasan tersebut sebagai wilayah Kandang yang artinya kompleks pemakaman.

“Mungkin karena ada “Kandang Rayeuk” besar di tempat lain, maka makam raja ini dinamakan “Kandang Cut” artinya “Perkuburan kecil”. Seterusnya, nama desa itupun digelar orang Kampung Kandang Cut yang artinya Cut atau Pocut (orang bangsawan) dikuburkan,” kata TA Sakti.

Dari penelusuran dirinya berdasarkan berbagai sumber buku sejarah menyebutkan, Kandang Cut yang ada di kawasan Darul Imarah merupakan kompleks pemakaman keluarga Raja-raja Aceh Darussalam.

Selanjutnya adapula nama Gampong Jeurat Manyang di Pidie. Perkampungan ini berada di Kecamatan Mutiara yang dalam bahasa Indonesia secara harfiah berarti Kuburan Tinggi.

Dari referensi yang dibaca TA Sakti menyebutkan penamaan kawasan ini identik dengan kisah kedatangan seorang ulama dari Kesultanan Samudera Pasai. Ulama yang menunggang seekor gajah itu berdasarkan sejarah lisan disebutkan berasal dari Jeurat Manyang atau Rhang Manyang di Kerajaan Samudera Pasai.

“Masyarakat menyebut ulama itu dengan gelar Teungku Jeurat Manyang,” kata TA Sakti.

Setelah menetap di Pidie, Teungku Jeurat Manyang kelak mendirikan dayah yang banyak diminati oleh banyak orang. Dayah itu terus berkembang dan populer di masanya.

“Akhirnya untuk mengenang dan menghormati ulama ini, maka tempat daerah lokasi dayah didirikan sekaligus tempat beliau dikuburkan dinamakan Kampung Jeurat Manyang. Jeurat Manyang, berarti di situ pernah berjasa Teungku Jeurat Manyang asal Pasai, Aceh Utara,” katanya.

Sementara pendapat lain menyebutkan penamaan kawasan tersebut lebih merujuk kepada tempat ulama itu dikebumikan. “Kalau diperhatikan, letak kuburan itu memang pada tanah yang agak tinggi yang dalam bahasa Aceh disebut Manyang. Jeurat artinya kuburan. Jeurat Manyang makna harfiahnya kubur yang tinggi,” pungkas TA Sakti.

Nah, bagaimana dengan kampung kalian? Adakah yang mengetahui sejarah penamaannya?[]

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS