28.5 C
Banda Aceh
spot_img
spot_img

TERKINI

21 Desember 2022: Pemerintah Berikan Abolisi Terhadap Pelaku Perang Cumbok

Perang Cumbok merupakan peristiwa berdarah dari tragedi perang saudara di Aceh pasca peralihan kekuasaan dari penjajah Jepang. Demi kepentingan negara, para pelaku tidak dihukum, tapi mendapat abolisi alias pengampunan.

Pemberian abolisi atau pembebasan dari tuntutan itu dilakukan oleh Wakil Perdana Menteri Syarifuddin Prawiranegara yang berkedudukan di Banda Aceh atas nama Pemerintah Republik Indonesia pada 21 Desember 1949, melalui Keputusan No.14/Keh/WKPM. Keputusan ini mulai berlaku seminggu setelah ditetapkan yakni sejak 27 Desember 1949

Abolisi diberikan kepada mereka baik yang terlibat secara langsung maupun tidak dalam tragedi perang Cumbok. Pemberian abolisi ini juga berlaku bagi mereka yang terlibat konflik berdarah akibat dampak perang Cumbok, beserta peristiwa-peristiwa lain di sekitar perang Cumbok, baik peristiwa-peristiwa yang muncul kemudian selaku akibat dari peristiwa itu, yakni peristiwa gerakan revolusi nasional kelompok Said Ali Assegaf.

Baca Juga: Angkatan Laut Republik Indonesia Pindah ke Aceh

Sejarawan Aceh Teuku Alibasjah Talsya dalam buku Sekali Republiken Tetap Republiken halaman 319 dan halaman 330 menjelaskan, dalam pasal kedua Keputusan No.14/Keh/WKPM itu dijelaskan bahwa segala tuntutan (rechtsvervolging) terhadap mereka dihentikan, dan jika masih ada dalam proses penuntutan di pengadilan, supaya dihentikan segera. Kepada mereka yang masih berada dalam tahanan, dan yang tidak harus berada dalam tahanan oleh karena alasan lain, diperintahkan untuk dibebaskan.

Kemudian untuk menjamin ketentraman dan ketertiban umum, abolisi tersebut diberikan dengan janji, bahwa mereka (para pelaku perang Cumbok) untuk sementara waktu meninggalkan daerah Aceh, dengan ketentuan akan ditahan dan dituntut kembali apa bila janji itu dilanggar.

Baca Juga: HDC Fasilitasi RI dan GAM Bahas Efektifitas Jeda Kemanusiaan

Keputusan itu diambil oleh Pemerintah Republik Indonesia setelah mendengar keterangan dan masukan Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera Utara, Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo Jendral Mayor Tituler Teungku Muhammad Daod Beureueh, serta Kepala Kejaksaan dan Kepala Kepolisian Daerah Aceh.

ang menjadi dasar pertimbangan keputusan itu antara lain, bahwa suasana di tanah air telah berubah ke arah kejernihan, dan tanggal 27 Desember 1949 telah ditetapkan sebagai tanggal penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Hal itu berarti langkah besar ke arah penyempurnaan kebahagiaan bagi bangsa Indonesia, karena itu dinilai perlu diwujudkan dengan suatu perbuatan nyata, yakni pengampunan dari segala tuntutan bagi para pelaku perang Cumbok, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak.

Baca Juga: Kisah Bentrokan Pasukan Cumbok dan TKR di Sigli

Sebelum pemberian abolisi tersebut, di Aceh pernah dibentuk Badan Penuntut Umum untuk penyelesaian sengketa perang dan harta Cumbok. Namun atas berbagai pertimbangan, badan ini kemudian mengambil sikap, terhadap mereka, yang baik dengan langsung maupun tidak langsung dalam peristiwa Perang Cumbok, tidak dilakukan penuntutan, karena kepentingan negara menghendaki mereka diletakkan di luar tuntutan.

Perang Cumbok bermula dari upaya perebutan kekuasaan di Aceh, setelah pelucutan senjata Jepang oleh Sekutu di Pulau Weh, Sabang pada 25 Agustus 1945. Kaum kaum feodal (uleebalang) di Pidie berusaha membentuk kekuatan sendiri. Pada 22 Oktober 1945 mereka membentuk Markas Uleebalang dan Barisan Penjaga Keamanan (BPK) dalam sebuah pertemuan  di rumah Uleebalang IX Mukim Keumangan di Beureunuen, Kewedanan Lameulo.

Baca Juga: Poh An Tui dan Sentimen Anti Tionghoa di Aceh

Markas para Uleebalang tersebut dipimpin oleh Teuku Muhammad Daud, Uleebalang V Mukim Cumbok. Inilah awal mula dan cikal bakal perang Cumbok antara kaum ulama yang disokong rakyar dengan kaum ulebalang sisa-sisa pendukung pemerintahan kolonialis Belanda di Aceh, yang menginginkan tentara sekutu masuk ke Aceh.

Kaum Uleebalang sisa-sisa pendukung pemerintahan Kolonial Belanda di Aceh sangat yakin akan kembali memperoleh kekuasaannya, karena sejak 25 Agustus 1945 Belanda dengan bantuan Sekutu telah menerapkan pemerintah Nederlandsch Indië Civil Administratie atau Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) di Sabang.

Tapi kenyataanya sampai pengakuan dan penyerahan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Denhag pada 27 Desember 1949, Belanda dengan tentara Sekutu dan pemerintah NICA-nya tak pernah bisa masuk ke Aceh.[**]

Baca Juga: Sejarah Pembentukan Panitia Pembangunan Universitas Syiah Kuala

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS