29.5 C
Banda Aceh
spot_img

TERKINI

Masih Relevankah Politik Kapitalis Kita Pertahankan di Aceh?

ACEH merupakan daerah yang paling tinggi partisipasi politik, tanpa kecuali. Aceh menjadi satu daerah yang paling aktif dalam setiap ajang politik baik Pemilu atau pun Pilkada. Hampir semua partai politik nasional maupun partai politik lokal menjadi peminat atau dengan bahasa lain aktif. Partai politik di Aceh aktif di tingkat kepengurusan partai, sampai kesemua partai punya calon legislatif dan terlibat dalam pemilihan kepala daerah walaupun hanya sebatas menjadi partai pendukung.

Dari kesemua partai punya cara dan pola tersendiri dalam upaya mendapat kepercayaan pemilih. Cara-cara yang ditawarkan oleh setiap partai politikpun masih berputar pada pola-pola lama dan pola baru. Katakanlah pemilu tahun lalu terdapat banyak partai politik yang membentuk tim suksesnya masing-masing walaupun dengan nama berbeda. Ada relawan, sahabat, atau underbow lainnya yang kesemua nama itu adalah satu yaitu  dalam upaya mencari dukungan dan simpati masyarakat luas.

Kemudian istilah donatur politik atau si pembiaya kampanye demi berjalannya mesin politik masing-masing. Kemudian setelah pesta demokrasi selesai, tentu ada yang menang pun ada yang kalah, dan barulah interaksi politik kembali berbeda. Tim sukses (timses) bentukan mereka bubar dan melebur kemana-mana.

Kandidat yang kalah sudah lumrah membubarkan tim sukses, tetapi yang menang, tim sukses menunggu janji-janji politik yang pernah diikrarkan sebelum menang. Nah, jika janji politik terpenuhi, maka langkah politikpun tetap berlanjut sampai periode berikutnya. Namun ada juga yang merasa kecewa hingga mengucapkan kalimat sumpah serapah hingga berakhir pada titik kekecewaan dari timses relawan, sahabat dan lain-lain.

Di samping janji politik dengan tim suksesnya, masih banyak harapan para pemilih yang menanti kepedulian dari sang pemimpin.

Selanjutnya berbicara donatur politik dalam kebiasaan yang telah terjadi dalam pesta politik di Aceh. Donatur itu mengucurkan anggaran besar dengan harapan harus dibayar di kemudian hari jika andalan mereka telah menang.

Tiga unsur motor politik itu sering muncul kesenjangan. Si donatur menuntut ganti rugi, sementara tim sukses menunggu janji politik ditambah lagi pihak pendukung visioner pun menanti gerakan nyata dari para pemimpin yang telah mereka pilih.

Di sini saya ingin mempertegas ke tiga unsur yang saya sebutkan itu kerap menuai kekecewaan dan berimbas pada kegagalan pihak terpilih. Ini merupakan masalah besar dalam sistem demokrasi kita.

Nah di sini kita mesti bertanya pada diri sendiri, masih relevankah pola politik yang demikian harus kita pertahankan? Atau malah harus segera kita ubah haluan dengan cara berpolitik yang lebih sehat dan bermartabat yang kemudian bisa melihat pemimpin yang bisa berbuat banyak kepada umat tanpa dihantui oleh janji politik.

Jika kita pertahankan sistem politik yang lama, maka siap-siap yang menang tidak bisa berbuat apa-apa. Sementara yang mengendalikan pemimpin terpilih adalah mereka yang kuat dan mereka yang memiliki modal besar.

Berat hati harus kita akui inilah sistem kapitalis yang selama ini kita pelihara— yang tanpa sadar—kita sendiri telah terjerumus dalam titik kemiskinan seperti hari ini.

Saya mencoba memberikan solusi dengan menggabungkan semangat politik silahturahmi. Beri kesempatan untuk semua calon legislatif dan eksekutif agar menawarkan visi-misinya yang kita pilih dengan harapan dapat membawa perubahan ke depan.

Sistem demokrasi ala kapitalis akan dikukung oleh janji politik sebelum menang dan kemudian dikekang oleh berbagai sudut kepentingan setelah terpilih. Hal tersebut berbeda dengan sistem demokrasi silaturahmi yang mengandalkan visi-misi saat kampanye dan menunggu realisasi memperjuangkan kepentingan ummat dengan tenang setelah memenangkan Pemilu. Wallahu’alam.[]

*Penulis adalah Fahmi Nuzula, Pemerhati Sosial

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS