31.7 C
Banda Aceh
spot_img
spot_img

TERKINI

Pekan Kebudayaan Aceh Momentum Pelestarian Kebudayaan

Oleh: Alif Alqausar

Aceh merupakan daerah yang kaya akan warisan budaya dan peradaban yang memiliki nilai historis bagi masyarakatnya. Sejarah,dinamika, dan identitas suatu bangsa semestinya dapat ditelusuri dari sejarahnya.

Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8 dengan mengangkat tema”Rempahkan Bumi Pulihkan Dunia” yang akan berlangsung sejak 4-12 November 2023 dapat menjadi sites of memory, yaitu tempat atau objek fisik yang berfungsi sebagai wadah memori sebagai upaya untuk mengingat sekaligus kehendak merawat ingatan.

Lewat penyelenggaraannya PKA menjadi sarana edukasi lintas generasi untuk melanjutkan proses pelestarian pendidikan kebudayaan.

Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) merupakan agenda rutin yang digelar setiap lima tahun sekali dan sangat dinanti-nanti penyelenggaraannya oleh masyarakat Aceh yang ingin menyaksikan bermacam-macam pertunjukan adat istiadat dan kebudayaannya. PKA juga telah menjadi sebuah pesta rakyat terbesar di Aceh yang tercermin dari anggaran yang digelontorkan tidak sedikit dengan harapan agar PKA bisa terlaksana dengan baik dan dirasakan manfaatnya.

Secara historis, PKA untuk pertama kalinya diselenggarakan pada tahun 1958 dengan tema yang diangkat pada PKA 1 ini adalah “Adat Bak Poteumeurehom, Hukom Bak Syiah Kuala”.

Tujuan utama yang ingin dicapai pada PKA-1 ini adalah agar melalui kegiatan ini masyarakat Aceh mampu bangkit dan bersatu untuk menata kembali kehidupan masa depan masyarakat Aceh yang sempat suram akibat perang yang berkepanjangan melalui pendekatan kebudayaan.

Ketika itu ide pelenggaraan ini didasarkan pada kesadaran tokoh-tokoh Aceh saat itu akan pentingnya menyelesaikan suatu hal dengan melalui pendekatan kebudayaan. Sejarah mencatat bahwa yang ada tiga pejabat yang menjadi trio lahirnya pesta kebudayaan ini. Trio itu adalah Gubernur Aceh Ali Hasjmy, ketua penguasa Perang/Panglima Komando Daerah Militer Aceh Letnan Kolonel Syamaun Gaharu, dan Kepala Staf KDMA Mayor T. Hamzah Bendahara.

Salah satu hal yang memelopori lahirnya PKA adalah ketika Nyak Yusda terinspirasi dari daerah lain di Indonesia saat itu yang memiliki festival kebudayaannya sendiri seperti yang pernah dibuat di Sumatra Barat yaitu Pekan Kebudayaan Minangkabau.

Begitu juga di tingkat nasional dimana diselenggarakan Festival Kebudayaan Nasional. Ide dan inspirasi tersebut lalu disampaikan oleh Nyak Yusda kepada para sahabatnya yang berlokasi di SMEA Kutaraja. Seusai berdiskusi dan telah mendapatkan beberapa bahan dan ide maka Nyak Yusda menyampaikan perihal ide penyelenggaraan PKA ini kepada Kepala Staf Penguasa Perang Daerah/KDMA, Mayor T. Hamzah.

Ide tersebut mendapat tanggapan yang sangat positif. Selanjutnya mereka menjumpai Gubernur Aly Hasjmy dan juga mendapat sambutan yang sangat positif . (Tim Perumus Laporan PKA-3 1991).

PKA yang digagas berupa kegiatan yang berbentuk festival kebudayaan dengan menampilkan kekayaan budaya di Aceh seperti pertunjukan budaya, penampilan kesenian, pameran, dan seminar kebudayaan. Kegiatan dengan pengemasan menarik, inovatif, dan kekinian dapat mendorong ketertarikan generasi muda (Gen-Z) untuk meningkatkan edukasi budaya dan sejarah.

Acara-acara kebudayaan seperti PKA memberi manfaat nyata secara langsung sebagaimana data Indeks Pemajuan Kebudayaan dari 51,90 pada 2021 menjadi 55,13 pada 2022.Selain itu, festival kebudayaan juga berdampak positif terhadap berbagai sektor seperti perputaran ekonomi, kerukunan sosial, dan demokrasi yang lebih baik. Pemajuan kebudayaan sudah seharusnya dijadikan prioritas karena telah menjadi amanat konstitusi yang termaktub pada pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional”.

Sejarawan Kreno Brahmantyo menjelaskan dalam perspektif sejarah publik, sejarah menjadi ilmu pengetahuan masa lalu yang dapat dikomunikasikan langsung kepada publik, dengan bahasa dan media yang mudah diakses.

Ia menawarkan aneka ragam pengalaman edukasi,kesenangan,refleksi, serta berbagi pengetahuan masa lampau yang bisa direkonstruksi dan diperagakan kembali (re-enactment) dalam berbagai bentuk. Tujuannya untuk membangkitkan kesadaran tentang masa lalu.

Dalam hal ini, penyelenggaraan PKA sudah menjadi bagian sejarah publik yang berhubungan erat dengan historitas dan penyebarluasan kekayaan sejarah budaya kepada khalayak. Ia berkaitan dengan bagaimana memperkenalkan hubungan antara masyarakat sebagai audiens, praktik nasionalisme kebangsaan, dan konteks sosial yang saling berhubungan.

PKA menghadirkan museum, arsip, dan pusat warisan budaya bagi konsumen sejarah yang pasif menjadi aktif dalam mentafsirkan masa lalu. Dengan demikian perhelatan PKA menjadi garis terdepan dalam mengenalkan sejarah dan memberikan contoh pendekatan kreatif komunikasi sejarah.

PKA telah memberikan kontribusi yang besar bagi usaha untuk pelestarian kebudayaan di Aceh, dimana ia telah menjadi wadah untuk perlindungan dan pengembangan nilai-nilai sejarah, adat, dan budaya di Aceh.

Selain itu PKA juga berperan sebagai media untuk pemulihan dan pemersatu masyarakat Aceh dari segala konflik dan perpecahan antar etnis yang pernah terjadi. PKA secara langsung telah berhasil untuk mengeksposkan kembali cakrawala kebudayaan Aceh yang sempat hilang sehingga bisa dinikmati kembali oleh generasi masa kini.[]

Penulis adalah Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam UIN Ar Raniry

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS