28.5 C
Banda Aceh
spot_img
spot_img

TERKINI

Rumoh Geudong, Antara Situs Sejarah dan Merawat Kenangan

Oleh: Murthalamuddin (Rakyat Aceh Pecinta Sejarah)

Irmgard Furchner, kini 97 tahun, bekerja sebagai juru ketik di kamp Stutthof, Polandia pada 1943-1945. Tahun 2022 lalu dia dijatuhi hukuman atas kejahatan selaku juru ketik Nazi . Wanita renta ini mulai diadili sejak 2021. Dia dianggap bagian kejahatan NAZI Jerman karena menjadi juru ketik kamp genosida Yahudi di Polandia.

Pertanyaannya, apakah peristiwa penghakiman ini karena dendam kesumat kaum Yahudi atas peristiwa halacaust pada perang dunia kedua?  Saya berani mengatakan ini bukan dendam. Tapi proses penegakan hukum. Dan kejahatan HAM tidaklah pernah kadaluarsa.
Kamp konsentrasi NAZI sampai kini menjadi monumen dan situs sejarah yang tetap dipelihara. Apakah itu bagian dari upaya memelihara dendam? Atau untuk terus menyakiti trauma korban?  Saya berani katakan bukan. Secara sederhana cukup dimaknai dengan dua hal. Pertama, sebagai merawat sebuah kenangan. Bahwa pernah ada sebuah peristiwa yang luar biasa. Melampaui batas batas kemanusiaan. Kedua, sebagai pengingat dan sejarah agar tidak terulang lagi peristiwa itu. Agar generasi setelahnya belajar. Dari kenangan pahit ini.

Di seluruh dunia pasti ada situs-situs peringatan. Baik untuk peristiwa buruk atau peristiwa baik. Jadi, apa pun peninggalan pengingat sebuah kejadian, seburuk apa pun peristiwa, tidaklah buruk jika kita merawat ingatan itu. Demi terjadi pembelajaran atasnya. Sejarah tidak boleh dipandang secara instan. Sejarah pintu tonggak peradaban.

Dalam konteks lain. Di negeri seberang kita melihat dan mendengar bagaimana seniman film P Ramlee diagung-agungkan. Datang dan lihat bagaimana museum P Ramlee dirawat sebagai situs sejarah. Padahal P Ramlee bukan dari suku bangsa mereka. Dia putra Aceh yang  hidup, berkarir, dan cari makan di sana. Yang secara kebetulan karyanya disukai. Namun jika mengukur orisinal karya. Tentu dia kalah jauh dengan Syeh  Rih Krueng Raya, Tgk Adnan PMTOH atau Syeh Lah Geunta. Atau seniman Didong To’et alias Abdul Kadir. Dan seniman seniman hebat Aceh lainnya seperti penulis hikayat Prang Sabi.

Lalu mengapa P Ramlee lebih kita dengar gemanya sampai kini? Lebih karena bagaimana bangsa Malaysia mengenang dan menggemakan. Di gelari “seniman agung negara”. Sampai terus dihidupkan film-filmnya secara berkala. Sampai-sampai hadir kisahnya di film animasi anak anak kini. Seperti dalam serial Upin Ipin.

Sejarah atau kenangan adalah tonggak identitas sebuah bangsa. Bahkan di banyak bangsa sejarah cenderung dibuat-buat. Tujuannya melahirkan kebanggaan. Yang berujung “sense of belonging’ atas bangsa itu. Peradaban pasti tertumpu pada sejarah perjalanan bangsa itu. Dan ini cenderung dilupakan bangsa kita. Malah dibuat distorsi demi kepentingan pragmatis. Kita lihat pada konteks nazional. Sejarahnya Bung Karno. Dia dipuja dengan sempit oleh kekuatan politik tertentu. Bahkan dengan mengesamping kerja kolektif bapak bangsa yang lain. Dalam kasus Aceh di 2 pemilu lampau: soal perdamaian (MoU) dan otonomi khusus (UUPA).

Ini kenapa bisa terjadi?  Karena konsep kita berbangsa dan berbudaya tidak dipupuk. Kebangsaan atau nasionalisme tidak dibangun atas kesamaan sejarah dan kenangannya. Nasionalisme dibangun secara hegemonik, dogmatis dan manipulatif. Seperti di masa orde baru. Yang hegemonik di semua corong sejarah. Dengan hegemonik budaya mayoritas atau minoritas. Penuh kisah-kisah manipulatif. Indokrinasi dogma top down.

Sekarang, mari lihat apa yang terjadi pada Rumoh Geudong yang kini jadi polemik setelah Pj Bupati Pidie Wahyudi Adi Siswanto mengatakan itu bukan situs sejarah. Jika bukan situs sejarah,  mengapa kegiatan penyelesaian kasus pelanggaran HAM non-yudisial dilakukan di situs itu?  Ada prosesi penghancuran tangga segala. Padahal, itu satu-satunya tonggak yang tersisa atas kekejaman tanpa proses peradilan oleh aparat negara di masa lalu.

Padahal, ada langkah kompromi yang bisa ditempuh agar kasus Rumoh Geudong tetap menjadi pembelajaran bagi generasa mendatang. 
Semisal mesjid tetap dibangun. Dengan bentuk arsitektur Rumoh Geudong. Juga,  semua puing sisa diabadikan. Lalu disediakan ruang mesium terkait semua peristiwa disana. Sekali lagi bukan memelihara dendam. Apalagi untuk memelihara kenangan buruk. Tapi demi sejarah dan kenangan yang nantinya membentuk peradaban kebangsaan yang utuh. Semisal sebagai pembelajaran bahwa pertengkaran sesama anak bangsa atau sesama manusia akan melahirkan penderitaan yang mengerikan.

Saya sedang mambayangkan sejarah akan menulis dengan tinta emas. Bahwa PJ Bupati Pidie Bapak Adi sebagai penegak sejarah. Pencetus pelestarian situs Rumoh Geudong. Pembangun meseum Rumoh Geudong. Dan hebatnya beliau membangun dan mencetus itu dalam masa jabatan singkat. Dibanding rezim-rezim lain yang hampir 20 tahun berkuasa. Dan beliau bukan putra Aceh.

Ini akan menjadi kenangan yang amat harum sampai ke anak cucu kita. Bahwa telah Allah tunjukkan kepada kita seorang pemimpin yang amat peduli sejarah, kemanusian dan perekatan nilai nilai kebangsaan Indonesia. Wallahuaklam bisawab.[]

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS