28.5 C
Banda Aceh
spot_img
spot_img

TERKINI

QANUN LKS, BOH ARA HANA TANGKE

“Dawa bunta” revisi Qanun LKS telah menjadi bola liar. Tapi “mandum mat alèe puntòng”. Pihak pendukung dan penolak revisi tidak saling bermusyawarah. Kedua pihak ini”saban saban peudong beuneueng bulut”. Akhirnya polemik ini jauh dari menyelesaikan persoalan. Substansi diskusi nyaris liar kemana mana. Bahkan telah ditarik untuk menjadi komoditas elektoral jelang pemilu 2024.

Tulisan ini tidak membahas halal haram bank konvensional. Sebab semua bank syariah yang ada di Aceh memutar uangnya secara konvensional. Semisal membeli SUN (Surat Utang Negara) dengan berbagai instrumen keuangan berbasis bunga. Apalagi Bank Syariah berbasis nasional semisal BSI. Pemegang saham pengendali adalah bank-bank BUMN yang sudah jelas semuanya bank konvensional. Bank Aceh sama aja. Mereka juga memutar uang dengan cara konvensional. Seluruh bank syariah menempatkan uangnya di instrumen investasi berbasis bunga. Demi keamanan investasi dan imbal hasil (bunga).

Menyatakan kisruh yang ditimbulkan oleh macetnya BSI tidak ada hubungan dengan keberadaan Qanun LKS adalah pernyataan defensif yang tidak mau tahu dan tidak mau mengakui sebuah produk hukum buatan manusia selalu terbuka kemungkinan kelirunya. Tanpa keberadaan LKS tidak mungkin keluhan-keluhan teknis dan standar pelayanan yang sudah berlangsung selama hampir dua tahun belakangan bagi di Aceh tidak kita dengar terjadi di provinsi-provinsi lain. Qanun tersebut menjadi justifikasi Aceh harus sabar dengan tahapan, tanpa kepastian kapan, tanpa hitungan dan tanpa sanksi bagi kerugian yang ditimbulkan setiap detiknya.

Permasalahan bagi eksistensi perbankan di Aceh atau di mana pun di dunia adalah persoalan utama ekonomi. Kegiatan ekonomi modern dan jasa keuangan adalah 2 hal dalam 1 tubuh. Tidak terpisahkan. Bicara ekonomi dan kemakmuran tanpa perputaran uang yang cukup adalah nol besar.

Qanun LKS telah mereduksi jumlah perputaran uang di Aceh dibanding dari sebelum adanya qanun tersebut. Sektor pembiayaan yang tidak kompetitif merugikan masyarakat, belum lagi karyawan perbankan lokal yang turun gaji maupun hilang pekerjaan sekaligus karena unit keuangan tempat mereka bekerja hengkang dari Aceh. Semua itu menyumbang bagi tidak bergeraknya Aceh dari ranking provinsi termiskin di Sumatra.

Timbulnya masalah besar di sektor ekonomi real harus dicari jalan keluar oleh penolak revisi maupun pendukung revisi. Masalah ini krusial karena dunia perdagangan Aceh menjadi sempit yang telah memperkecil peluang usaha dan lapangan kerja.

Atau silahkan tetap tidak direvisi tapi cari solusinya untuk masalah-masalah turunan yang diakibatkan oleh lingkup dan legalitas qanun tersebut. Intinya bantu Aceh keluar dari keterpurukan ekonomi. Itu tugas semua orang. Baik yang mendorong revisi atau yang menolak.

Dalam hemat penulis, persoalan ekonomi yang muncul dari kondisi perbankan saat ini di Aceh adalah sebagai berikut:

  1. Makin suburnya rentenir di pasar tradisional akibat dari keluarnya unit simpan pinjam/kredit mikro dari bank konvensional. Penyaluran kredit mikro oleh Bank Aceh saat ini (dari Rp5 juta – Rp10 juta) membutuhkan agunan/jaminan. Sementara dulu, pedagang kecil tidak perlu agunan untuk mendapatkan kredit jenis ini, melainkan dibayar harian.  Bagi rakyat kecil/pedagang kecil modal adalah harga mati, dari pada mereka kelaparan karena tidak punya modal maka pilihan pinjam dari tengkulak adalah solusi. “Daripada putòh got geunteng”. Dan tentu praktik rentenir tidak ada khilafiyah seharam haramnya praktek ribawi. Bukankah ini lebih berbahaya? Bagaimana qanun LKS mengontrol jeratan pinjol berbasis online yang mencekik leher pedagang kecil?
  1. Aceh bagian dari dunia global sehingga tidak mungkin membangun ekonomi tanpa berinteraksi dengan dunia lain. Saat ini sistem pembayaran serba digital. Orang kebanyakan tidak lagi membawa uang cash. Mereka menggunakan berbagai instrumen cashless. Semisal kartu kredit dan uang elekteonik. Adakah bank syariah yang ada di Aceh mengeluarkan sistem bayar menggunakan Visa, Mastercard, JCB dan lain lain? Begitu juga uang elektronik. Semisal pembayaran toll atau moda uang elektronik lainnya. Begitu juga bagi pengusaha kecil retail kecil hingga kuliner menengah seperti rumah makan dan warkop. Sebelumnya bisa mendapat fasilitas mesin gesek, Elektronic Data Capture (EDC) yang semuanya dikeluarkan oleh bank konven. Apa jalan keluar kita? Sementara kita sedang berada di era ekonomi digital. Apa jadinya orang luar yang mau berwisata ke Aceh tanpa membawa uang kontan. Konon lagi wisatawan asing.
  2. Umumnya pengusaha di mana pun menggunakan fasilitas pinjaman bank untuk modal usahanya. Saat ini dengan sedikitnya bank di Aceh, kran pinjaman modal usaha turut menyempit. Belum lagi bunga bank syariah (walau menolak disebut bunga tapi dalam praktik adalah menggandakan pengembalian alias bunga juga!) lebih mahal dari bank konven.
  3. Ketika pengusaha kita berbisnis dengan rekanan luar Aceh maka kemungkinan transaksi dengan instrumen bank konvensional nyaris pasti. Pada akhirnya pengusaha Aceh membuka rekening bank konven di luar Aceh. Sudah tentu uang mereka berputar di luar Aceh. Ini namanya capital outflow. Merugikan Aceh. Mereka berusaha di Aceh tapi uang mereka berada di luar. Pajak dan rasio konsumsinya dinikmati daerah lain.
  4. Bagaimana dengan ekspor impor Aceh ketika di provinsi ini sudah tidak ada lagi bank Devisa? Bagaimana dengan berbagai persyaratan bisnis luar negeri dengan berbagai komponen yang semua tidak dipunyai oleh bank yang ada di Aceh. Misalnya penerbitan Letter of kredit (L/C). Begitu jika kita mau tukar atau kirim mata uang asing.
  5. Saat ini salah satu bisnis yang sedang berkembang adalah bisnis online. Ada ribuan pelaku bisnis ini di Aceh. Ketika mereka menjual keluar Aceh. Pembeli atau penjual menggunakan bank konven. Maka pelaku usaha ini asal Aceh akan terkena biaya transaksi antar bank. Dulu mereka punya rekening bank konven yang besar besar sehingga biaya transaksi gratis. Jadi bayangkan berapa besar biaya transasi yang harus mereka tanggung.

Semua persoalan di atas butuh jawaban. Tulisan ini hanya perspeltif penulis yang tidak berlatar ahli keuangan atau perdagangan. Namun lebih pada urun saran berdasarkan pengalaman dan mendengar keluh kesah di lapangan. Hal-hal di atas adalah persoalan yang harus diperhatikan agar menjadi lebih luas ruang diskusinya dari sekedar persoalan ribawi atau surga-neraka. Sebab kedua pihak yang berdebat ada sandaran teologis.

Kalau memang sepakat tidak revisi maka tugas lanjutan adalah menjawab persoalan diatas. Bersama mendorong pemangku kepentingan mencari, dan membuat jalan keluar dalam koridor syariat. Jikapun direvisi maka harus pada penegasan adanya instrument tarnsaksi  keuangan yang memenuhi kebutuhan perdagangan modern dan transaksi yang terkoneksi dengan dunia global.

Jika polemik ini tapi tidak mencari terobosan maka percayalah qanun ini akan menjadi bumerang bagi masa depan Aceh. Aceh akan memasuki fase mundur lagi dan pada akhirnya rakyat akan memilih jalan sendiri. Demi hidup dan masa depan mereka akan melawan dalam diam. Dunia digital memungkinkan mereka tetap menggunakan praktik bank konvensional dan mengabaikan perintah qanun. Implikasinya juga kemana-kemana. Ingat, beredarnya uang hasil pencucian uang narkoba dan kejahatan. Rakyat dengan mudah berpikir pendek jika sudah urusan perut.

Oleh karena itu semua pihak harus berkepala dingin. Melihat semua persoalan secara rasional dan mengedepankan kemaslahatan hidup di dunia untuk menggapai ketinggian derajat di akhirat. []

Penulis : Murthalamuddin

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS